SOROT
Oleh: Nurfa Rosanti*
"Tanpa mempelajari bahasa sendiri orang takkan mengenal bangsanya sendiri”. (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, Hal. 119)
Banyak kalangan yang menuding bahwa bahasa Indonesia tengah mengalami krisis dan diramalkan sedang mendekati ‘ajalnya’. Penyebabnya adalah para predator bahasa yang sengaja mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Siapa para predator itu? Mereka yang kerap menyisipkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia kehilangan kekhasannya.
Benarkah demikian? Saya justru sangsi bahwa bahasa Indonesia tengah berada di simpang ajal gara-gara disisipi bahasa asing. Apalagi ditambah dengan sebuah penegasan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa tulen orang Indonesia dan karenanya harus menutup pintu rapat-rapat terhadap pengaruh dari luar.
Sebab hal tersebut bertentangan dengan proses dialektika sebuah kebudayaan. Budaya lahir dan berkembang mengikuti zamannya. Sebuah bahasa yang notanene bagian dari kebudayaan akan tetap abadi jika dia mampu melebur dalam setiap perubahan.
Memang benar kita sering dibikin jengkel oleh ulah para pesolek bahasa yang dengan niatan tampil beda di depan publik kemudian mencoba-coba beringgris-ria sementara penguasaan terhadap bahasa Indonesia nol besar. Baik dalam hal bertutur maupun tulisan. Boleh dihitung, berapa banyak pejabat negeri ini yang kerap muncul di tv dengan beringgris-ria yang mampu menulis dengan bahasa Indonesia yang “renyah” dan enak dibaca? Segelintir saja --kalau tak ingin menyebutnya tak ada.
Tetapi menolak sepenuhnya pengaruh dari luar tehadap keberadaan bahasa Indonesia justru kekeliruan yang besar. Kalau dianalogikan persis seperti kacang yang lupa kulitnya.
Memang harus diakui “serangan” bahasa Inggris ke dalam banyak bahasa di Asia tidaklah kecil. Mulai dari Asia bagian barat (dalam bahasa Arab) sampai ke Asia bagian timur (dalam bahasa Jepang) terlihat betapa kuatnya Prayojana beringgris-ria menyusup dalam bahasa-bahasa tersebut. Bayangkan saja, bahasa Arab dan bahasa Jepang yang bahkan memiliki tradisi sastra yang unggul --dari peta kebudayaan yang demikian maju-- toh dapat bobol diserang kata-kata bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia, bahasa dari bangsa-bangsa imigran yang berkebudayaan kian kemari (Remy Sylado, Kompas 2002).
Lagipula, landasan dasar yang tergenggam erat di kaki Garuda Pancasila sudah jelas bahwa kita berdiri atas dasar Bhinneka Tuggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu jua. Kita sudah mengakui sendiri bahwa kita hadir dengan ciri-ciri jamak. Baik dalam pembentukan sebuah bangsa maupun bahasa.
Kejamakan itu kalau mau diseret jauh kebelakang, ternyata disebabkan oleh letak geografis Indonesia sendiri serta sejarah kolonialisme yang berurat akar. Sebagai wilayah yang menjadi salah satu pusat perdagangan internasional (Malaka), tidak bisa tidak, masyarakat Indonesia berhadapan dengan berbagai suku bangsa, mulai dari Arab, Cina, Campa, Persia.
Awalnya bangsa Indonesia cukup sulit berkomunikasi dengan para pedagang tersebut. Kala itu kita belum memiliki bahasa persatuan. Kita masih menggunakan bahasa daerah masing-masing. Satu-satunya bahasa Nusantara yang banyak dimengerti para pedagang aasing adalah bahasa Melayu. Hal tersebut tentu saja harus ‘memaksa’ penduduk Indonesia belajar Melayu. Tentu saja awalnya hanya untuk kepentingan perdagangan semata.
Baru setelah kolonialisme menancapkan kukunya di Nusantara, kaum pejuang dan aktivis kemerdekaan mulai mencari perekat antar bangsa, untuk mensolidkan perlawanan dan menyamakan gagasan. Kemudian disepakati bahasa Indonesia (Melayu) sebagai bahasa pesatuan. Alasannya karena bahasa itulah yang kerap digunakan. Juga dimengerti bangsa lain --yang kerap datang ke Indonesia-- dan ini memungkinkan untuk mendapatkan dukungan dari pihak luar. Termasuk dari bangsa Eropa yang lama tinggal di Indonesia seperti Portugis, Spanyol, Perancis, Belanda, Inggris.
Dari sedikit pemaparan sejarah di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa pertemuan lintas suku bangsa dengan berbagai bahasa yang berbeda itulah akhirnya tercipta bahasa Indonesia --kalau mau jujur-- yang campur aduk. Mirip gado-gado.
Coba kita perhatikan tata busana resmi kita saat ini. Pakain resmi pria Indonesia dimulai dari bawah; sepatu, kaus kaki, celana atau pantaloon, singlet, baju atau hem, dasi, jas, disertai arloji dan yang paling atas kopiah. Semua barang yang dipakai pria untuk menjadikannya berbudaya ini ternyata berasal dari kata-kata bahasa asing, Spanyol: Zapato, Belanda:kous, Sansekerta: celanaka, Perancis: pantaloon, Inggris: singlet, Persia: bazu, Belanda hemd, Belanda: dasje, Belanda: jas, Perancis: horlage, Arab: kuffiyatun. Begitu pula dengan pakaian wanita berbudaya. Misalnya, kalau ia tidak mengenakan sepatu tetapi selop maka urutannya adalah rok, blus, BH, blesser dan jilbab. Semua itu berasal dari bahasa asing, Belanda: slof, Belanda: rok, Perancis: blouse, Belada: BH singkatan dari buste houder, artinya “pemegang susu payudara” Inggris: blazer dan Arab: jilbab.(Sylado 2002;142-143)
Bahkan menurut catatan sejarah, nama Indonesiapun diberikan pertama kali oleh orang Inggris, JR Logan, 1848 (melalui tulisannya “Customs common to the hill tribes bordering on Assam and those of the Indian Archipelago”) lalu dipermasyurkan oleh orang Jerman, Adolf Bastian, 1884 (melalui tulisannya “Indonesian oder die Insel des malayschen Archipels”) (Dhaniel Dhakidae dan Ben Anderson dalam Imagined Community).
Di sini dapat dilihat, bahwa kekhasan bahasa Indonesia sendiri sudah runtuh. Satu-satunya kekhasan bahasa Indonesia adalah --plastisitas dan perkembangan bahasa umum-- kemajemukannya itu sendiri. Sehingga konteks penyelamatan bahasa melalui undang-undang kebahasaan jelas terlalu berlebihan.
Terlebih lagi, jika kemudian harus memberangus semua yang berbau asing dari bumi Indonesia tanpa mau melihat bahasa dari segi sosiologis menyangkut pandangan-pandangan tentang keindahan bertutur dan berekspresi. Seakan-akan segala yang berasal dari luar itu negatif. Sikap semacam itu adalah sikap tribalistik. Dan galibnya kaum tribal, yang selalu ditekankan adalah kebaikan diri sendiri seraya tidak peduli atau tidak mau tahu kebaikan orang lain di luar dirinya. Akibatnya, kehidupannya monoton dan pandangan terhadap dunia luar menjadi sempit. Sehingga upaya menuju kemajuan justru mandek di tengah jalan. Termasuk dalam penguasaan bahasa.
*) Pemerhati linguistik dan pengajar di SMP Darusyahid Sampang, Madura.
Oleh: Nurfa Rosanti*
"Tanpa mempelajari bahasa sendiri orang takkan mengenal bangsanya sendiri”. (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, Hal. 119)
Banyak kalangan yang menuding bahwa bahasa Indonesia tengah mengalami krisis dan diramalkan sedang mendekati ‘ajalnya’. Penyebabnya adalah para predator bahasa yang sengaja mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Siapa para predator itu? Mereka yang kerap menyisipkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia kehilangan kekhasannya.
Benarkah demikian? Saya justru sangsi bahwa bahasa Indonesia tengah berada di simpang ajal gara-gara disisipi bahasa asing. Apalagi ditambah dengan sebuah penegasan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa tulen orang Indonesia dan karenanya harus menutup pintu rapat-rapat terhadap pengaruh dari luar.
Sebab hal tersebut bertentangan dengan proses dialektika sebuah kebudayaan. Budaya lahir dan berkembang mengikuti zamannya. Sebuah bahasa yang notanene bagian dari kebudayaan akan tetap abadi jika dia mampu melebur dalam setiap perubahan.
Memang benar kita sering dibikin jengkel oleh ulah para pesolek bahasa yang dengan niatan tampil beda di depan publik kemudian mencoba-coba beringgris-ria sementara penguasaan terhadap bahasa Indonesia nol besar. Baik dalam hal bertutur maupun tulisan. Boleh dihitung, berapa banyak pejabat negeri ini yang kerap muncul di tv dengan beringgris-ria yang mampu menulis dengan bahasa Indonesia yang “renyah” dan enak dibaca? Segelintir saja --kalau tak ingin menyebutnya tak ada.
Tetapi menolak sepenuhnya pengaruh dari luar tehadap keberadaan bahasa Indonesia justru kekeliruan yang besar. Kalau dianalogikan persis seperti kacang yang lupa kulitnya.
Memang harus diakui “serangan” bahasa Inggris ke dalam banyak bahasa di Asia tidaklah kecil. Mulai dari Asia bagian barat (dalam bahasa Arab) sampai ke Asia bagian timur (dalam bahasa Jepang) terlihat betapa kuatnya Prayojana beringgris-ria menyusup dalam bahasa-bahasa tersebut. Bayangkan saja, bahasa Arab dan bahasa Jepang yang bahkan memiliki tradisi sastra yang unggul --dari peta kebudayaan yang demikian maju-- toh dapat bobol diserang kata-kata bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia, bahasa dari bangsa-bangsa imigran yang berkebudayaan kian kemari (Remy Sylado, Kompas 2002).
Lagipula, landasan dasar yang tergenggam erat di kaki Garuda Pancasila sudah jelas bahwa kita berdiri atas dasar Bhinneka Tuggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu jua. Kita sudah mengakui sendiri bahwa kita hadir dengan ciri-ciri jamak. Baik dalam pembentukan sebuah bangsa maupun bahasa.
Kejamakan itu kalau mau diseret jauh kebelakang, ternyata disebabkan oleh letak geografis Indonesia sendiri serta sejarah kolonialisme yang berurat akar. Sebagai wilayah yang menjadi salah satu pusat perdagangan internasional (Malaka), tidak bisa tidak, masyarakat Indonesia berhadapan dengan berbagai suku bangsa, mulai dari Arab, Cina, Campa, Persia.
Awalnya bangsa Indonesia cukup sulit berkomunikasi dengan para pedagang tersebut. Kala itu kita belum memiliki bahasa persatuan. Kita masih menggunakan bahasa daerah masing-masing. Satu-satunya bahasa Nusantara yang banyak dimengerti para pedagang aasing adalah bahasa Melayu. Hal tersebut tentu saja harus ‘memaksa’ penduduk Indonesia belajar Melayu. Tentu saja awalnya hanya untuk kepentingan perdagangan semata.
Baru setelah kolonialisme menancapkan kukunya di Nusantara, kaum pejuang dan aktivis kemerdekaan mulai mencari perekat antar bangsa, untuk mensolidkan perlawanan dan menyamakan gagasan. Kemudian disepakati bahasa Indonesia (Melayu) sebagai bahasa pesatuan. Alasannya karena bahasa itulah yang kerap digunakan. Juga dimengerti bangsa lain --yang kerap datang ke Indonesia-- dan ini memungkinkan untuk mendapatkan dukungan dari pihak luar. Termasuk dari bangsa Eropa yang lama tinggal di Indonesia seperti Portugis, Spanyol, Perancis, Belanda, Inggris.
Dari sedikit pemaparan sejarah di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa pertemuan lintas suku bangsa dengan berbagai bahasa yang berbeda itulah akhirnya tercipta bahasa Indonesia --kalau mau jujur-- yang campur aduk. Mirip gado-gado.
Coba kita perhatikan tata busana resmi kita saat ini. Pakain resmi pria Indonesia dimulai dari bawah; sepatu, kaus kaki, celana atau pantaloon, singlet, baju atau hem, dasi, jas, disertai arloji dan yang paling atas kopiah. Semua barang yang dipakai pria untuk menjadikannya berbudaya ini ternyata berasal dari kata-kata bahasa asing, Spanyol: Zapato, Belanda:kous, Sansekerta: celanaka, Perancis: pantaloon, Inggris: singlet, Persia: bazu, Belanda hemd, Belanda: dasje, Belanda: jas, Perancis: horlage, Arab: kuffiyatun. Begitu pula dengan pakaian wanita berbudaya. Misalnya, kalau ia tidak mengenakan sepatu tetapi selop maka urutannya adalah rok, blus, BH, blesser dan jilbab. Semua itu berasal dari bahasa asing, Belanda: slof, Belanda: rok, Perancis: blouse, Belada: BH singkatan dari buste houder, artinya “pemegang susu payudara” Inggris: blazer dan Arab: jilbab.(Sylado 2002;142-143)
Bahkan menurut catatan sejarah, nama Indonesiapun diberikan pertama kali oleh orang Inggris, JR Logan, 1848 (melalui tulisannya “Customs common to the hill tribes bordering on Assam and those of the Indian Archipelago”) lalu dipermasyurkan oleh orang Jerman, Adolf Bastian, 1884 (melalui tulisannya “Indonesian oder die Insel des malayschen Archipels”) (Dhaniel Dhakidae dan Ben Anderson dalam Imagined Community).
Di sini dapat dilihat, bahwa kekhasan bahasa Indonesia sendiri sudah runtuh. Satu-satunya kekhasan bahasa Indonesia adalah --plastisitas dan perkembangan bahasa umum-- kemajemukannya itu sendiri. Sehingga konteks penyelamatan bahasa melalui undang-undang kebahasaan jelas terlalu berlebihan.
Terlebih lagi, jika kemudian harus memberangus semua yang berbau asing dari bumi Indonesia tanpa mau melihat bahasa dari segi sosiologis menyangkut pandangan-pandangan tentang keindahan bertutur dan berekspresi. Seakan-akan segala yang berasal dari luar itu negatif. Sikap semacam itu adalah sikap tribalistik. Dan galibnya kaum tribal, yang selalu ditekankan adalah kebaikan diri sendiri seraya tidak peduli atau tidak mau tahu kebaikan orang lain di luar dirinya. Akibatnya, kehidupannya monoton dan pandangan terhadap dunia luar menjadi sempit. Sehingga upaya menuju kemajuan justru mandek di tengah jalan. Termasuk dalam penguasaan bahasa.
*) Pemerhati linguistik dan pengajar di SMP Darusyahid Sampang, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar