OLEH: M. Ikhsan Shiddieqy, S.Pt.
Dalam satu bulan terakhir ini, pemerintah sedang gencar melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga beras di tengah-tengah masyarakat. Harga beras memang sedang merangkak naik dan mencekik leher masyarakat miskin. Hasil rapat kabinet yang dipimpin langsung oleh Wapres Jusuf Kalla pertengahan Februari lalu menghasilkan keputusan untuk menyebarkan benih padi kepada masyarakat dan munculnya wacana untuk melaksanakan (kembali) impor beras.
Petani adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan oleh kebijakan impor beras. Tingkat penawaran yang tinggi menyebabkan harga jual beras di tingkat petani (farm gate price) akan mencapai titik yang sangat rendah. Kenyataan itu membuat petani semakin tenggelam dalam kubangan lumpur kemiskinan. Rakyat kecil tidak lagi menjadi dasar dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.
Petani-petani di Indonesia sangat berbeda dengan definisi petani (farmer) dalam pengertian agribisnis, yaitu pelaku utama dalam sebuah usahatani yang bertujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, namun menjual produknya untuk mendapat keuntungan. Kelompok farmer ini dapat pula diartikan sebagai petani-pedagang yang juga menguasai ilmu dan teknik marketing. Hal ini berbeda dengan petani di Indonesia yang sebagian besar merupakan buruh tani dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipun terkadang tidak dapat mencukupi.
Fakta tersebut memperjelas bahwa petani di Indonesia selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dalam mata rantai agribisnis. Menurut Egbert de Vries, seperti dikutip oleh JA Noertjahyo (2005), pendapatan petani di Jawa menjadi rendah sebagai akibat padatnya penduduk, bukan karena produktivitas yang kurang atau keterbelakangan pertanian. Di Belanda, tiap areal pertanian dihuni oleh satu jiwa, di Amerika 5,2 hektar satu jiwa, dan di Indonesia tiap jiwa kurang lebih 0,23 hektar.
Impor beras
Keterpurukan ekonomi bangsa Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari berubahnya strategi pembangunan nasional. Pembangunan pertanian tidak lagi menjadi prioritas, fungsi pertanian dalam sistem ekonomi Indonesia telah dianak-tirikan keberadaannya. Sejak tahun 1985, paradigma pembangunan telah bergeser menjadi pembangunan berbasis industri. Padahal, strategi pembangunan berbasis industrialisasi akan menjebak bangsa ini pada ketergantungan bahan baku impor. Dengan kata lain, industri-industri tersebut sangat rentan terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar dan dapat menguras cadangan devisa negara, sehingga tidak akan berdaya ketika menghadapi krisis ekonomi.
Sungguh ironis, Indonesia yang dulu pernah berswasembada beras pada tahun 1984, sekarang ini telah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar. Indonesia pernah melakukan penjualan pesawat terbang produksi PTDI secara imbal dagang dengan Thailand. Pesawat terbang tersebut ditukar dengan beras, suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara agraris seperti Indonesia.
Pemerintah Orde Baru nampaknya terlena dengan penghargaan dari FAO atas prestasi swasembada beras pada tahun 1984. Arah pembangunan kemudian bergeser kepada industri canggih berteknologi tinggi. Kurangnya perhatian terhadap sektor pertanian merupakan awal malapetaka bagi bangsa ini. Lahan pertanian yang berubah menjadi lahan industri akan menyebabkan produksi pangan menurun. Jumlah penduduk yang bertambah banyak menuntut tersedia bahan pangan yang melimpah. Impor beras pun akhirnya menjadi jalan keluar.
Marjinalisasi petani
Konsekuesi dari industrialisasi adalah berubahnya fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri. Bahkan, proses industrialisasi selalu memakan lahan yang tergolong subur bagi proses produksi pertanian. Hal ini secara langsung dapat "membunuh" eksistensi petani dan menjatuhkan mereka ke dalam lembah kemiskinan. Padahal, petani adalah aktor utama dalam ekonomi pertanian dan merupakan ujung tombak dalam penyediaan bahan pangan masyarakat.
Kepemilikan lahan dapat dijadikan alasan utama atas buruknya nasib petani di Indonesia. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia nampaknya tidak dapat berbuat banyak untuk merubah nasib petani. Konversi lahan pertanian dapat berarti pula sebagai pengalihfungsian sumberdaya yang terkandung dalam lahan di sekitarnya. Lahan pertanian di daerah industri akan menemui kesulitan dalam mendapatkan air, karena sumberdaya air telah menjadi sesuatu yang diperebutkan oleh industri dan pertanian di sekitarnya. Akhirnya, sawah petani pun terkena puso, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Tingkat pengetahuan petani tidak dapat dijadikan kambing hitam dalam terpuruknya nasib mereka. Meskipun Data Sensus Pertanian (1983-1993) menunjukan bahwa 48,4% tenaga kerja di sektor pertanian tidak lulus SD, namun kemahiran petani dalam bercocok tanam sangat luar biasa, bahkan petani Indonesia lebih mahir dibandingkan petani di negara lain. Kuantitas produk pangan dapat diproduksi dengan baik oleh petani. Hal ini terlihat ketika jatuhnya harga gabah saat panen raya. Artinya, terjadi kelebihan penawaran (excess supply) terhadap permintaan (demand) beras.
Kecilnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani disebabkan pula oleh keberadaan petani dalam lingkaran setan sosial-ekonomi. Peningkatan produktivitas hasil pertanian justru dapat membuat petani semakin menggantungkan hidupnya pada mata rantai agribisnis yang memiliki nilai tambah kecil. Padahal, nilai tambah yang besar pada mata rantai agribisnis terletak pada kegiatan penyediaan faktor produksi, pemasaran, dan pengolahan. Nilai tambah dalam kegiatan ini biasanya dinikmati oleh mereka yang non-petani atau dikenal pula sebagai petani berdasi. Dengan kata lain, bertambahnya produktivitas hasil pertanian akan menyebabkan pertambahan pula pada nilai tambah yang akan diterima oleh kalangan non-petani.
Paradigma pembangunan nasional yang mengarah kepada pembangunan pertanian tidak hanya dapat meningkatkan taraf hidup petani, namun dapat pula dijadikan sebagai roda penggerak ekonomi bangsa. Cina dan India yang memiliki jumlah penduduk di atas 1 miliar telah melakukan prioritas pembangunannya pada sektor pertanian. Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta jiwa sudah saatnya berpegang pada aturan logis itu.
*) Pemerhati masalah peternakan dan pertanian, tinggal di Bandung
Dalam satu bulan terakhir ini, pemerintah sedang gencar melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga beras di tengah-tengah masyarakat. Harga beras memang sedang merangkak naik dan mencekik leher masyarakat miskin. Hasil rapat kabinet yang dipimpin langsung oleh Wapres Jusuf Kalla pertengahan Februari lalu menghasilkan keputusan untuk menyebarkan benih padi kepada masyarakat dan munculnya wacana untuk melaksanakan (kembali) impor beras.
Petani adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan oleh kebijakan impor beras. Tingkat penawaran yang tinggi menyebabkan harga jual beras di tingkat petani (farm gate price) akan mencapai titik yang sangat rendah. Kenyataan itu membuat petani semakin tenggelam dalam kubangan lumpur kemiskinan. Rakyat kecil tidak lagi menjadi dasar dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.
Petani-petani di Indonesia sangat berbeda dengan definisi petani (farmer) dalam pengertian agribisnis, yaitu pelaku utama dalam sebuah usahatani yang bertujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, namun menjual produknya untuk mendapat keuntungan. Kelompok farmer ini dapat pula diartikan sebagai petani-pedagang yang juga menguasai ilmu dan teknik marketing. Hal ini berbeda dengan petani di Indonesia yang sebagian besar merupakan buruh tani dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipun terkadang tidak dapat mencukupi.
Fakta tersebut memperjelas bahwa petani di Indonesia selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dalam mata rantai agribisnis. Menurut Egbert de Vries, seperti dikutip oleh JA Noertjahyo (2005), pendapatan petani di Jawa menjadi rendah sebagai akibat padatnya penduduk, bukan karena produktivitas yang kurang atau keterbelakangan pertanian. Di Belanda, tiap areal pertanian dihuni oleh satu jiwa, di Amerika 5,2 hektar satu jiwa, dan di Indonesia tiap jiwa kurang lebih 0,23 hektar.
Impor beras
Keterpurukan ekonomi bangsa Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari berubahnya strategi pembangunan nasional. Pembangunan pertanian tidak lagi menjadi prioritas, fungsi pertanian dalam sistem ekonomi Indonesia telah dianak-tirikan keberadaannya. Sejak tahun 1985, paradigma pembangunan telah bergeser menjadi pembangunan berbasis industri. Padahal, strategi pembangunan berbasis industrialisasi akan menjebak bangsa ini pada ketergantungan bahan baku impor. Dengan kata lain, industri-industri tersebut sangat rentan terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar dan dapat menguras cadangan devisa negara, sehingga tidak akan berdaya ketika menghadapi krisis ekonomi.
Sungguh ironis, Indonesia yang dulu pernah berswasembada beras pada tahun 1984, sekarang ini telah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar. Indonesia pernah melakukan penjualan pesawat terbang produksi PTDI secara imbal dagang dengan Thailand. Pesawat terbang tersebut ditukar dengan beras, suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara agraris seperti Indonesia.
Pemerintah Orde Baru nampaknya terlena dengan penghargaan dari FAO atas prestasi swasembada beras pada tahun 1984. Arah pembangunan kemudian bergeser kepada industri canggih berteknologi tinggi. Kurangnya perhatian terhadap sektor pertanian merupakan awal malapetaka bagi bangsa ini. Lahan pertanian yang berubah menjadi lahan industri akan menyebabkan produksi pangan menurun. Jumlah penduduk yang bertambah banyak menuntut tersedia bahan pangan yang melimpah. Impor beras pun akhirnya menjadi jalan keluar.
Marjinalisasi petani
Konsekuesi dari industrialisasi adalah berubahnya fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri. Bahkan, proses industrialisasi selalu memakan lahan yang tergolong subur bagi proses produksi pertanian. Hal ini secara langsung dapat "membunuh" eksistensi petani dan menjatuhkan mereka ke dalam lembah kemiskinan. Padahal, petani adalah aktor utama dalam ekonomi pertanian dan merupakan ujung tombak dalam penyediaan bahan pangan masyarakat.
Kepemilikan lahan dapat dijadikan alasan utama atas buruknya nasib petani di Indonesia. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia nampaknya tidak dapat berbuat banyak untuk merubah nasib petani. Konversi lahan pertanian dapat berarti pula sebagai pengalihfungsian sumberdaya yang terkandung dalam lahan di sekitarnya. Lahan pertanian di daerah industri akan menemui kesulitan dalam mendapatkan air, karena sumberdaya air telah menjadi sesuatu yang diperebutkan oleh industri dan pertanian di sekitarnya. Akhirnya, sawah petani pun terkena puso, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Tingkat pengetahuan petani tidak dapat dijadikan kambing hitam dalam terpuruknya nasib mereka. Meskipun Data Sensus Pertanian (1983-1993) menunjukan bahwa 48,4% tenaga kerja di sektor pertanian tidak lulus SD, namun kemahiran petani dalam bercocok tanam sangat luar biasa, bahkan petani Indonesia lebih mahir dibandingkan petani di negara lain. Kuantitas produk pangan dapat diproduksi dengan baik oleh petani. Hal ini terlihat ketika jatuhnya harga gabah saat panen raya. Artinya, terjadi kelebihan penawaran (excess supply) terhadap permintaan (demand) beras.
Kecilnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani disebabkan pula oleh keberadaan petani dalam lingkaran setan sosial-ekonomi. Peningkatan produktivitas hasil pertanian justru dapat membuat petani semakin menggantungkan hidupnya pada mata rantai agribisnis yang memiliki nilai tambah kecil. Padahal, nilai tambah yang besar pada mata rantai agribisnis terletak pada kegiatan penyediaan faktor produksi, pemasaran, dan pengolahan. Nilai tambah dalam kegiatan ini biasanya dinikmati oleh mereka yang non-petani atau dikenal pula sebagai petani berdasi. Dengan kata lain, bertambahnya produktivitas hasil pertanian akan menyebabkan pertambahan pula pada nilai tambah yang akan diterima oleh kalangan non-petani.
Paradigma pembangunan nasional yang mengarah kepada pembangunan pertanian tidak hanya dapat meningkatkan taraf hidup petani, namun dapat pula dijadikan sebagai roda penggerak ekonomi bangsa. Cina dan India yang memiliki jumlah penduduk di atas 1 miliar telah melakukan prioritas pembangunannya pada sektor pertanian. Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta jiwa sudah saatnya berpegang pada aturan logis itu.
*) Pemerhati masalah peternakan dan pertanian, tinggal di Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar