Senin

Sosok Pahlawan Masa Kini

WACANA
OLEH: HIMAWAN KRISTIANTO*

“Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang dan sampai waktu mereka habis. Menjadi pahlawan bukanlah takdir, namun sebuah pilihan.” (Anis Matta).
SEMUA tahu, bahwa pahlawan bukan sebuah jabatan, bukan pula sebuah gelar yang diberikan langsung atau turun-temurun, namun sebagai sebuah anugerah dan penghargaan yang diberikan orang lain karena seorang telah mampu ‘melakukan perubahan’ terhadap suatu komunitas atau zaman.
pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat, lalu kembali ke langit. Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah, atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Memang, tak banyak orang yang mampu menjadi pahlawan. Tetapi, untuk saat ini, seluruh warga bangsa ini bisa saja menjadi seorang ‘pahlawan’. Dalam konteks ke-Indonesia-an saat ini, bangsa ini sedang dihadapkan pada beragam problem pelik dan akut seputar kehidupan sosial-kemasyarakatan baik di tingkat paling bawah maupun di tingkat nasional.
Mulai dari kian lemahnya kesadaran dan kepekaan terhadap berbagai permasalahan sosial (rendahnya sense of crisis dan sense of belonging); menguatnya tirani liberal-kapitalistik dalam berbagai bidang kehidupan (yang dipraktekkan lewat ‘ornamen’ budaya konsumtif, kemaruk belanja, hedonis); problem ‘keruntuhan’ moralitas yang ditunjukkan dengan kian suburnya budaya menempuh jalan pintas dan ‘mental menerabas’; hingga problem terkait kian lunturnya rasa nasionalisme terhadap Tanah Air tercinta ini.
Nah, dalam tataran inilah, diakui atau tidak, senyatanya bangsa ini sangat mengharapkan akan ada dan munculnya sosok ‘pahlawan masa kini’ yang bukan sekadar mau untuk, tetapi juga memiliki optimisme untuk bisa dan mampu mengentaskan bangsa ini dari jurang keterpurukan dan kungkungan krisis yang melanda.
Lalu, siapa dan bagaimanakah sosok pahlawan masa kini itu? Menjadi pahlawan masa kini tidaklah harus dengan terlebih dulu menduduki kursi empuk kepemimpinan nasional. Tidak pula harus dengan menjadi seorang menteri ataupun kepala daerah. Yang pasti, untuk menjadi seorang pahlawan, seseorang haruslah memiliki ‘naluri’ kepahlawanan.
Mengapa demikian? Ya, karena sejatinya, pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Pahlawan dilahirkan atau diciptakan oleh kondisi yang ada di sekitarnya. Untuk menjadi pahlawan, seseorang dituntut untuk berani dan mampu memikul beban berat beragam persoalan hidup --yang tak semua orang mau dan mampu memikulnya-- untuk kemudian harus merespons tantangan-tantangan kehidupan yang berat itu dengan sebuah solusi dan atau jawaban.
Orang-orang yang tak memiliki naluri kepahlawanan, pasti akan melihat tantangan sebagai beban berat, sehingga akan lebih memilih ‘cuci tangan’ dan sebisa mungkin menghindari masalah tersebut. Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan pasti akan segera merespon dan menjawab tantangan-tantangan kehidupan itu --meski dirasakan amat berat. Ada tantangan ada jawabannya. Dan hasil dari respons itu ialah lahirnya pekerjaan-pekerjaan besar. Intinya, pekerjaan-pekerjaan besar serta tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya mengapa kita menyebut para pahlawan sebagai ‘orang-orang besar’.
Semua ini bisa diwujudkan dengan berupaya keras memberikan sumbangsih maksimal bagi keberlangsungan tatanan hidup (minimal) di lingkungan masyarakat sekitar kita dengan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki sesuai profesi masing-masing.
Mulai dari mencari solusi bagaimana mengantisipasi ancaman bencana alam yang saat ini mulai melanda hampir seluruh jengkal tanah di negeri ini, melakukan pencegahan merebaknya wabah penyakit berbahaya (DBD, malaria, diare, flu burung, dsb) di lingkungan sekitar, mengabdikan diri dalam program pemberantasan praktik korupsi dengan sebisa mungkin mencegah agar ‘parasit-parasit negara’ itu tidak kian brutal menjarah uang rakyat.
Bisa juga diwujudkan dengan memperjuangkan berbagai program pemberdayaan (empowerment) masyarakat di tingkat bawah dalam rangka menekan angka kemiskinan serta berjuang bagi kelangsungan pendidikan intelektual dan moralitas anak-anak bangsa di daerah-daerah terpencil, lebih sebagai upaya untuk mempercepat program pemberantasan buta aksara. Semua ini dilakukan, tentu jauh dari gemerlapnya duniawi.
Sekali lagi, bahwa menjadi pahlawan bukanlah sekadar ‘takdir’, namun lebih merupakan sebuah ‘pilihan’. Kini, sebagai warga bangsa, jika kita masih menginginkan bangsa ini selamat dan bisa melepaskan diri dari jurang keterpurukan krisis, maka berusaha keras setidaknya memiliki niat untuk bisa menjadi ‘pahlawan masa kini’, tentunya menjadi sebuah keniscayaan dan merupakan pilihan yang amat mulia.
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung