OPSI
Oleh : Mohammad Afifuddin*
Sebagai insan akademis, mahasiswa jelas membutuhkan wahana untuk mengasah kemampuan intelektualnya. Beragam ajang adu “otak” selalu terhampar luas tiap tahunnya. Baik yang diselenggarakan oleh lembaga nasional atau internasional.
Umumnya, kategori yang dilombakan meliputi; Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMT), Program Kreativitas Mahasiswa Penerapan Teknologi (PKMPT), Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK), Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMPM), maupun Program Kreativitas Mahasiswa Penulisan Ilmiah (PKMI) dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM).
Salah satu perlombaan yang selalu dinantikan dan prestisius adalah Pimnas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Bisa dikatakan Pimnas adalah forum tertinggi bagi mahasiswa guna menemukan parameter prestasi. Meraih juara di Pimnas layaknya memenangkan Oscar atau Grammy bagi para selebritis.
Namun dari seluruh perhelatan lomba ilmiah mahasiswa selama ini, muncul pertanyaan yang sangat mendasar. Sudah bermanfaatkah segala produk intelektual tersebut terhadap kehidupan riil masyarakat? Jawabannya (mungkin) akan membuat kita “malu”, atau “memalukan”.
Sebagai sample, Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Ir. Mochammad Munir bahkan mengakui ratusan karya yang telah dilahirkan mahasiswa se-Indonesia melalui Pimnas, tidak pernah jelas rimbanya (Jawa Pos, 18/07/06).
Lantas apa gunanya penemuan dan penerapan ilmu dan teknologi jika tidak memberi kemanfaatan pada masyarakat luas? Apalagi dikaitkan dengan posisi mahasiswa yang (masih) terikat dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Di mana salah satu poinnya mensyaratkan pengabdian pada masyarakat.
Indikator lain “ketidakmanfaatan” itu bisa kita baca dari fenomena yang terjadi pada bangsa kita akhir-akhir ini.
Bukankah kita punya banyak pelajar/mahasiswa yang ahli físika, hingga meraih berbagai gelar Olimpiade Físika? Tapi mengapa seolah bangsa ini tidak pernah akrab dengan disiplin ilmu tersebut. Buktinya kita masih gagap mencipta dan menggunakan transportasi dengan teknologi tinggi (pesawat atau kapal laut), yang selalu rutin mengalami kecelakaan. Atau bahkan kita sama sekali tidak berdaya menghadapi dinamika alam yang siklis menyapa kita dengan banjir, longsor, dan tsunami.
Pun demikian halnya dengan ranah ilmu-ilmu sosial humaniora. Dari sekian ratus/ribu penelitian yang sudah dihasilkan, kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, masyarakat Indonesia makin memprihatinkan. Seakan tidak ada korelasi linier dari capaian yang diraih di dunia akademis-ilmiah dengan kondisi riil kehidupan.
Salah Paradigma
Max Horkheimer, ilmuwan Frankfurt School menyebut kecenderungan paradigma dalam ilmu pengetahuan yang berhaluan positivistik sebagai teori tradisional. Pandangan ini (positivistik) mengasumsikan peran ilmu pengetahuan harus netral di hadapan masyarakat. Kehadirannya tidak ditujukan untuk “mengoreksi” atau bahkan “mengadvokasi” rakyat, melainkan cukup menggambarkan apa adanya (objektif). Sehingga sikap intelektualnya harus bebas nilai (value free).
Paradigma tersebut dipandang Horkheimer dan kolega-koleganya sebagai ketidakrasionalan yang harus dibasmi di era modern. Akhirnya Mazhab Frankfurt mencetuskan antitesa yang akrab disebut teori kritis. Teori ini beranggapan posisi ilmu pengetahuan harus berpihak pada golongan yang lemah dan dilemahkan. Bahkan kehadiran suatu filsafat atau ilmu pengetahuan harus mampu menjadi stimulus bagi terciptanya emansipasi rakyat untuk menemukan hakekat dirinya sendiri secara kritis dan emansipatoris.
Dalam hemat saya, pilihan paradigma yang selama ini dijadikan acuan dan standarisasi dalam setiap lomba penelitian (ilmiah) mahasiswa adalah teori tradisional. Implikasinya terdapat pada terbentangnya interval antara gegap gempitanya segala penemuan ilmu pengetahuan dengan ketidakpedulian mayoritas rakyat Indonesia terhadap segala capaian baru bidang sains tersebut. Rakyat makin sinis karena merasa tidak ada pengaruh apapun dari hasil penelitian itu. Alih-alih justru menghasilkan para ilmuwan (intelektual) elitis.
Padahal, seperti yang diungkapkan Antonio Gramsci, sosok intelektual ideal adalah intelektual organik. Inteletual organik tidak “terpisah dari massa”, melainkan “sadar bahwa mereka secara organik dihubungkan dengan massa”. Kaum intelektual organis sanggup mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan objektif dalam masyarakat sehingga mereka berpihak pada kelas buruh (baca: kaum tertindas). Mereka juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat dan terdorong oleh semangat dan emosi yang sama seperti kelas tertindas.
“Status” intelektual organik tersebut digunakan untuk membedakan dengan intelektual tradisional. Yaitu golongan intelektual yang dilahirkan dari setiap kelas sosial. Namun pada umumnya, karena kekhasan (eksklusifitas) kegiatan intelektualnya, maka mereka cenderung mengisolasikan diri dari masyarakat dan membentuk sebuah lapisan tersendiri yang mengambang di atas masyarakat, atau yang disebut intelektual tradisional. (Franz Magnis, 2003:195).
Reorientasi Standarisasi
Setiap ajang lomba penelitian (ilmiah) selalu memakai standarisasi penilaian sebagai ukuran mutu/tidak bermutu, layak/tidak layak sebuah karya. Selama ini standarisasi yang digunakan oleh tim penilai lomba masih menggantungkan pada teori tradisional, sebagai konsekuensi dari pilihan paradigma ”usangnya” yang positivistik.
Padahal pilihan tersebut membawa implikasi munculnya sinisme atau apatisme dari masyarakat. Dengan memberi label (penilaian) ”tidak bermutu” terhadap satu hasil penelitian. Sebab masyarakat pada dasarnya tidak ingin sekedar menjadi ”korban eksperimen” dari sebuah penelitian. Mereka ingin menghapus penderitaannya dengan meraup manfaat langsung dari hasil penelitian ilmiah.
Dari konteks itu, mutlak diperlukan sebuah pergeseran paradigma yang akan digunakan sebagai standarisasi penilaian terhadap suatu karya penelitian ilmiah; dari “tradisional” menuju yang kritis. Dan dari yang ”positivis” menuju yang ”praksis”.
*) Mahasiswa Program Studi Sosiologi Fisip Universitas Jember.
Oleh : Mohammad Afifuddin*
Sebagai insan akademis, mahasiswa jelas membutuhkan wahana untuk mengasah kemampuan intelektualnya. Beragam ajang adu “otak” selalu terhampar luas tiap tahunnya. Baik yang diselenggarakan oleh lembaga nasional atau internasional.
Umumnya, kategori yang dilombakan meliputi; Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMT), Program Kreativitas Mahasiswa Penerapan Teknologi (PKMPT), Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK), Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMPM), maupun Program Kreativitas Mahasiswa Penulisan Ilmiah (PKMI) dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM).
Salah satu perlombaan yang selalu dinantikan dan prestisius adalah Pimnas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Bisa dikatakan Pimnas adalah forum tertinggi bagi mahasiswa guna menemukan parameter prestasi. Meraih juara di Pimnas layaknya memenangkan Oscar atau Grammy bagi para selebritis.
Namun dari seluruh perhelatan lomba ilmiah mahasiswa selama ini, muncul pertanyaan yang sangat mendasar. Sudah bermanfaatkah segala produk intelektual tersebut terhadap kehidupan riil masyarakat? Jawabannya (mungkin) akan membuat kita “malu”, atau “memalukan”.
Sebagai sample, Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Ir. Mochammad Munir bahkan mengakui ratusan karya yang telah dilahirkan mahasiswa se-Indonesia melalui Pimnas, tidak pernah jelas rimbanya (Jawa Pos, 18/07/06).
Lantas apa gunanya penemuan dan penerapan ilmu dan teknologi jika tidak memberi kemanfaatan pada masyarakat luas? Apalagi dikaitkan dengan posisi mahasiswa yang (masih) terikat dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Di mana salah satu poinnya mensyaratkan pengabdian pada masyarakat.
Indikator lain “ketidakmanfaatan” itu bisa kita baca dari fenomena yang terjadi pada bangsa kita akhir-akhir ini.
Bukankah kita punya banyak pelajar/mahasiswa yang ahli físika, hingga meraih berbagai gelar Olimpiade Físika? Tapi mengapa seolah bangsa ini tidak pernah akrab dengan disiplin ilmu tersebut. Buktinya kita masih gagap mencipta dan menggunakan transportasi dengan teknologi tinggi (pesawat atau kapal laut), yang selalu rutin mengalami kecelakaan. Atau bahkan kita sama sekali tidak berdaya menghadapi dinamika alam yang siklis menyapa kita dengan banjir, longsor, dan tsunami.
Pun demikian halnya dengan ranah ilmu-ilmu sosial humaniora. Dari sekian ratus/ribu penelitian yang sudah dihasilkan, kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, masyarakat Indonesia makin memprihatinkan. Seakan tidak ada korelasi linier dari capaian yang diraih di dunia akademis-ilmiah dengan kondisi riil kehidupan.
Salah Paradigma
Max Horkheimer, ilmuwan Frankfurt School menyebut kecenderungan paradigma dalam ilmu pengetahuan yang berhaluan positivistik sebagai teori tradisional. Pandangan ini (positivistik) mengasumsikan peran ilmu pengetahuan harus netral di hadapan masyarakat. Kehadirannya tidak ditujukan untuk “mengoreksi” atau bahkan “mengadvokasi” rakyat, melainkan cukup menggambarkan apa adanya (objektif). Sehingga sikap intelektualnya harus bebas nilai (value free).
Paradigma tersebut dipandang Horkheimer dan kolega-koleganya sebagai ketidakrasionalan yang harus dibasmi di era modern. Akhirnya Mazhab Frankfurt mencetuskan antitesa yang akrab disebut teori kritis. Teori ini beranggapan posisi ilmu pengetahuan harus berpihak pada golongan yang lemah dan dilemahkan. Bahkan kehadiran suatu filsafat atau ilmu pengetahuan harus mampu menjadi stimulus bagi terciptanya emansipasi rakyat untuk menemukan hakekat dirinya sendiri secara kritis dan emansipatoris.
Dalam hemat saya, pilihan paradigma yang selama ini dijadikan acuan dan standarisasi dalam setiap lomba penelitian (ilmiah) mahasiswa adalah teori tradisional. Implikasinya terdapat pada terbentangnya interval antara gegap gempitanya segala penemuan ilmu pengetahuan dengan ketidakpedulian mayoritas rakyat Indonesia terhadap segala capaian baru bidang sains tersebut. Rakyat makin sinis karena merasa tidak ada pengaruh apapun dari hasil penelitian itu. Alih-alih justru menghasilkan para ilmuwan (intelektual) elitis.
Padahal, seperti yang diungkapkan Antonio Gramsci, sosok intelektual ideal adalah intelektual organik. Inteletual organik tidak “terpisah dari massa”, melainkan “sadar bahwa mereka secara organik dihubungkan dengan massa”. Kaum intelektual organis sanggup mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan objektif dalam masyarakat sehingga mereka berpihak pada kelas buruh (baca: kaum tertindas). Mereka juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat dan terdorong oleh semangat dan emosi yang sama seperti kelas tertindas.
“Status” intelektual organik tersebut digunakan untuk membedakan dengan intelektual tradisional. Yaitu golongan intelektual yang dilahirkan dari setiap kelas sosial. Namun pada umumnya, karena kekhasan (eksklusifitas) kegiatan intelektualnya, maka mereka cenderung mengisolasikan diri dari masyarakat dan membentuk sebuah lapisan tersendiri yang mengambang di atas masyarakat, atau yang disebut intelektual tradisional. (Franz Magnis, 2003:195).
Reorientasi Standarisasi
Setiap ajang lomba penelitian (ilmiah) selalu memakai standarisasi penilaian sebagai ukuran mutu/tidak bermutu, layak/tidak layak sebuah karya. Selama ini standarisasi yang digunakan oleh tim penilai lomba masih menggantungkan pada teori tradisional, sebagai konsekuensi dari pilihan paradigma ”usangnya” yang positivistik.
Padahal pilihan tersebut membawa implikasi munculnya sinisme atau apatisme dari masyarakat. Dengan memberi label (penilaian) ”tidak bermutu” terhadap satu hasil penelitian. Sebab masyarakat pada dasarnya tidak ingin sekedar menjadi ”korban eksperimen” dari sebuah penelitian. Mereka ingin menghapus penderitaannya dengan meraup manfaat langsung dari hasil penelitian ilmiah.
Dari konteks itu, mutlak diperlukan sebuah pergeseran paradigma yang akan digunakan sebagai standarisasi penilaian terhadap suatu karya penelitian ilmiah; dari “tradisional” menuju yang kritis. Dan dari yang ”positivis” menuju yang ”praksis”.
*) Mahasiswa Program Studi Sosiologi Fisip Universitas Jember.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar