SOROT
OLEH: CHOIRUL MAHFUD*
Tayangan parodi politik "Republik Mimpi" News Dotcom, yang disiarkan Metro TV setiap malam Senin, belakangan ini menuai kontroversi. Awalnya adalah Ketua Pergerakan Reformasi Tionghoa Indonesia, Lieus Sungkharisma yang mengecam tayangan Republik BBM (Republik Baru Bisa Mimpi) karena dinilai sudah melecehkan simbol negara dan lembaga kepresidenan.
Tak hanya Lieus, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil ikut geram dan akhirnya akan melayangkan somasi terhadap acara parodi politik yang menirukan presiden dan mantan presiden itu. Menkoinfo menilai, tayangan itu sangat berpotensi merusak pemikiran masyarakat Indonesia, karena secara filosofis tayangan itu sangat buruk. Apalagi, masyarakat Indonesia dianggap belum punya edukatif yang bagus untuk menerimanya. Dengan nada keras, Djalil mengatakan bahwa Presiden tidak hanya mempunyai fungsi otoritas pemerintahan tertinggi, tetapi juga simbol kebangsaan negara, karena itu tidak layak bila Presiden diolok-olok atau dilecehkan.
Stasiun televisi di tengah persaingan ketat berlomba mengemas paket siaran yang mampu menarik penonton dengan tujuan ‘’kepentingan bisnis’’, karena melalui tayangan yang menarik perhatian penonton, diselipkan iklan yang merupakan nafas dari eksisnya sebuah industri penyiaran televisi. Paket acara "Republik BBM" yang bernuansa parodi politik didesain dan digagas Dr Effendi Ghozali, pakar komunikasi UI dengan presenter artis sinetron Olga Lydia itu cukup diminati dan ditunggu pemirsa setiap malam Senin.
Mengolok-Olok
Kalau kita menyaksikan tayangan Republik BBM menampilkan aktor pendukung yang dirias mirip tokoh nasional seperti Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla hanya nama-nama mereka saja diubah. Seperti Suharto menjadi Suharta, Megawati menjadi Megakarti, Gus Dur menjadi Gus Pur. Mereka menirukan gaya, aksentuasi dan warna suara yang khas dari pemimpin bangsa itu.
Membahas topik aktual acara yang dikemas Metro TV itu memang merupakan tontonan menarik. Dengan karakter tiruan para tokoh itu tentu saja mengundang ledakan tawa dari orang yang menyaksikan baik di dalam studio maupun jutaan pemirsa yang menonton di rumah. Kendatipun moderator Dr Effendi Ghozali, pengatur lalu lintas pembicaraan, di akhir acara tetap menyampaikan bahwa acara tersebut semata-mata khayalan tidak menyinggung seseorang, serta tayangan itu hanya merupakan kritikan dan sindiran politik kepada para tokoh yang ditampilkan, serta konsumsi bahan tertawaan.
Secara normatif banyak orang menuduh bahwa acara Republik Mimpi telah melanggar hukum dan etika penyiaran dengan argumentasi dari sudut penghormatan dan kedudukan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Ketentuan itu diatur melalui UU No: 8 Tahun 1987 tentang protokol, serta peraturan pelaksanaan PP No: 62 Tahun 1990. UU dan PP itu mengatur tentang tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan. Lalu perlakuan terhadap seseorang sesuai kedudukan dan martabat jabatan dalam negara, pemerintahan dan masyarakat.
Dalam ketentuan itu dijelaskan, Presiden/Wapres dan Mantan Presiden/Wapres mendapat kehormatan di tempat utama sebagai pejabat negara. Dalam aturan protokol mereka disebut sebagai Very Very Important Person (VVIP). Khusus presiden merupakan simbol suatu negara. Dalam tata cara pergaulan internasional, presiden yang merupakan pemimpin tertinggi pemerintahan merupakan "representasi negara". Tetapi, argumentasi di atas ditentang dewan pers. Dewan Pers mengatakan, program acara Republik Mimpi News Dotcom yang ditayangkan Metro TV dilindungi Pasal 28 (F) UUD 1945 tentang hak atas informasi sehingga rencana somasi oleh Menkominfo Sofyan Djalil dinilai kurang tepat. Leo Batubara menjelaskan dalam Pasal 28 F telah disebutkan bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi oleh setiap orang dilindungi oleh konstitusi.
Menurut Leo Batubara, jika ada pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik yang dianggap menyimpang, tindakan yang ditempuh bisa melalui tiga tahap; hak jawab, mengadu ke Dewan Pers dan jalur hukum. Leo menambahkan sebenarnya acara yang lebih dinilai sebagai "olok-olokan" itu, muncul ketika penyelenggaraan negara kurang efektif dan tidak sesuai janji-janji yang disampaikan pada saat pemilihan umum (pemilu). Lanjutnya, Janji Presiden saat pemilu masih banyak yang tidak teralisasi sehingga ada kesenjangan janji dan realiasi.
Karena itu, olok-olok tersebut seharusnya dinilai sebagai masukan untuk memperbaiki keadaan. Secara otomatis olok-olok akan semakin berkurang jika janji semakin banyak yang direalisasikan. Sebab, apa yang terlihat dalam parodi politik Republik Mimpi sebetulnya cermin dari Republik Indonesia terkini. Menurut hemat penulis, pemerintah seharusnya tidak perlu reaktif menanggapi tayangan Republik Mimpi, karena hanya merupakan tontonan yang berlindung di balik kebebasan demokrasi. Juga masyarakat harus lebih kritis terhadap tayangan televisi yang kadang kurang mendidik dan cenderung ke arah kekerasan. Melihat tayangan positif seperti berita dan aneka program pendidikan hendaknya patut dijadikan pilihan saat menonton televisi.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
OLEH: CHOIRUL MAHFUD*
Tayangan parodi politik "Republik Mimpi" News Dotcom, yang disiarkan Metro TV setiap malam Senin, belakangan ini menuai kontroversi. Awalnya adalah Ketua Pergerakan Reformasi Tionghoa Indonesia, Lieus Sungkharisma yang mengecam tayangan Republik BBM (Republik Baru Bisa Mimpi) karena dinilai sudah melecehkan simbol negara dan lembaga kepresidenan.
Tak hanya Lieus, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil ikut geram dan akhirnya akan melayangkan somasi terhadap acara parodi politik yang menirukan presiden dan mantan presiden itu. Menkoinfo menilai, tayangan itu sangat berpotensi merusak pemikiran masyarakat Indonesia, karena secara filosofis tayangan itu sangat buruk. Apalagi, masyarakat Indonesia dianggap belum punya edukatif yang bagus untuk menerimanya. Dengan nada keras, Djalil mengatakan bahwa Presiden tidak hanya mempunyai fungsi otoritas pemerintahan tertinggi, tetapi juga simbol kebangsaan negara, karena itu tidak layak bila Presiden diolok-olok atau dilecehkan.
Stasiun televisi di tengah persaingan ketat berlomba mengemas paket siaran yang mampu menarik penonton dengan tujuan ‘’kepentingan bisnis’’, karena melalui tayangan yang menarik perhatian penonton, diselipkan iklan yang merupakan nafas dari eksisnya sebuah industri penyiaran televisi. Paket acara "Republik BBM" yang bernuansa parodi politik didesain dan digagas Dr Effendi Ghozali, pakar komunikasi UI dengan presenter artis sinetron Olga Lydia itu cukup diminati dan ditunggu pemirsa setiap malam Senin.
Mengolok-Olok
Kalau kita menyaksikan tayangan Republik BBM menampilkan aktor pendukung yang dirias mirip tokoh nasional seperti Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla hanya nama-nama mereka saja diubah. Seperti Suharto menjadi Suharta, Megawati menjadi Megakarti, Gus Dur menjadi Gus Pur. Mereka menirukan gaya, aksentuasi dan warna suara yang khas dari pemimpin bangsa itu.
Membahas topik aktual acara yang dikemas Metro TV itu memang merupakan tontonan menarik. Dengan karakter tiruan para tokoh itu tentu saja mengundang ledakan tawa dari orang yang menyaksikan baik di dalam studio maupun jutaan pemirsa yang menonton di rumah. Kendatipun moderator Dr Effendi Ghozali, pengatur lalu lintas pembicaraan, di akhir acara tetap menyampaikan bahwa acara tersebut semata-mata khayalan tidak menyinggung seseorang, serta tayangan itu hanya merupakan kritikan dan sindiran politik kepada para tokoh yang ditampilkan, serta konsumsi bahan tertawaan.
Secara normatif banyak orang menuduh bahwa acara Republik Mimpi telah melanggar hukum dan etika penyiaran dengan argumentasi dari sudut penghormatan dan kedudukan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Ketentuan itu diatur melalui UU No: 8 Tahun 1987 tentang protokol, serta peraturan pelaksanaan PP No: 62 Tahun 1990. UU dan PP itu mengatur tentang tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan. Lalu perlakuan terhadap seseorang sesuai kedudukan dan martabat jabatan dalam negara, pemerintahan dan masyarakat.
Dalam ketentuan itu dijelaskan, Presiden/Wapres dan Mantan Presiden/Wapres mendapat kehormatan di tempat utama sebagai pejabat negara. Dalam aturan protokol mereka disebut sebagai Very Very Important Person (VVIP). Khusus presiden merupakan simbol suatu negara. Dalam tata cara pergaulan internasional, presiden yang merupakan pemimpin tertinggi pemerintahan merupakan "representasi negara". Tetapi, argumentasi di atas ditentang dewan pers. Dewan Pers mengatakan, program acara Republik Mimpi News Dotcom yang ditayangkan Metro TV dilindungi Pasal 28 (F) UUD 1945 tentang hak atas informasi sehingga rencana somasi oleh Menkominfo Sofyan Djalil dinilai kurang tepat. Leo Batubara menjelaskan dalam Pasal 28 F telah disebutkan bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi oleh setiap orang dilindungi oleh konstitusi.
Menurut Leo Batubara, jika ada pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik yang dianggap menyimpang, tindakan yang ditempuh bisa melalui tiga tahap; hak jawab, mengadu ke Dewan Pers dan jalur hukum. Leo menambahkan sebenarnya acara yang lebih dinilai sebagai "olok-olokan" itu, muncul ketika penyelenggaraan negara kurang efektif dan tidak sesuai janji-janji yang disampaikan pada saat pemilihan umum (pemilu). Lanjutnya, Janji Presiden saat pemilu masih banyak yang tidak teralisasi sehingga ada kesenjangan janji dan realiasi.
Karena itu, olok-olok tersebut seharusnya dinilai sebagai masukan untuk memperbaiki keadaan. Secara otomatis olok-olok akan semakin berkurang jika janji semakin banyak yang direalisasikan. Sebab, apa yang terlihat dalam parodi politik Republik Mimpi sebetulnya cermin dari Republik Indonesia terkini. Menurut hemat penulis, pemerintah seharusnya tidak perlu reaktif menanggapi tayangan Republik Mimpi, karena hanya merupakan tontonan yang berlindung di balik kebebasan demokrasi. Juga masyarakat harus lebih kritis terhadap tayangan televisi yang kadang kurang mendidik dan cenderung ke arah kekerasan. Melihat tayangan positif seperti berita dan aneka program pendidikan hendaknya patut dijadikan pilihan saat menonton televisi.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar