OPSI
Oleh: Syarif Hidayat Santoso*
Para pelaku aksi terorisme di Indonesia tak segan untuk menisbahkan segala aksinya terhadap agama. Jihad diideologisasi menjadi pakem primer dalam setiap aksi untuk menyerang institusi dan orang yang dianggap harus dihancurkan. Jihad yang sebenarnya berada pada scope lintas batas, moderat dan multitafsir, tiba-tiba saja menjadi demikian eksklusif, terbatas hanya pada forum bernuansa perang serta tertutup ruang dialogis-interpretatif yang bervariasi.
Mengapa para pelaku teror itu melakukan aksinya? Kenapa pula mereka tega menghabisi orang-orang yang dianggap tidak sehaluan dengannya. Mengkaji aspek-aspek emosi yang menjadi background dari para pelaku teror harus pula disertakan, mengingat seakan-akan nurani mereka menjadi buta dan beku ketika aksi bom bunuh diri dilakukan.
Para pelaku bom Bali pertama misalnya, rata-rata berada pada kondisi kejiwaan stabil sebelum berinteraksi dengan kehidupan “serba keras” di Afghanistan, Pakistan dan Mindanao, Filipina. Mukhlas adalah seorang yang teguh pendirian, pintar dan kalem. Fathurrahman Al Ghozi serta Imam Samudera merupakan anak-anak cerdas, populer dan terkategorikan anak muda yang haus akan ilmu. Mungkin hanya Amrozi dan Ali Imron yang masa mudanya bisa disebut sebagai generasi bandel, meski belakangan berubah. (ES. Soepriyadi dalam Ngruki dan Jaringan Terorisme:2003)
Watak dan jiwa mereka berubah setelah bersentuhan dengan komunitas radikal Pakistan-Afghanistan. Imam Samudera yang cerdas justru menjadi radikal setelah dikader Jabir, tersangka pelaku bom Natal 2000. Dalam perspektif psikologis, alam Afghanistan yang ramah terhadap kekerasan telah menjadi stimulus aktif pemandulan akal obyektif mereka ketika aksi radikal dilakukan di tanah air. Berbagai penderitaan umat Islam, misalnya melatari kebencian besar Imam Samudera terhadap Amerika dan “antek-anteknya” seperti yang diuraikan dalam bukunya, Aku Melawan Teroris.
Persoalannya, kebencian ala Imam Samudera ini toh tidak melanda seluruh kaum muslim. Di Indonesia sendiri perasaan anti Amerika merupakan ikon bagi banyak muslim, tapi ini tidak menjustifikasi komunitas muslim untuk berlagak seperti Imam Samudera. Menurut penulis, Imam Samudera telah mengalami apa yang disebut Victor E. Frankl (lahir 1905), sebagai existential frustration di mana terjadi meaningless terhadap makna hidup dialogis. Gejala seperti ini memandulkan akal berpikir para pelaku terorisme tentang harmoni kehidupan di sekitarnya. Frustasi eksistensial menyebabkan timbulnya hasrat berlebihan untuk berkuasa, timbulnya apatisme serta penghayatan kehidupan yang dilandasi kebosanan (boredom). Apalagi ketika jihad dalam maknanya yang monopolistis menghinggapi benak komunitas radikal tersebut.
Kekeliruan interpretatif terhadap makna Jihad, plus koalisinya dengan frustasi bakal melahirkan kehampaan eksistensial. Di sini, Jihad menjadi wawasan yang semata-mata reduksionalistis dan pandeterministis. Para pelaku terorpun akan semau gue melaksanakan aksinya dalam kondisi kepribadian sub-human yang menghijrahkan citra diri kebersamaan manusia pada kehampaan semata. Pendapat para aktor teror yang merasa bangga karena telah “menunaikan” kewajiban melawan Amerika, sudah cukup membuktikan bahwa para pelaku teror mengalami kepribadian machine model, kepribadian yang semata-mata didikte ideologi, tanpa kecenderungan kepekaan realitas. Kepribadian inilah, menurut Frankl akan mengabsensikan collective consciousness dan responsibility. Para pelaku teror akan merasa bahagia semata-mata karena berhasilnya aksi bom bunuh diri, tidak lebih dari itu.
Logoterapi Sufistik
Kelebihan logoterapi dibandingkan pendekatan psikologi lainnya adalah karena dia dekat dengan spiritualitas dan religiusitas. Kita menyadari, bahwa pelaku teror di tanah air merupakan kalangan yang dekat dengan aktivitas keislaman. Dengan logoterapi, kepribadian meaningless bisa diminimalisir menjadi kepribadian equal antara makna hidup yang ingin dicapai (The meaning of life) dan keinginan untuk hidup bermakna (The will to meaning).
Elaborasi makna jihad yang tidak semata-mata aksi kekerasan wajib dilakukan guna menghapus wawasan nondialogis yang berperan sebagai pioner berpikir non kompromistik. Setelah otak “dibersihkan” dari pemikiran hegemonik-manipulistik, logoterapi dapat menggunakan Tasawuf untuk membangkitkan daya rohani yang selama ini dihambat dan diingkari. Sufisme merupakan jalan terbaik, karena selain orisinalitasnya dari Islam, kekayaan khazanah sufisme merupakan perpaduan antara model berpikir falsafi dengan dzikrullah sebagai sarana penenangan diri. Keluwesan Sufisme dalam memandang perbedaan, menurut saya dapat mendamaikan otoritarianisme hati yang frustasi setelah melihat penderitaan umat Islam.
Logoterapi bukanlah untuk menciptakan kestabilan antar berbagai ketegangan, tapi berupaya mencari penghayatan dan gambaran masa depan. Hidup menurut logoterapi, bukanlah berarti tanpa konflik, tapi yang lebih utama adalah berikhtiar keras mencari makna hidup sejati di antara sejumlah ketegangan. Tentu saja, jika pendekatannya adalah sufisme teramat sulit untuk menggunakan terorisme sebagai jawabannya.
*) Praktisi Olah Rohani Qadiriyah Wa Naqshabandiyah, tinggal di Jember.
Oleh: Syarif Hidayat Santoso*
Para pelaku aksi terorisme di Indonesia tak segan untuk menisbahkan segala aksinya terhadap agama. Jihad diideologisasi menjadi pakem primer dalam setiap aksi untuk menyerang institusi dan orang yang dianggap harus dihancurkan. Jihad yang sebenarnya berada pada scope lintas batas, moderat dan multitafsir, tiba-tiba saja menjadi demikian eksklusif, terbatas hanya pada forum bernuansa perang serta tertutup ruang dialogis-interpretatif yang bervariasi.
Mengapa para pelaku teror itu melakukan aksinya? Kenapa pula mereka tega menghabisi orang-orang yang dianggap tidak sehaluan dengannya. Mengkaji aspek-aspek emosi yang menjadi background dari para pelaku teror harus pula disertakan, mengingat seakan-akan nurani mereka menjadi buta dan beku ketika aksi bom bunuh diri dilakukan.
Para pelaku bom Bali pertama misalnya, rata-rata berada pada kondisi kejiwaan stabil sebelum berinteraksi dengan kehidupan “serba keras” di Afghanistan, Pakistan dan Mindanao, Filipina. Mukhlas adalah seorang yang teguh pendirian, pintar dan kalem. Fathurrahman Al Ghozi serta Imam Samudera merupakan anak-anak cerdas, populer dan terkategorikan anak muda yang haus akan ilmu. Mungkin hanya Amrozi dan Ali Imron yang masa mudanya bisa disebut sebagai generasi bandel, meski belakangan berubah. (ES. Soepriyadi dalam Ngruki dan Jaringan Terorisme:2003)
Watak dan jiwa mereka berubah setelah bersentuhan dengan komunitas radikal Pakistan-Afghanistan. Imam Samudera yang cerdas justru menjadi radikal setelah dikader Jabir, tersangka pelaku bom Natal 2000. Dalam perspektif psikologis, alam Afghanistan yang ramah terhadap kekerasan telah menjadi stimulus aktif pemandulan akal obyektif mereka ketika aksi radikal dilakukan di tanah air. Berbagai penderitaan umat Islam, misalnya melatari kebencian besar Imam Samudera terhadap Amerika dan “antek-anteknya” seperti yang diuraikan dalam bukunya, Aku Melawan Teroris.
Persoalannya, kebencian ala Imam Samudera ini toh tidak melanda seluruh kaum muslim. Di Indonesia sendiri perasaan anti Amerika merupakan ikon bagi banyak muslim, tapi ini tidak menjustifikasi komunitas muslim untuk berlagak seperti Imam Samudera. Menurut penulis, Imam Samudera telah mengalami apa yang disebut Victor E. Frankl (lahir 1905), sebagai existential frustration di mana terjadi meaningless terhadap makna hidup dialogis. Gejala seperti ini memandulkan akal berpikir para pelaku terorisme tentang harmoni kehidupan di sekitarnya. Frustasi eksistensial menyebabkan timbulnya hasrat berlebihan untuk berkuasa, timbulnya apatisme serta penghayatan kehidupan yang dilandasi kebosanan (boredom). Apalagi ketika jihad dalam maknanya yang monopolistis menghinggapi benak komunitas radikal tersebut.
Kekeliruan interpretatif terhadap makna Jihad, plus koalisinya dengan frustasi bakal melahirkan kehampaan eksistensial. Di sini, Jihad menjadi wawasan yang semata-mata reduksionalistis dan pandeterministis. Para pelaku terorpun akan semau gue melaksanakan aksinya dalam kondisi kepribadian sub-human yang menghijrahkan citra diri kebersamaan manusia pada kehampaan semata. Pendapat para aktor teror yang merasa bangga karena telah “menunaikan” kewajiban melawan Amerika, sudah cukup membuktikan bahwa para pelaku teror mengalami kepribadian machine model, kepribadian yang semata-mata didikte ideologi, tanpa kecenderungan kepekaan realitas. Kepribadian inilah, menurut Frankl akan mengabsensikan collective consciousness dan responsibility. Para pelaku teror akan merasa bahagia semata-mata karena berhasilnya aksi bom bunuh diri, tidak lebih dari itu.
Logoterapi Sufistik
Kelebihan logoterapi dibandingkan pendekatan psikologi lainnya adalah karena dia dekat dengan spiritualitas dan religiusitas. Kita menyadari, bahwa pelaku teror di tanah air merupakan kalangan yang dekat dengan aktivitas keislaman. Dengan logoterapi, kepribadian meaningless bisa diminimalisir menjadi kepribadian equal antara makna hidup yang ingin dicapai (The meaning of life) dan keinginan untuk hidup bermakna (The will to meaning).
Elaborasi makna jihad yang tidak semata-mata aksi kekerasan wajib dilakukan guna menghapus wawasan nondialogis yang berperan sebagai pioner berpikir non kompromistik. Setelah otak “dibersihkan” dari pemikiran hegemonik-manipulistik, logoterapi dapat menggunakan Tasawuf untuk membangkitkan daya rohani yang selama ini dihambat dan diingkari. Sufisme merupakan jalan terbaik, karena selain orisinalitasnya dari Islam, kekayaan khazanah sufisme merupakan perpaduan antara model berpikir falsafi dengan dzikrullah sebagai sarana penenangan diri. Keluwesan Sufisme dalam memandang perbedaan, menurut saya dapat mendamaikan otoritarianisme hati yang frustasi setelah melihat penderitaan umat Islam.
Logoterapi bukanlah untuk menciptakan kestabilan antar berbagai ketegangan, tapi berupaya mencari penghayatan dan gambaran masa depan. Hidup menurut logoterapi, bukanlah berarti tanpa konflik, tapi yang lebih utama adalah berikhtiar keras mencari makna hidup sejati di antara sejumlah ketegangan. Tentu saja, jika pendekatannya adalah sufisme teramat sulit untuk menggunakan terorisme sebagai jawabannya.
*) Praktisi Olah Rohani Qadiriyah Wa Naqshabandiyah, tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar