Senin

Aliran Sesat Dan Politik Kekuasaan

SOROT
Oleh: Edy Firmansyah*

Akhir-akhir ini marak berkembang aliran sesat yang mengajarkan ajaran yang menyimpang dari akidah agama. Yang muncul di permukaan, kebanyakan lahir dari Islam, seperti shalat dengan dwi-bahasa di Malang, aliran Ahmadiyah hingga Lia Eden. Bahkan yang terbaru muncul aliran Al Qiyadah Al Islamiyah yang dipimpin Ahmad Mushaddeq. Tak hanya mengajarkan ajaran menyimpang, Ahmad Mushaddeq juga mengangkat dirinya sebagai nabi.
Sebenarnya aliran sesat tak hanya berasal dari penganut agama Islam. Agama Protestan dan Katolik pun tak luput dari aliran sesat yang menyimpang dari credo iman Kristiniani seperti Sekte Hari Kiamat di Bandung atau aliran Sungai Yordan di Bandung beberapa tahun silam.
Apa reaksi pemerintah? Atas nama stabilitas dan keamanan, serta upaya menghindari perasaan kecewa dan terluka umat mayoritas, pemerintah atas desakan umat segera memvonis aliran sesat sebagai aliran subversif yang dilarang hidup dan berkembang di lndonesia. Titik. Mencoba membantah atau berpendapat lain dengan pendapat mayoritas, berarti berhadapan dengan massa yang siap mengamuk atas nama agama (?).
Barangkali Emha Ainun Nadjib benar ketika mengatakan bahwa pada dasarnya tiap-tiap orang melihat dunia cuma dari pojok di mana dia berdiri. Sehingga dunia yang dilihat menjadi tampak lebih kecil. Mirip ketika kita melihat sesuatu dari lubang kunci. Cara pandang semacam ini menyebabkan terjadinya proses penyederhanaan atas persoalan yang sebenarnya kompleks.
Akibat cara pandang semacam itu dunia seakan lebih sempit dan serba hitam putih. Sebab kompleksitas persoalan justru dilihat dari sudut pandang kepentingannya sendiri. Begitu jugalah reaksi sebagian besar masyarakat kita ketika menyikapi maraknya keberadaan aliran sesat yang mengajarkan ajaran yang menyimpang dari mainstream.
Padahal kalau mau jujur aliran semacam itu muncul bukan hanya karena banyak orang yang tidak ‘puas’ pada agama lamanya. Aliran sempalan muncul sebenarnya merupakan reaksi politik terhadap hegemoni organisasi keagamaan yang telah mapan.
Fenomena tersebut sebenarnya telah diramalkan lebih dari 14 abad silam oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda; "Yahudi telah sengketa ke dalam 71 aliran, Nasrani cerai menjadi 72 kelompok, dan umatku pecah 73 kelompok, semua di neraka kecuali satu…".
Namun ramalan tersebut baru terasa kebenarannya dalam Islam pasca terbunuhnya Utsman Ibn Affan. Stabilitas pemerintahan waktu itu terguncang hebat. Ali Ibn Abi Thalib dengan sangat terpaksa menerima baiat (pengangkatan) kaum muslimin sebagai khalifah. Namun Muawiyah Ibn Abi Sufyan dan pendukungnya menolak konstitusi itu. Muawiyah mengultimatum, sebelum pembunuh Utsman dan alirannya dihabisi konflik tak akan bisa diakhiri. Perseteruan itu akhirnya melahirkan tiga sekte besar Islam (Syiah, Sunni, Khawarij). Waktu terus berputar, ketiga aliran itu lalu menelorkan sekte-sekte pecahan yang sulit dideteksi keberadaannya, karena kebanyakan sekte tersebut hanyalah aliran yang punya nama tapi tidak punya penganut dan identitas ideologis yang jelas.
Melalui sejarah singkat di atas dapat ditarik benang merah bahwa munculnya sekte-sekte baru dalam Islam sebenarnya bukan masalah perbedaan ideologis. Melainkan lebih karena pertentangan politis. Artinya, lahirnya gerakan sempalan haruslah dipahami sebagai pertarungan antara mayoritas dan minoritas.
Bagaimana dengan di Indonesia? Setali tiga uang. Bermunculan sekte-sekte Islam baru di Indonesia sebenarnya sebagai ’perlawanan’ terhadap organisasi keagamaan yang telah mapan. Pasalnya, organisasi keagamaan yang berkuasa tengah membentuk semacam pemerintahan sendiri, sehingga yang diperhatikan adalah jamaahnya.
Tak hanya itu. Mereka mulai sibuk dengan urusan-urusan administrasi organisasi dan tidak mempedulikan nasib orang-orang yang lemah agama, ekonomi, sosial dan politiknya. Pemberdayaan umat direduksi menjadi pemberdayaan organisasi, sehingga umat yang berada di luar lingkar kekuasaan organisasi sama sekali tidak memperoleh pengayoman. Kecuali kalau umat tersebut bisa membuktikan bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok mereka.
Parahnya lagi, elite agama (kiai, ulama) yang mulai melembaga dan tidak tersentuh oleh orang-orang yang bukan santri. Mereka membentuk kelompok dan memiliki agenda tersendiri. Mereka makin sibuk mengurusi umatnya sendiri, dan tidak mengembangkan empati atau simpati terhadap orang-orang yang mengalami keterasingan jiwa akibat beban hidup. Sikap para Kiai kian hari kian birokratis dan materialistis. Mereka bak raja dalam istana bernama agama.
Nah, para pemimpin gerakan sempalan dan para pengikutnya hendak membangun istana serupa sebagai counter terhadap hegemoni para elite organisasi keagamaan mayoritas yang sulit ditembus dan makin arogan.
Sayangnya, sekte baru yang dibangun ternyata juga tak memberi jawaban pasti terhadap permasalahan bangsa. Kemiskinan, penindasan, korupsi, pengangguran belum menjadi agenda utama. Aliran ini masih berkutat pada ritual keagamaan yang sangat individualis untuk mendapatkan pengikut; yakni perkara sorga dan negara. Ironisnya lagi, mereka tak segan-segan memelintir agama.
Wajar saja jika kemudian banyak masyarakat geram. Namun memvonis sesat sebuah aliran demi ambisi golongan mayoritas bukan satu-satunya solusi ampuh. Sebab jika kita terus menggunakan pelabelan sesat pada setiap sekte baru yang muncul, dapat menjadi bumerang bagi kalangan mayoritas. Seperti yang diutarakan Ali Shariati dalam makalah kecil berjudul A Glance at Tomorrow History. Menurut Syariati pada sebuah zaman akan ada paham dominan yang dianut oleh kalangan mayoritas dan paham devian yang dianut oleh minoritas. Pada periode berikutnya paham devian akan menjadi paham dominan. Tentu saja jika paham yang dominan tak lagi memikirkan nasib rakyat.
Karena itu, upaya meminimalisir aliran sesat harus diarahkan dalam bentuk dialog demi menghormati pluralisme. Pasalnya, keyakinan tidaklah mungkin bisa dilarang oleh siapa pun. Keyakinan adalah urusan hati dan bagian HAM. Makin dilarang, justru malah menimbulkan solidaritas dan simpati
Di samping itu, organisasi keagamaan yang ada harus benar-benar serius menjadikan agama sebagai sarana pembebasan masyarakat dari kubangan kemiskinan dan krisis multidimensi yang saat ini sedang menjerat. Sebab semakin lama rakyat larut dalam kemiskinan, ketertindasan, serta hidup yang tidak menentu, akan membuat rakyat semakin mudah digiring dalam kekafiran. Walluhua’lam.
*) Peneliti pada Institute of Reasearch Social Politic and Democracy Jakarta

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung