Rabu

Pengedar Obat Palsu, Pelaku Kriminal

Dr DPG Purwa Samatra, SpS (K)
Peredaran obat palsu juga berimbas pada dokter. Ada tuduhan dokter salah menulis resep sehingga menyebabkan pasien tak kunjung sembuh dari sakit. Berikut petikan wawancara media ini dengan mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Bali, Dr DPG Purwa Samatra, SpS (K) yang ditemui di Bagian Penyakit Syaraf RSUP Sanglah Denpasar.

Sebagai seorang dokter, bagaimana tanggapan Anda terhadap peredaran obat palsu?

Itu jelas tindakan kriminal. Entah sebagai produsen ataupun sebagai penadahnya, semuanya kriminal. Sebagai dokter, saya hanya bertugas memeriksa, mendiagnosis penyakit serta memberikan resep obat untuk ditebus di apotek. Dokter dilarang keras memberikan obat secara langsung kepada pasien kecuali dokter yang praktek di daerah pedalaman (pelosok) dan tidak terdapat apotek di sekitarnya.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap peredaran obat palsu tersebut?

Pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seharusnya menguji coba secara klinis baik masih berada dalam proses pembuatan maupun di lapangan. Perusahaan farmasi (produsen obat) juga harus memenuhi syarat Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), melakukan pengawasan serta harus memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Setelah obat sampai di tangan konsumen, kadang pasien belum sembuh juga. Ini gejala apa?

Dalam membuat resep, dokter juga memiliki pedoman. Selain tingkat efikasi (tingkat kemanjuran obat menyembuhkan penyakit), dokter juga harus memperhitungkan kemampuan konsumen dalam menebus obat. Jangan sampai pasien yang miskin diberikan obat paten yang mahal. Sekarang pun sudah ada obat generik yang khasiatnya hampir sama dengan obat paten namun dengan harga yang lumayan terjangkau oleh konsumen. Bahkan efek samping pemakaian obat pun harus diperhitungkan. Kemampuan obat untuk menyembuhkan (poten) tidak boleh lebih kecil dari efek samping yang ditimbulkan.

Kenapa obat di Indonesia mahal?

Perlu diketahui bahan untuk membuat obat di Indonesia masih harus mengimpor. Baik dari India, Cina dan negara lain. Selain itu, jalur distribusi terlalu panjang. Di sinilah terjadi mark up harga yang membuat harga obat melambung. Sebenarnya dokter bisa saja menjual langsung ke pasien namun hanya terbatas pada dokter yang menempati area terpencil dan sulit mengakses apotek terdekat. Dalam undang-undang praktek kedokteran tahun 2002 serta kode etik dokter Indonesia (KODEKI) semuanya telah diatur.

Sejauh mana peran IDI mencegah peredaran obat palsu?

Itu di luar kewenangan IDI. Itu tanggung jawab BPOM, pihak kepolisian dan apoteker. Pihak IDI hanya bisa menghimbau agar obat selalu diawasi mulai dari pembuatan hingga pendistribusian sampai ke tangan konsumen. Semua harus dipastikan aman (kandungan zat, khasiat, kadar dan kadaluarsanya).
(Pewawancara: Didik Purwanto)

Biodata:
Nama : Dr DPG Purwa Samatra, SpS (K)
TTL : Tabanan, 21 Maret 1955
Aktivitas :
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Bali (2003-2006)
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Denpasar (1994-1996)
Dosen Bagian Ilmu Penyakit Syaraf FK Unud (1983-sekarang)
Dosen Spesialis Syaraf FK UI (1989)
Alamat praktek : Apotik Nita Anandi Jl Gatot Subroto 239 XX Denpasar, Telp (0361) 227666
Alamat rumah : Jl PB Sudirman 19 A Denpasar Telp (0361) 234947

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung