OLEH: AGUS SALAM
Beberapa pekan terakhir ini, masyarakat tengah diramaikan dengan berita tentang kandungan pengawet pada beberapa minuman ringan serta penarikan sejumlah produk minuman isotonik. Kasus ini menjadi aktual setelah Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (Kombet) pada pertengahan November lalu mengumumkan temuan fakta tentang penggunaan bahan pengawet pada minuman kemasan. Berbagai opini yang berkembang di masyarakat pun simpang siur.
Dalam penelitian yang dilakukan Kombet pada produk minuman ringan, beberapa produsen telah melakukan kebohongan publik. Ada pun tentang opini yang merebak di masyarakat bahwa senyawa-senyawa pengawet tersebut dapat menyebabkan penyakit Lupus atau kelumpuhan.
Atas temuan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meminta produsen dari sembilan merek produk minuman ringan untuk menarik produknya dari pasaran. Ini karena produk tersebut tidak memenuhi ketentuan yang berlaku tentang produksi dan peredaran makanan. ‘’Ada sembilan produk yang empat ditarik karena tidak punya izin edaran atau ilegal sedangkan yang lima melanggar peraturan tentang pelabelan dan pencantuman komposisi bahan pengawet,'' kata Kepala BPOM Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Produsen minuman ringan yang bersangkutan dinilai telah melanggar ketentuan tentang produksi dan peredaran produk makanan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2004 tentang keamanan dan mutu gizi.
Indonesia memang pangsa pasar yang strategis bagi berbagai produk. Terlebih lagi konsumen di negeri ini belum seberapa kritis terhadap hak-haknya. Hal ini harus dicermati oleh Departemen Kesehatan dan Badan POM terkait dengan proses perizinan, pengawasan dan inspeksi, serta aspek perundang-undangan guna melindungi konsumen. Seperti diingatkan Lembaga Konsumen Jakarta, Nurhasanah, agar masyarakat sebisa mungkin memilih makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Karena, saat ini banyak sekali produksi makanan/minuman kemasan yang menggunakan bahan pengawet namun tidak mencatumkan keterangan pada label merek.
Di sisi lain, pemerintah melalui Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) harus bertindak tegas jika mendapatkan perusahaan makanan/minuman yang melanggar peraturan dalam penggunaan bahan kimia tersebut. ‘’'Jika BPOM mendapatkan adanya ketidakcocokkan hasil verifikasi pada suatu produk dengan peraturan yang ada, maka harus berani menindaknya sebagai bentuk efek jera bagi pelanggar peraturan,’’' katanya.
Nurhasanah juga mengemukakan labelisasi pada produk makanan/minuman perihal penggunaan bahan kimia, wajib dipatuhi oleh produsen meski kenyataan di lapangannya sering kali dilanggar. Soal labelisasi itu, sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1976 tentang Label Pangan dan Iklan, bahkan di dalamnya diatur sanksi yang diberikan kepada pelanggar peraturan itu, dari lisan, tertulis sampai pencabutan usaha. ‘’'Demikian pula halnya dalam UU Perlindungan Konsumen telah menyebutkan pemberian label itu tidak boleh menipu dan menyesatkan,’’' katanya.
Dari kasus ini mungkin, sekarang ini memberi hikmah yang dapat dipetik ialah bahwa pola hidup sehat harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk, khususnya makanan dan minuman. Dan pemerintah melalui BPOM dan Departemen Kesehatan, secara kontinyu memberikan pengawasannya secara lebih intensif, jangan sekedar menunggu hasil analisis lembaga lain.
Beberapa pekan terakhir ini, masyarakat tengah diramaikan dengan berita tentang kandungan pengawet pada beberapa minuman ringan serta penarikan sejumlah produk minuman isotonik. Kasus ini menjadi aktual setelah Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (Kombet) pada pertengahan November lalu mengumumkan temuan fakta tentang penggunaan bahan pengawet pada minuman kemasan. Berbagai opini yang berkembang di masyarakat pun simpang siur.
Dalam penelitian yang dilakukan Kombet pada produk minuman ringan, beberapa produsen telah melakukan kebohongan publik. Ada pun tentang opini yang merebak di masyarakat bahwa senyawa-senyawa pengawet tersebut dapat menyebabkan penyakit Lupus atau kelumpuhan.
Atas temuan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meminta produsen dari sembilan merek produk minuman ringan untuk menarik produknya dari pasaran. Ini karena produk tersebut tidak memenuhi ketentuan yang berlaku tentang produksi dan peredaran makanan. ‘’Ada sembilan produk yang empat ditarik karena tidak punya izin edaran atau ilegal sedangkan yang lima melanggar peraturan tentang pelabelan dan pencantuman komposisi bahan pengawet,'' kata Kepala BPOM Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Produsen minuman ringan yang bersangkutan dinilai telah melanggar ketentuan tentang produksi dan peredaran produk makanan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2004 tentang keamanan dan mutu gizi.
Indonesia memang pangsa pasar yang strategis bagi berbagai produk. Terlebih lagi konsumen di negeri ini belum seberapa kritis terhadap hak-haknya. Hal ini harus dicermati oleh Departemen Kesehatan dan Badan POM terkait dengan proses perizinan, pengawasan dan inspeksi, serta aspek perundang-undangan guna melindungi konsumen. Seperti diingatkan Lembaga Konsumen Jakarta, Nurhasanah, agar masyarakat sebisa mungkin memilih makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Karena, saat ini banyak sekali produksi makanan/minuman kemasan yang menggunakan bahan pengawet namun tidak mencatumkan keterangan pada label merek.
Di sisi lain, pemerintah melalui Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) harus bertindak tegas jika mendapatkan perusahaan makanan/minuman yang melanggar peraturan dalam penggunaan bahan kimia tersebut. ‘’'Jika BPOM mendapatkan adanya ketidakcocokkan hasil verifikasi pada suatu produk dengan peraturan yang ada, maka harus berani menindaknya sebagai bentuk efek jera bagi pelanggar peraturan,’’' katanya.
Nurhasanah juga mengemukakan labelisasi pada produk makanan/minuman perihal penggunaan bahan kimia, wajib dipatuhi oleh produsen meski kenyataan di lapangannya sering kali dilanggar. Soal labelisasi itu, sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1976 tentang Label Pangan dan Iklan, bahkan di dalamnya diatur sanksi yang diberikan kepada pelanggar peraturan itu, dari lisan, tertulis sampai pencabutan usaha. ‘’'Demikian pula halnya dalam UU Perlindungan Konsumen telah menyebutkan pemberian label itu tidak boleh menipu dan menyesatkan,’’' katanya.
Dari kasus ini mungkin, sekarang ini memberi hikmah yang dapat dipetik ialah bahwa pola hidup sehat harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk, khususnya makanan dan minuman. Dan pemerintah melalui BPOM dan Departemen Kesehatan, secara kontinyu memberikan pengawasannya secara lebih intensif, jangan sekedar menunggu hasil analisis lembaga lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar