Senin

Anak Muda Kehilangan Figur

TEROPONG
Oleh: AHMAD FATONI*

Belakangan ini, apresiasi anak muda terhadap tokoh-tokoh nasional kita amat rendah. Imaji tentang tokoh negeri ini dianggap sekadar cerita yang basi untuk dibicarakan. Sosok, pemikiran, pengorbanan dan karya yang telah mereka persembahkan bagi bangsa dan negara, tidak lantas menjadi kebanggaan.
Realitas sosial memperlihatkan gaya hidup modern telah menggerus nilai-nilai “ketokohan”. Di mata anak muda sekarang, seorang tokoh bukanlah orang yang telah berkorban untuk kepentingan masyarakat luas. Mereka malah lebih menokohkan kaum selebritis, para artis sinetron, bintang-bintang sepak bola dunia, pembalap motoGP, dan sebagainya. Akibatnya, kita lihat banyak generasi muda kita tampak kerdil, ngambang, banyak omong tapi otaknya ompong, tahunya cuma obat-obatan terlarang, dan kreativitasnya hanya melulu dalam dunia hiburan.
Padahal, proposal masa depan suatu bangsa terpasak di pundak kaum muda. Sebagai kekuatan yang menggetarkan, angkatan muda diharapkan selalu menjadi penggerak pendulum sejarah. Dalam jiwa mereka terteken gairah kehidupan: sebuah Indonesia Baru. Bahkan Bung Karno pernah meretorikakan, bahwa dengan hanya 100 pemuda di sekelilingnya, ia sanggup menggoncang dunia.
Retorika Bung Karno itu tidaklah berlebihan. Sebab sejatinya dalam diri pemuda terpacak roh heroisme, gairah yang meletup-letup dan daya kreativitas tanpa batas. Hal ini senada dengan angan-angan Pram —sapaan sastrawan Pramoedya Ananta Toer— yang senantiasa merindukan angkatan muda terlahir untuk mendorong gelombang sejarah.
Ironisnya, generasi muda kita sekarang tampak tumbuh sebagai manusia-manusia parasit; sukanya hidup senang tanpa mau berkeringat, maunya cuma bergantung pada kekayaan dan kehormatan orang tua mereka. Dengan kondisi demikian, jangan diharap mereka akan muncul menjadi orang besar, mereka justru lebih pantas sebagai pecundang.
Menyitir pernyataan Pram, sesungguhnya angkatan tua terkadang menjadi biang petaka kehancuran mental kaum muda. Dalam novel Larasati (2003:22) Pram mengatakan, “Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi.” Dalam novel Anak Semua Bangsa (2000:66) Pram pun mengeluh, “Semua percuma kalau toh harus diperintah Angkatan Tua yang bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan.”
Kini tengok saja para elitis pemerintah telah banyak mengabaikan sisi-sisi keteladanan. Ironisnya, mereka sering kali berkoar-koar di hadapan publik agar hidup sebagai teladan bagi orang lain sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pahlawan kita. Hal itu terus diumbarnya berkali-kali, seolah setiap kali diucapkan sebetulnya menertawakan dirinya sendiri. Selebihnya, mereka hanya mementingkan keluarga dan partai politiknya daripada kepentingan rakyat banyak.
Langkah ke depan, hendaknya para elitis pemerintah (termasuk tokoh-tokoh masyarakat) bisa memberikan keteladanan sehingga dapat menjadi panutan bagi seluruh masyarakat. Mereka harusnya bisa menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatan. Hal itu harus betul-betul dibuktikan di tengah masyarakat, khususnya kaum muda, yang belakangan makin kehilangan sosok keteladanan.
Tanpa bermaksud menohok pihak tertentu di kalangan pemerintah maupun praktisi kekuasaan, sikap keteladanan agaknya kian samar dari gerak-gerik mereka. Padahal, niat baik untuk membangun sebuah tatanan Indonesia Baru harus dimulai dengan adanya sikap keteladanan dari semua pihak.
Jika ada yang bisa diteladani barulah akan tercipta kondisi yang kondusif untuk meniupkan roh keteladanan ke dalam diri setiap individu dengan cara bercermin pada tokoh-tokoh besar negeri ini, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Secara formal, sesungguhnya kita memiliki segudang tokoh nasional. Akan tetapi, mencari sosok teladan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita sangatlah sukar. Akhirnya, malapetaka demi malapetaka datang terutama menyerang sendi-sendi moralitas generasi muda kita. Dan, kala demoralisasi terus-menerus menggerogoti kehidupan kaum muda suatu bangsa, cepat atau lambat, akan tamatlah riwayat keadaban bangsa itu. Hemat penulis, yang terpenting adalah masing-masing diri kita berani memulai segala sesuatu dengan sikap keteladanan. l
*) Penggiat Pusat Studi Ilmu dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung