Senin

Mentalitas Birokrat & Mimpi Anggaran Pendidikan 20%

OLEH: ABDULLAH YAZID*
Pemenuhan anggaran pendidikan 20% merupakan harapan bersama mengingat sektor pendidikan secara logika berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM). SDM yang tinggi secara otomatis akan memacu peningkatan dan pemberdayaan sektor-sektor lain.
Masalah pendidikan kita hari ini sesungguhnya bukan hanya target pencapaian anggaran 20% belaka. Selain akses pendidikan yang tidak bisa dinikmati semua kalangan masyarakat, kualitas dan standar pendidikan itu sendiri juga menjadi keprihatinan bersama. Namun, akan nampak jelas bahwa ketika pemerintah tidak mampu memenuhi anggaran pendidikan 20% dengan berbagai alasan, pemahaman masyarakat adalah ketidakseriusan membenahi, meningkatkan, dan memajukan pendidikan secara utuh.
Rendahnya alokasi anggaran pendidikan memang terkait dengan banyak faktor. Seperti halnya ‘lingkaran setan’, pemerintah nampaknya tidak dapat berbuat banyak dengan perdebatan tentang anggaran ini. Pun seandainya anggaran pendidikan 20% benar-benar dapat terpenuhi, kita masih dihadapkan pada pemanfaatan alokasi anggaran itu sendiri. Apakah alokasi tersebut nantinya dapat dipergunakan seefektif dan seefisien mungkin, serta mana yang harus didahulukan agar target tersebut mencapai sasaran yang diharapkan.
Sebab, penting untuk disadari bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan tidak bisa tidak pasti membawa implikasi terhadap sektor-sektor lain, termasuk ekonomi. Bahkan, menurut teori pertumbuhan baru (new economic growth theory), pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh besarnya anggaran pendidikan untuk meningkatkan kualitas human capital atau sumber daya manusia. Pertanyaannya, sejauh mana negara harus terlibat dalam pembiayaan pendidikan?
Teori menunjukkan bahwa kadar barang publik akan menurun sejalan dengan tingkat pendidikan. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin berkurang kadar barang publik. Sebab, manfaat pribadi yang diperoleh seseorang relatif lebih besar dibandingkan dengan manfaat sosialnya.
Hal ini terbukti pula dengan makin tingginya rasio antara private rate of return dan social of rate of return dari pendidikan sejalan dengan tingkat pendidikan. Sederhananya begini, manfaat sosial yang dihasilkan oleh keberhasilan kita membuat petani bisa membaca dari menghitung melalui SD sangat besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh secara pribadi.
Bayangkan, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan negara untuk mencapai swasembada untuk mengajari petani bercocok tanam secara benar dengan mengirimkan para penyuluh pertanian secara langsung. Tapi dengan pendidikan dasar tersebut, penyuluhan dapat dilakukan dengan menggunakan brosur dan sebagainya tanpa harus menyita waktu yang lebih banyak untuk penyuluh pertanian mengajari petani secara langsung. Buat si petani pribadi, manfaat yang dirasakan tentu cukup besar, tapi relatif tidak banyak berbeda. Ini hanyalah sekadar contoh kecil dari imbas seumpama alokasi anggaran pendidikan mampu mencapai 20% dari anggaran negara secara utuh.
Pentingnya anggaran pendidikan sebenarnya telah disadari para pemimpin dan wakil-wakil rakyat negeri ini. Mereka tahu, masa depan bangsa amat bergantung terhadap kualitas pendidikan; dan kualitas pendidikan amat bergantung pada anggaran. Sayangnya, kesadaran itu hanya tercermin di alam bawah sadar belaka dan tidak pernah dapat dipahami di gedung parlemen serta di ruang sidang.
Perjuangan untuk memenuhi anggaran pendidikan pendidikan 20% dimulai ketika MPR mengamandemen UUD 1945 dengan menempatkan anggaran pendidika pada pasal 31. Ayat (4) pasal ini menyebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ketentuan ini diperkokoh UU No.20 Tahun 2003 atau UU Sisdiknas. Pasal 49 ayat (1) menyebutkan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
Persoalan utama berkaitan dengan pencapaian target anggaran pendidikan 20% adalah masalah kemampuan finansial (affordability) pemerintah. Sumber dana negara dianggap masih belum cukup memenuhi target 20%. Kemampuan fiskal bisa dilihat dari struktur pengeluaran APBN, misalnya APBN 2004. Untuk tahun 2004, sekitar 15% dari APBN akan digunakan untuk keperluan belanja pegawai, 19% untuk membayar cicilan bunga utang, dan 31% untuk transfer ke daerah. Pengeluaran tak terhindarkan seperti ini jelas makin memperumit sekaligus mempersulit pencapaian target 20%.
Efektivitas dan efisiensi pembelanjaan anggaran negara dan daerah adalah persoalan krusial yang selalu saja hadir. Untuk anggaran yang sifatnya dapat dirasakan langsung rakyat kecil, barangkali tidak ada masalah. Namun persoalan sesungguhnya bukanlah itu. Selama ini anggaran yang ada masih banyak yang digunakan untuk pembelanjaan hal-hal yang kurang memiliki asas manfaat, serta tentunya banyak ditilep kesana kemari oleh para penjahat kerah putih (white collar crime).
Dan lagi, kenyataan hari ini menunjukkan banyak dari para bupati dan walikota yang tidak berani memenuhi target 20% dari APBD. Hampir semuanya dibenturkan dengan masalah-masalah pemerintahan dan kerancuan alokasi untuk anggaran-anggaran lain. Tentunya ini sangat jauh dari amanat UUD 1945. Rendahnya anggaran dan tidak adanya nyali untuk menelurkan sekaligus menerapkan kebijakan revolusioner sesuai dengan cita-cita UU Sisdiknas adalah sikap-sikap keseharian yang masih ‘dipelihara’ birokrasi pusat dan daerah. Apabila dikaitkan dengan UU Sisdiknas sendiri yang masih menuai polemik, sungguh nyata bahwa pemenuhan anggaran 20% adalah bagian dari subordinat mikro sekaligus mimpi yang sulit terwujud. Mimpi itu akan lebih lama lagi mengingat mentalitas elit-elit birokrasi kita baik pusat dan daerah yang acuh tak acuh dengan masa depan pendidikan!
*) Peneliti di Lembaga Sosial, Pendidikan, dan Kesehatan Yayasan Malang Cerdas.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung