OLEH: KEN RATIH INDRI HAPSARI*
Jika seorang pemikir Ziaudin Sardar memaklumatkan bahwa abad 21 adalah peradaban buku, nampaknya mustahil terwujud di Kota Surabaya. Anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) memberikan dana yang cukup kecil untuk pengadaan buku (Kompas 5/11/2006).
Sedangkan anggaran Persebaya lebih besar dibandingkan untuk pengadaan buku bagi perpustakaan dan sekolah.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya mewujudkan masyarakat literer di Surabaya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pada hal budaya literer -salah satunya budaya membaca buku- merupakan syarat-syarat bagi terciptanya masyarakat yang sehat, cerdas, dan peka terhadap perubahan. Budaya baca-tulis lebih bermanfaat dibanding budaya menonton, apalagi budaya kekerasan massa (supporter) yang kerap menyertai pertandingan sepakbola. Ingat kasus kerusuhan para bonek beberapa bulan lalu, yang menambah daftar panjang kemunduran kebudayaan di daerah ini.
Budaya menonton, terutama menonton pertandingan sepakbola yang selalu memicu kerusuhan berbeda dengan budaya (membaca) buku. Menonton memang merupakan kegiatan yang tidak perlu menggunakan imajinasi atau tidak merangsang berpikir karena penonton (subjek) langsung dihubungkan dengan objek (tontonan) melalui penglihatan (dan pendengaran)—tidak perlu berpikir dan merasa dalam waktu panjang dan secara mendalam. Sedangkan, membaca adalah suatu kegiatan yang memacu kreatifitas pikiran dan merangsang imajinasi yang menjadi dasar bagi kecerdasan seorang manusia.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah selalu menomorduakan “peradaban buku”. Pengadaan buku dan kegiatan meningkatkan budaya baca-tulis di kalangan rakyat selalu mendapatkan anggaran jauh lebih sedikit. Padahal masyarakat Jawa Timur masih banyak yang membutuhkan kecerdasan literer. Di Kota Surabaya memang lebih sedikit jumlah masyarakat yang buta huruf dibanding dengan daerah-daerah lain seperti Jember. Bagi yang sudah melek hurufpun, sebagian masyarakat kita juga belum dapat membaca dan menggunakan bahasa Indonesia secara benar dalam konteks memanfaatkan bahasa untuk memaknai kehidupan dan memajukan peradabannya. Apa yang terjadi di daerah ini nampaknya mirip dengan apa yang diceritakan oleh cerpenis kenamaan negeri ini, Seno Gumiro Ajidarma, ketika ia mengucapkan pidato penerimaan Hadiah Sastra Asia Tenggara di Bangkok beberapa tahun lalu. Ia mengucapkan, “… Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca hanya untuk mengetahui harga-harga, membaca hanya untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan…”
Peradaban Buku
Kota Surabaya tidak sendirian dalam hal keterbelakangan “peradaban buku”-nya. Nasib buku di negeri ini harus diakui juga masih memprihatinkan. Bukan hanya Orde Baru yang melarang penerbitan buku-buku kritis, hingga kini masih seringkali terjadi pelarangan dan pembakaran buku-buku yang celakanya berasal dari kalangan masyarakat sendiri yang sering mengklaim kebenaran menurut kelompoknya. Artinya, buku sebagai media menyampaikan bahasa tidak mendapatkan ruang demokratis di negeri ini. Inilah salah satu penghambat perkembangan kebudayaan literer kita.
Menjamurnya penerbit buku di tanah air patut kita syukuri. Tetapi harus kita perhatikan bahwa tetap dibutuhkan niat baik bagi pemerintah untuk mengupayakan pengadaan buku dalam kuantitas yang cukup dan dengan kualitas yang memadai. Anggaran untuk buku harus ditambah. Jika peradaban buku disandarkan pada peran pemerintah yang menjalankan tugas mencerdaskan bangsa, maka tidak perlu lagi banyak alasan bagi masyarakat untuk tidak membaca buku karena harga yang mahal.
Selama ini, buku-buku berkualitas harganya amat mahal dan hanya kalangan tertentu saja yang dapat mengaksesnya, yaitu kaum intelektual dan kelas menengah ke atas. Padahal hak untuk melek pengetahuan dan menjadi cerdas adalah hak setiap warga negara. Artinya, buku tidak hanya dilihat dari jumlahnya yang beredar di masyarakat (kita masih ketinggalan jauh dengan negara-negara lain).
Belum cerdasnya masyarakat kita sekarang ini dapat kita lihat dari cara mereka dalam merespon perubahan. Sebagian besar dari mereka hanya menuruti arus pasar yang kian menggilas perekonomian, melalui homogenisasi budaya dan—apa yang disebut Freire—“budaya bisu” yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita. Sebagian lagi juga semakin latahnya budaya konflik dan kekerasan yang dilandaskan pada kesadaran tidak objektif, sentimen rasial, keagamaan, kesukuan, kedaerahan dan lain-lainnya. Bahkan banyak pula buku-buku yang bertebaran di masyarakat tetapi justru memperkuat sentimen kelompok, buku yang hanya membakar amarah dan membangun solidaritas kelompok keagamaan. Inilah tantangan bagi kita untuk segera diperbaiki.
*)Aktif di KIPAS (Komunitas Independen Perempuan dan Anak untuk Perubahan) Jember.
Jika seorang pemikir Ziaudin Sardar memaklumatkan bahwa abad 21 adalah peradaban buku, nampaknya mustahil terwujud di Kota Surabaya. Anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) memberikan dana yang cukup kecil untuk pengadaan buku (Kompas 5/11/2006).
Sedangkan anggaran Persebaya lebih besar dibandingkan untuk pengadaan buku bagi perpustakaan dan sekolah.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya mewujudkan masyarakat literer di Surabaya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pada hal budaya literer -salah satunya budaya membaca buku- merupakan syarat-syarat bagi terciptanya masyarakat yang sehat, cerdas, dan peka terhadap perubahan. Budaya baca-tulis lebih bermanfaat dibanding budaya menonton, apalagi budaya kekerasan massa (supporter) yang kerap menyertai pertandingan sepakbola. Ingat kasus kerusuhan para bonek beberapa bulan lalu, yang menambah daftar panjang kemunduran kebudayaan di daerah ini.
Budaya menonton, terutama menonton pertandingan sepakbola yang selalu memicu kerusuhan berbeda dengan budaya (membaca) buku. Menonton memang merupakan kegiatan yang tidak perlu menggunakan imajinasi atau tidak merangsang berpikir karena penonton (subjek) langsung dihubungkan dengan objek (tontonan) melalui penglihatan (dan pendengaran)—tidak perlu berpikir dan merasa dalam waktu panjang dan secara mendalam. Sedangkan, membaca adalah suatu kegiatan yang memacu kreatifitas pikiran dan merangsang imajinasi yang menjadi dasar bagi kecerdasan seorang manusia.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah selalu menomorduakan “peradaban buku”. Pengadaan buku dan kegiatan meningkatkan budaya baca-tulis di kalangan rakyat selalu mendapatkan anggaran jauh lebih sedikit. Padahal masyarakat Jawa Timur masih banyak yang membutuhkan kecerdasan literer. Di Kota Surabaya memang lebih sedikit jumlah masyarakat yang buta huruf dibanding dengan daerah-daerah lain seperti Jember. Bagi yang sudah melek hurufpun, sebagian masyarakat kita juga belum dapat membaca dan menggunakan bahasa Indonesia secara benar dalam konteks memanfaatkan bahasa untuk memaknai kehidupan dan memajukan peradabannya. Apa yang terjadi di daerah ini nampaknya mirip dengan apa yang diceritakan oleh cerpenis kenamaan negeri ini, Seno Gumiro Ajidarma, ketika ia mengucapkan pidato penerimaan Hadiah Sastra Asia Tenggara di Bangkok beberapa tahun lalu. Ia mengucapkan, “… Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca hanya untuk mengetahui harga-harga, membaca hanya untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan…”
Peradaban Buku
Kota Surabaya tidak sendirian dalam hal keterbelakangan “peradaban buku”-nya. Nasib buku di negeri ini harus diakui juga masih memprihatinkan. Bukan hanya Orde Baru yang melarang penerbitan buku-buku kritis, hingga kini masih seringkali terjadi pelarangan dan pembakaran buku-buku yang celakanya berasal dari kalangan masyarakat sendiri yang sering mengklaim kebenaran menurut kelompoknya. Artinya, buku sebagai media menyampaikan bahasa tidak mendapatkan ruang demokratis di negeri ini. Inilah salah satu penghambat perkembangan kebudayaan literer kita.
Menjamurnya penerbit buku di tanah air patut kita syukuri. Tetapi harus kita perhatikan bahwa tetap dibutuhkan niat baik bagi pemerintah untuk mengupayakan pengadaan buku dalam kuantitas yang cukup dan dengan kualitas yang memadai. Anggaran untuk buku harus ditambah. Jika peradaban buku disandarkan pada peran pemerintah yang menjalankan tugas mencerdaskan bangsa, maka tidak perlu lagi banyak alasan bagi masyarakat untuk tidak membaca buku karena harga yang mahal.
Selama ini, buku-buku berkualitas harganya amat mahal dan hanya kalangan tertentu saja yang dapat mengaksesnya, yaitu kaum intelektual dan kelas menengah ke atas. Padahal hak untuk melek pengetahuan dan menjadi cerdas adalah hak setiap warga negara. Artinya, buku tidak hanya dilihat dari jumlahnya yang beredar di masyarakat (kita masih ketinggalan jauh dengan negara-negara lain).
Belum cerdasnya masyarakat kita sekarang ini dapat kita lihat dari cara mereka dalam merespon perubahan. Sebagian besar dari mereka hanya menuruti arus pasar yang kian menggilas perekonomian, melalui homogenisasi budaya dan—apa yang disebut Freire—“budaya bisu” yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita. Sebagian lagi juga semakin latahnya budaya konflik dan kekerasan yang dilandaskan pada kesadaran tidak objektif, sentimen rasial, keagamaan, kesukuan, kedaerahan dan lain-lainnya. Bahkan banyak pula buku-buku yang bertebaran di masyarakat tetapi justru memperkuat sentimen kelompok, buku yang hanya membakar amarah dan membangun solidaritas kelompok keagamaan. Inilah tantangan bagi kita untuk segera diperbaiki.
*)Aktif di KIPAS (Komunitas Independen Perempuan dan Anak untuk Perubahan) Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar