Oleh: Fitriana Utami Dewi*
Masalah impor beras kembali mencuat di penghujung 2006. Wapres Yusuf Kalla menyatakan, untuk menjaga stok pangan nasional yang berkurang pemerintah kembali mengimpor beras hingga Maret 2007 sebanyak 500.000 ribu ton. "Stok kita kurang, akibat digunakan untuk operasi pasar (OP) dan pembagian beras bagi masyarakat miskin (raskin)," katanya. Niatan keras pemerintah itu pun tak pelak mengundang sejumlah reaksi dari berbagai pihak, ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga mengintruksikan agar segera dilakukan operasi pasar (OP) yang lebih besar untuk mengembalikan harga beras ke kisaran Rp 4.000/kg. Presiden juga meminta mempercepat pembagian raskin yang biasanya dilakukan akhir Januari 2007, menjadi akhir Desember 2006. Diungkapkannya, stok beras nasional per bulan rata-rata berkurang antara 200.000 - 250. 000 ton. Wapres menyatakan, impor beras itu tidak akan merugikan petani karena pemerintah akan mengembalikan harga beras di kisaran Rp 4.000 per kilogram. Wapres juga menjelaskan, harga beras di beberapa daerah di tanah air merangkak menjadi Rp5.000 - Rp7.000 per kilogram. Dinyatakan pula, daya beli yang rendah membuat masyarakat kesulitan mendapatkan beras, meski telah dilakukan OP yang menjual harga beras di bawah rata-rata.
Jangka Pendek
Sebelum mengambil kebijakan, tentunya yang harus dilakukan adalah pengumpulan informasi berkaitan dengan masalah yang dihadapi untuk kemudian diambil kesimpulan penyebab utama dari persoalan itu. Kemudian dicarikan formulasi yang tepat untuk mengatasinya.
Pemerintah Indonesia mengetahui, stok beras di Bulog menipis dan terus berkurang akibat program raskin dan OP untuk menstabilkan harga pasar. Berdasarkan hal itu, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan impor beras sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan stok beras nasional. Dengan alasan menjaga ketahanan pangan nasional dari Januari sampai Maret 2007. Maret, diperkirakan awal masa panen raya nasional.
Dengan pola berpikir sederhanya sebenarnya masalah ini mudah diselesaikan. Dengan cara menentukan beras yang akan dibagi dalam program raskin dan yang tidak boleh dikeluarkan (beras untuk persedian menjaga keamanan stok pangan nasional) sehingga tidak akan terjadi kekurangan stok pangan nasional. Demikian pula untuk program lain baik terencana maupun tidak, misalnya karena bencana alam yang bisa diambil dari cadangan Bulog yang tentunya harus ada.
Pemerintah sebaiknya melakukan introspeksi berkenaan dengan manajemen pengelolaan stok pangan nasional. Dengan demikian, masalah ini benar-benar menjadi pelajaran berharga agar tidak terulang kembali tahun depan.
Demikian pula, berkurangnya stok pangan nasional karena gencarnya OP untuk menstabilkan kembali harga beras yang melonjak di beberapa daerah, pemerintah seyogyanya menganalisis terlebih dahulu apa yang menyebabkan melonjaknya harga tersebut. Apakah karena stoknya yang kurang, atau karena adanya aksi penimbunan yang dilakukan spekulan beras?
Jika, masalahnya karena kurangnya stok beras di daerah tersebut, maka pemerintah secepatnya mendistribusikan beras ke daerah itu. Apalagi banyak daerah yang mengalami surplus beras. Pemerintah bisa saja melaksanakan program subsidi silang dengan mengambil beras dari daerah yang surplus tersebut.
Tapi, kalau masalahnya disebabkan adanya aksi penimbunan beras sebagaimana dinyatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Paskah Suzetta ulah spekulan mengakibatkan terjadinya kelangkaan yang diikuti naiknya harga beras (BPost, 22 Desember 2006), maka pemerintah harus serius memperhatikannya dengan menyelidiki kebenaran fakta tersebut. Selanjutnya, membongkar kasus penimbunan beras itu dan menyeret pelakunya ke pengadilan.
Menurut pandangan Islam, penimbunan adalah aktivitas yang diharamkan. Sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Said bin Al-Musaib dari Ma'mar bin Abdullah Al-Adawi, Nabi SAW bersabda: "Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah." Al-Atsram meriwayatkan dari Abi Umamah: "Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan."
Jangka Panjang
Indonesia merupakan negeri yang subur. Sebagian besar masyarakatnya hidup dari hasil bertani, karenanya dikenal sebagai negara agraris. Sungguh aneh, negeri yang subur ini justru harus menerima kenyataan pahit berupa seringnya terjadi kekurangan stok pangan nasional, lebih-lebih krisis pangan. Sepanjang era reformasi, Pemerintah Indonesia 10 kali (tiap tahun) melakukan impor beras untuk mencukupi stok pangan nasional dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah impor terbesar terjadi pada tahun 1998 yang merupakan impor beras pertama di era reformasi.
Kenyataan ini sungguh memalukan. Jika melihat besarnya potensi alam Indonesia yang subur tetapi sering terjadi kekurangan stok pangan nasional dan kebijakan impor beras yang berturut-turut selama 10 (sepuluh) tahun, setidaknya menunjukkan begitu lemahnya manajemen pemerintah dalam mengurusi tetap terjaminnya stok pangan nasional.
Untuk mengatasi agar tidak terulang lagi kekurangan stok pangan nasional, maka selain melakukan program penataan kembali masalah manajemen pengurusannya juga penting meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian dengan melaksanakan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Keduanya merupakan pilar penting dalam menopang politik pertanian.
Menurut Al-Maliki (2001), pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produksi dan biasanya menempuh dua jalan. Pertama, dengan jalan intensifikasi seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah. Kedua, dengan jalan ekstensifikasi seperti menambah luas area yang akan ditanaminya.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik modern di kalangan petani dan membantu pengadaan benih serta budidayanya. Negara memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai utang. Supaya mereka dapat membeli kebutuhannya seperti peralatan, benih dan obat-obatan untuk meningkatkan produksi. Selain mendorong mereka yang mampu agar membeli semua itu.
Ekstensifikasi pertanian dicapai dengan mendorong agar menghidupkan tanah mati dan memagarinya. Negara memberikan lahan secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tapi tidak memiliki lahan, mereka yang memiliki area tanah sempit termasuk tanah yang berada di bawah kekuasaannya. Negara segera mengambil secara paksa dari tiap orang yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut. Dengan intensifikasi dan ektensifikasi, akan tercapai peningkatan produksi pertanian dan realisasi tujuan pokok dalam politik pertanian. Namun, ada masalah lain dalam politik pertanian yang datang setelah peningkatan produksi yaitu kualitas produksi.
Pemerintah harus memperhatikan pelaksanaan dua program tersebut. Pertama, agar program intensifikasi pertanian dapat berjalan baik, hendaknya disertai program pendidikan/pelatihan dan pembimbingan yang optimal. Sebagian besar petani di negeri ini berpendidikan rendah dan mendapatkan keahlian bertani dari proses turun-temurun (tradisional). Kedua, pemerintah melakukan program transmigrasi yang belum berjalan optimal. Masih banyaknya area tanah mati yang belum diberdayakan. Program transmigrasi terkesan hanya memindahkan rakyat dari daerah padat ke daerah yang masih jarang penduduknya. Sebenarnya mereka membutuhkan lebih dari sekadar tanah mati yang subur, yakni pendidikan/pelatihan dan pembimbingan dalam mengelola tanah pertanian hingga menghasilkan produk yang optimal.
Dengan dua solusi tersebut, persoalan pangan nasional mungkin segera teratasi. Sekarang tinggal pemerintah mau melakukan introspeksi dan memperhatikan saran dan nasihat dari berbagai pihak yang berkompeten atau tidak.
*) Penulis adalah peneliti sosial, tinggal di Surabaya
Masalah impor beras kembali mencuat di penghujung 2006. Wapres Yusuf Kalla menyatakan, untuk menjaga stok pangan nasional yang berkurang pemerintah kembali mengimpor beras hingga Maret 2007 sebanyak 500.000 ribu ton. "Stok kita kurang, akibat digunakan untuk operasi pasar (OP) dan pembagian beras bagi masyarakat miskin (raskin)," katanya. Niatan keras pemerintah itu pun tak pelak mengundang sejumlah reaksi dari berbagai pihak, ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga mengintruksikan agar segera dilakukan operasi pasar (OP) yang lebih besar untuk mengembalikan harga beras ke kisaran Rp 4.000/kg. Presiden juga meminta mempercepat pembagian raskin yang biasanya dilakukan akhir Januari 2007, menjadi akhir Desember 2006. Diungkapkannya, stok beras nasional per bulan rata-rata berkurang antara 200.000 - 250. 000 ton. Wapres menyatakan, impor beras itu tidak akan merugikan petani karena pemerintah akan mengembalikan harga beras di kisaran Rp 4.000 per kilogram. Wapres juga menjelaskan, harga beras di beberapa daerah di tanah air merangkak menjadi Rp5.000 - Rp7.000 per kilogram. Dinyatakan pula, daya beli yang rendah membuat masyarakat kesulitan mendapatkan beras, meski telah dilakukan OP yang menjual harga beras di bawah rata-rata.
Jangka Pendek
Sebelum mengambil kebijakan, tentunya yang harus dilakukan adalah pengumpulan informasi berkaitan dengan masalah yang dihadapi untuk kemudian diambil kesimpulan penyebab utama dari persoalan itu. Kemudian dicarikan formulasi yang tepat untuk mengatasinya.
Pemerintah Indonesia mengetahui, stok beras di Bulog menipis dan terus berkurang akibat program raskin dan OP untuk menstabilkan harga pasar. Berdasarkan hal itu, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan impor beras sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan stok beras nasional. Dengan alasan menjaga ketahanan pangan nasional dari Januari sampai Maret 2007. Maret, diperkirakan awal masa panen raya nasional.
Dengan pola berpikir sederhanya sebenarnya masalah ini mudah diselesaikan. Dengan cara menentukan beras yang akan dibagi dalam program raskin dan yang tidak boleh dikeluarkan (beras untuk persedian menjaga keamanan stok pangan nasional) sehingga tidak akan terjadi kekurangan stok pangan nasional. Demikian pula untuk program lain baik terencana maupun tidak, misalnya karena bencana alam yang bisa diambil dari cadangan Bulog yang tentunya harus ada.
Pemerintah sebaiknya melakukan introspeksi berkenaan dengan manajemen pengelolaan stok pangan nasional. Dengan demikian, masalah ini benar-benar menjadi pelajaran berharga agar tidak terulang kembali tahun depan.
Demikian pula, berkurangnya stok pangan nasional karena gencarnya OP untuk menstabilkan kembali harga beras yang melonjak di beberapa daerah, pemerintah seyogyanya menganalisis terlebih dahulu apa yang menyebabkan melonjaknya harga tersebut. Apakah karena stoknya yang kurang, atau karena adanya aksi penimbunan yang dilakukan spekulan beras?
Jika, masalahnya karena kurangnya stok beras di daerah tersebut, maka pemerintah secepatnya mendistribusikan beras ke daerah itu. Apalagi banyak daerah yang mengalami surplus beras. Pemerintah bisa saja melaksanakan program subsidi silang dengan mengambil beras dari daerah yang surplus tersebut.
Tapi, kalau masalahnya disebabkan adanya aksi penimbunan beras sebagaimana dinyatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Paskah Suzetta ulah spekulan mengakibatkan terjadinya kelangkaan yang diikuti naiknya harga beras (BPost, 22 Desember 2006), maka pemerintah harus serius memperhatikannya dengan menyelidiki kebenaran fakta tersebut. Selanjutnya, membongkar kasus penimbunan beras itu dan menyeret pelakunya ke pengadilan.
Menurut pandangan Islam, penimbunan adalah aktivitas yang diharamkan. Sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Said bin Al-Musaib dari Ma'mar bin Abdullah Al-Adawi, Nabi SAW bersabda: "Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah." Al-Atsram meriwayatkan dari Abi Umamah: "Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan."
Jangka Panjang
Indonesia merupakan negeri yang subur. Sebagian besar masyarakatnya hidup dari hasil bertani, karenanya dikenal sebagai negara agraris. Sungguh aneh, negeri yang subur ini justru harus menerima kenyataan pahit berupa seringnya terjadi kekurangan stok pangan nasional, lebih-lebih krisis pangan. Sepanjang era reformasi, Pemerintah Indonesia 10 kali (tiap tahun) melakukan impor beras untuk mencukupi stok pangan nasional dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah impor terbesar terjadi pada tahun 1998 yang merupakan impor beras pertama di era reformasi.
Kenyataan ini sungguh memalukan. Jika melihat besarnya potensi alam Indonesia yang subur tetapi sering terjadi kekurangan stok pangan nasional dan kebijakan impor beras yang berturut-turut selama 10 (sepuluh) tahun, setidaknya menunjukkan begitu lemahnya manajemen pemerintah dalam mengurusi tetap terjaminnya stok pangan nasional.
Untuk mengatasi agar tidak terulang lagi kekurangan stok pangan nasional, maka selain melakukan program penataan kembali masalah manajemen pengurusannya juga penting meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian dengan melaksanakan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Keduanya merupakan pilar penting dalam menopang politik pertanian.
Menurut Al-Maliki (2001), pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produksi dan biasanya menempuh dua jalan. Pertama, dengan jalan intensifikasi seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah. Kedua, dengan jalan ekstensifikasi seperti menambah luas area yang akan ditanaminya.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik modern di kalangan petani dan membantu pengadaan benih serta budidayanya. Negara memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai utang. Supaya mereka dapat membeli kebutuhannya seperti peralatan, benih dan obat-obatan untuk meningkatkan produksi. Selain mendorong mereka yang mampu agar membeli semua itu.
Ekstensifikasi pertanian dicapai dengan mendorong agar menghidupkan tanah mati dan memagarinya. Negara memberikan lahan secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tapi tidak memiliki lahan, mereka yang memiliki area tanah sempit termasuk tanah yang berada di bawah kekuasaannya. Negara segera mengambil secara paksa dari tiap orang yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut. Dengan intensifikasi dan ektensifikasi, akan tercapai peningkatan produksi pertanian dan realisasi tujuan pokok dalam politik pertanian. Namun, ada masalah lain dalam politik pertanian yang datang setelah peningkatan produksi yaitu kualitas produksi.
Pemerintah harus memperhatikan pelaksanaan dua program tersebut. Pertama, agar program intensifikasi pertanian dapat berjalan baik, hendaknya disertai program pendidikan/pelatihan dan pembimbingan yang optimal. Sebagian besar petani di negeri ini berpendidikan rendah dan mendapatkan keahlian bertani dari proses turun-temurun (tradisional). Kedua, pemerintah melakukan program transmigrasi yang belum berjalan optimal. Masih banyaknya area tanah mati yang belum diberdayakan. Program transmigrasi terkesan hanya memindahkan rakyat dari daerah padat ke daerah yang masih jarang penduduknya. Sebenarnya mereka membutuhkan lebih dari sekadar tanah mati yang subur, yakni pendidikan/pelatihan dan pembimbingan dalam mengelola tanah pertanian hingga menghasilkan produk yang optimal.
Dengan dua solusi tersebut, persoalan pangan nasional mungkin segera teratasi. Sekarang tinggal pemerintah mau melakukan introspeksi dan memperhatikan saran dan nasihat dari berbagai pihak yang berkompeten atau tidak.
*) Penulis adalah peneliti sosial, tinggal di Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar