OLEH: Aris Wada*
Angka pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara sebagian besar lulusan perguruan tinggi tidak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan memadai yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dunia kerja. Para pengamat pendidikan mensinyalir ada banyak PTS yang tidak layak menyelenggarakan pendidikan karena sarana dan prasarananya sangat minim seperti perpustakaan, sarana praktikum, ruang kuliah, tenaga pengajar (dosen), dan lain sebagainya. Akibatnya, kualitas lulusan (output) PTS amat rendah, sehingga menambah jumlah penganggur di masyarakat.
Predikat kesarjanaannya tidak didukung dengan kualitas sumber daya manusia, sehingga mereka tidak mampu bersaing di dunia kerja yang memang semakin kompetitif. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah PTS telah mengabaikan misi luhurnya?
Misi PTS
Pada awalnya, PTS dan juga perguruan tinggi negeri (PTN) mengusung misi yang sangat luhur, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus mencetak tenaga-tenaga terampil yang profesional di bidangnya. Selain misi tersebut, PTS juga menyatakan keberpihakan kepada yang lemah (option for the poor) sebagai tujuan pendirian institusinya. Namun dalam praktiknya, misi PTS lebih menitikberatkan pada keuntungan ekonomi daripada upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Kebanyakan PTS di negeri kita hampir tidak bedanya dengan perusahaan “pencetak uang”.
Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan. Pertama, penarikan dana dari mahasiswa sangat besar, dengan berbagai alasan, sementara pengeluaran untuk kegiatan pendidikan amat kecil. Bagi PTS (baca: tidak semua), yang terpenting adalah keuntungan ekonomi, bukan kualitas pendidikan. Bahkan, di sejumlah PTS besar tertentu, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendidikan tidak mencapai sepertiga dari keseluruhan dana yang diterima dari mahasiswa. Akibatnya, fasilitas yang disediakan bagi dosen dan mahasiswa sangat minim.
Kedua, honorarium staf pengajar (dosen) sangat minim, akibatnya disiplin dosen tidak terjamin. Seorang dosen yang mengajar di PTS “A”, misalnya, terkadang mengajar di PTS “B”, PTS “C”, dan seterusnya, bahkan berwirausaha di luar kampus. Hal itu terjadi karena fasilitas (gaji dan tunjangan) yang mereka peroleh di sebuah PTS (tempat mereka mengajar) belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Dampaknya, intensitas pertemuan antara dosen dan mahasiswa sangat rendah. Bahkan, ada dosen tertentu yang cuma memberikan catatan kuliah kepada para mahasiswanya, sementara ia sendiri mencari nafkah di PTS-PTS lain atau berwirausaha.
Ketiga, demi memperoleh keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, para pengelola PTS cenderung menargetkan jumlah lulusan yang sebesar mungkin setiap tahunnya, yaitu minimal dua kali jumlah lulusan yang dihasilkan oleh PTN. Mengapa demikian? Sebab, jika target itu tidak tercapai, maka PTS yang bersangkutan akan terpaksa mengurangi jumlah mahasiswa baru pada tahun berikutnya. Ini berarti, dana yang masuk pun akan berkurang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak PTS yang “memaksa” dosen agar memberikan nilai minimal C (lulus) kepada para mahasiswanya. Semakin banyak mahasiswa yang “diluluskan”, semakin terbuka bagi PTS bersangkutan menerima mahasiswa baru sebanyak mungkin, sehingga semakin besar keuntungan ekonomi yang mereka peroleh. Tidak heran apabila banyak lulusan PTS yang menjadi penganggur. Mereka “lulus” karena “diluluskan”, bukan karena kualitas SDM-nya.
Masalah perpustakaan
Minimnya fasilitas perpustakaan di PTS merupakan fenomena umum di lembaga pendidikan formal di Indonesia. Sebagian besar lembaga pendidikan formal (mulai dari SD hingga perguruan tinggi) di negeri kita belum memiliki fasilitas perpustakaan (terutama buku) yang memadai. Contoh, dari sekitar 200.000 SD yang tersebar di bumi Nusantara ini cuma satu persen yang memiliki perpustakaan standar; dari sekitar 70.000 unit SMP hanya 36 persen yang memenuhi standar; dari 14.000 unit SMA cuma 54 persen yang memiliki perpustakaan standar; dan dari sekitar 4.000 perguruan tinggi (PTS dan PTN) hanya 60 persen yang memiliki perpustakaan standar.
Masalah perpustakaan selama ini masih berkutat pada perkara bagaimana memperoleh koleksi buku, bagaimana mengatur dalam katalogisasi buku, bagaimana menyimpannya dengan runut di rak, dijaga oleh petugas yang paham aturan rumit sistem katalognya, ruang data, gedung permanen, dan sistem manajemennya yang solid. Namun, konsep membangun budaya membaca tidak dipikirkan. Apalah artinya perpustakaan yang lengkap, rapi, sejuk, dan valid kalau tidak pernah dimanfaatkan oleh para pembaca (mahasiswa)-nya? Apalah artinya perpustakaan bertaraf internasional kalau para mahasiswanya malas membaca?
PTS dan lapangan kerja
Diakui atau tidak, output yang dihasilkan oleh perguruan tinggi (PT) dewasa ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja. Jumlah lulusan jauh lebih banyak daripada jumlah lapangan kerja. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini banyak perusahaan atau industri yang “gulung tikar” karena tingginya biaya operasional, di samping adanya tuntutan upah para buruh yang melampui kemampuan perusahaan. Akibatnya, banyak lulusan PT, terutama PTS, yang terpaksa menjadi penganggur. Belum lagi output yang dihasilkan PT tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dunia kerja, sehingga banyak sarjana yang sulit mendapatkan lapangan kerja.
Dunia kerja biasanya lebih membutuhkan output yang memiliki keterampilan khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau industri. Sementara PT lebih menekankan pada penguasaan teori daripada keterampilan. Akibatnya, terdapat kesenjangan antara teori di bangku kuliah dengan tuntutan/kebutuhan dunia kerja. Bahkan, perkembangan teknologi di dunia kerja tidak diikuti sepenuhnya oleh PT, terutama PTS.
Salah satu solusi yang mungkin bisa diterapkan adalah memberikan latihan keterampilan kepada generasi muda, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, hingga sarjana yang masih menganggur. Latihan keterampilan yang dimaksud, misalnya, cara-cara berternak, berwirausaha, bertani, berbisnis, diklat jurnalistik, dan lainnya. Tujuannya, agar generasi muda memiliki keterampilan khusus, sehingga mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Nah, tanpa ada latihan-latihan semacam ini, masalah pengangguran akan sulit teratasi.
*) Mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Negeri Jember (UNEJ).
Angka pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara sebagian besar lulusan perguruan tinggi tidak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan memadai yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dunia kerja. Para pengamat pendidikan mensinyalir ada banyak PTS yang tidak layak menyelenggarakan pendidikan karena sarana dan prasarananya sangat minim seperti perpustakaan, sarana praktikum, ruang kuliah, tenaga pengajar (dosen), dan lain sebagainya. Akibatnya, kualitas lulusan (output) PTS amat rendah, sehingga menambah jumlah penganggur di masyarakat.
Predikat kesarjanaannya tidak didukung dengan kualitas sumber daya manusia, sehingga mereka tidak mampu bersaing di dunia kerja yang memang semakin kompetitif. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah PTS telah mengabaikan misi luhurnya?
Misi PTS
Pada awalnya, PTS dan juga perguruan tinggi negeri (PTN) mengusung misi yang sangat luhur, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus mencetak tenaga-tenaga terampil yang profesional di bidangnya. Selain misi tersebut, PTS juga menyatakan keberpihakan kepada yang lemah (option for the poor) sebagai tujuan pendirian institusinya. Namun dalam praktiknya, misi PTS lebih menitikberatkan pada keuntungan ekonomi daripada upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Kebanyakan PTS di negeri kita hampir tidak bedanya dengan perusahaan “pencetak uang”.
Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan. Pertama, penarikan dana dari mahasiswa sangat besar, dengan berbagai alasan, sementara pengeluaran untuk kegiatan pendidikan amat kecil. Bagi PTS (baca: tidak semua), yang terpenting adalah keuntungan ekonomi, bukan kualitas pendidikan. Bahkan, di sejumlah PTS besar tertentu, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendidikan tidak mencapai sepertiga dari keseluruhan dana yang diterima dari mahasiswa. Akibatnya, fasilitas yang disediakan bagi dosen dan mahasiswa sangat minim.
Kedua, honorarium staf pengajar (dosen) sangat minim, akibatnya disiplin dosen tidak terjamin. Seorang dosen yang mengajar di PTS “A”, misalnya, terkadang mengajar di PTS “B”, PTS “C”, dan seterusnya, bahkan berwirausaha di luar kampus. Hal itu terjadi karena fasilitas (gaji dan tunjangan) yang mereka peroleh di sebuah PTS (tempat mereka mengajar) belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Dampaknya, intensitas pertemuan antara dosen dan mahasiswa sangat rendah. Bahkan, ada dosen tertentu yang cuma memberikan catatan kuliah kepada para mahasiswanya, sementara ia sendiri mencari nafkah di PTS-PTS lain atau berwirausaha.
Ketiga, demi memperoleh keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, para pengelola PTS cenderung menargetkan jumlah lulusan yang sebesar mungkin setiap tahunnya, yaitu minimal dua kali jumlah lulusan yang dihasilkan oleh PTN. Mengapa demikian? Sebab, jika target itu tidak tercapai, maka PTS yang bersangkutan akan terpaksa mengurangi jumlah mahasiswa baru pada tahun berikutnya. Ini berarti, dana yang masuk pun akan berkurang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak PTS yang “memaksa” dosen agar memberikan nilai minimal C (lulus) kepada para mahasiswanya. Semakin banyak mahasiswa yang “diluluskan”, semakin terbuka bagi PTS bersangkutan menerima mahasiswa baru sebanyak mungkin, sehingga semakin besar keuntungan ekonomi yang mereka peroleh. Tidak heran apabila banyak lulusan PTS yang menjadi penganggur. Mereka “lulus” karena “diluluskan”, bukan karena kualitas SDM-nya.
Masalah perpustakaan
Minimnya fasilitas perpustakaan di PTS merupakan fenomena umum di lembaga pendidikan formal di Indonesia. Sebagian besar lembaga pendidikan formal (mulai dari SD hingga perguruan tinggi) di negeri kita belum memiliki fasilitas perpustakaan (terutama buku) yang memadai. Contoh, dari sekitar 200.000 SD yang tersebar di bumi Nusantara ini cuma satu persen yang memiliki perpustakaan standar; dari sekitar 70.000 unit SMP hanya 36 persen yang memenuhi standar; dari 14.000 unit SMA cuma 54 persen yang memiliki perpustakaan standar; dan dari sekitar 4.000 perguruan tinggi (PTS dan PTN) hanya 60 persen yang memiliki perpustakaan standar.
Masalah perpustakaan selama ini masih berkutat pada perkara bagaimana memperoleh koleksi buku, bagaimana mengatur dalam katalogisasi buku, bagaimana menyimpannya dengan runut di rak, dijaga oleh petugas yang paham aturan rumit sistem katalognya, ruang data, gedung permanen, dan sistem manajemennya yang solid. Namun, konsep membangun budaya membaca tidak dipikirkan. Apalah artinya perpustakaan yang lengkap, rapi, sejuk, dan valid kalau tidak pernah dimanfaatkan oleh para pembaca (mahasiswa)-nya? Apalah artinya perpustakaan bertaraf internasional kalau para mahasiswanya malas membaca?
PTS dan lapangan kerja
Diakui atau tidak, output yang dihasilkan oleh perguruan tinggi (PT) dewasa ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja. Jumlah lulusan jauh lebih banyak daripada jumlah lapangan kerja. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini banyak perusahaan atau industri yang “gulung tikar” karena tingginya biaya operasional, di samping adanya tuntutan upah para buruh yang melampui kemampuan perusahaan. Akibatnya, banyak lulusan PT, terutama PTS, yang terpaksa menjadi penganggur. Belum lagi output yang dihasilkan PT tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dunia kerja, sehingga banyak sarjana yang sulit mendapatkan lapangan kerja.
Dunia kerja biasanya lebih membutuhkan output yang memiliki keterampilan khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau industri. Sementara PT lebih menekankan pada penguasaan teori daripada keterampilan. Akibatnya, terdapat kesenjangan antara teori di bangku kuliah dengan tuntutan/kebutuhan dunia kerja. Bahkan, perkembangan teknologi di dunia kerja tidak diikuti sepenuhnya oleh PT, terutama PTS.
Salah satu solusi yang mungkin bisa diterapkan adalah memberikan latihan keterampilan kepada generasi muda, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, hingga sarjana yang masih menganggur. Latihan keterampilan yang dimaksud, misalnya, cara-cara berternak, berwirausaha, bertani, berbisnis, diklat jurnalistik, dan lainnya. Tujuannya, agar generasi muda memiliki keterampilan khusus, sehingga mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Nah, tanpa ada latihan-latihan semacam ini, masalah pengangguran akan sulit teratasi.
*) Mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Negeri Jember (UNEJ).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar