Senin

Penggusuran Anak Jalanan

TEROPONG
OLEH: NURANI SOYOMUKTI*

Fenomena jalanan sebagai potret kemiskinan kota sering terlupakan oleh para pengamat, dan dalam banyak hal juga kurang disikapi oleh pemerintah secara arif, adil, dan humanis. Naiknya jumlah anak-anak jalanan menunjukkan bahwa paradigma dan praktek pembangunan yang ditempuh pemerintah ternyata membuahkan kondisi peminggiran (marginalisasi) dalam masyarakat. Tidak heran kalau marginalisasi dan penindasan ekonomi pembangunan juga menyemarakkan konflik di masyarakat dan problem-problem sosial lainnya.
Dalam kategori sosiologis, anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan di antaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orangtua sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orangtua. Dalam tulisan ini, anak jalanan mengacu pada kategori anak yang hidup di jalan.
Anak jalanan adalah potret kemiskinan rakyat perkotaan. Dampak dari kemiskinan ini telah memicu terjadinya kekerasan dan konflik sosial di kota. Mereka mudah sekali dibakar emosinya. Jadi, sentimen-sentimen rasialisme yang semarak akhir-akhir ini juga harus dipahami sebagai akibat dari ketidakmampuan masyarakat perkotaan terpinggirkan dalam menterjemahkan kondisi ketertindasan ekonomi politik mereka. Dari watak kelasnya, kaum miskin perkotaan akan mudah digunakan siapa saja yang bisa menjamin kehidupannya. Sehingga tak jarang kalau mereka digunakan oleh kekuatan rejim dan kekuatan politik tertentu sebagai alat represi dan mobilisasi massa demi kepentingan elitis. Misalnya, sejak lama kita telah melihat fenomena blok-blok politik di perkotaan seperti Pemuda Pancasila, Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan organisasi-organisasi lain yang berwatak rasial, eksklusif, dan sempit yang secara politik bertemu dengan kepentingan elit yang ujung-ujungnya bukanlah solusi bagi krisis kesejahteraan dan limit demokrasi di masyarakat.
Pasca penggulingan Soeharto, jumlah kaum miskin perkotaan tidak juga turun, justru meningkat. Berdasarkan catatan Urban Poor Concorcium (UPC) tahun 2001, jumlah kaum miskin perkotaan meningkat dari 5 juta menjadi 13 juta, jumlah penduduk miskin membengkak dari 25 juta menjadi 42 juta dari jumlah total penduduk.
Paradigma positivisme dalam pembangunan melihat bahwa kaum miskin di jalanan tersebut dianggap ‘sampah masyarakat’, pengganggu ketertiban umum, atau bahkan mengotori pemandangan perkotaan. Bukan hanya para pengemis, pencuri, dan pengamen yang ‘ditertibkan’, bahkan pedagang kaki lima pun juga diusir dari tempat mereka di alun-alun kota, di jalan-jalan sekitar kampus, dan tempat-tempat lain. ‘Penertiban’ adalah sebuah istilah yang dipakai dalam pembersihan sektor kaum miskin kota ini. Bentuknya bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penertiban untuk perumahan kumuh, serta penggusuran rumah warga kumuh, dan penertiban untuk anak-anak jalanan.
Penggusuran-penggusuran terhadap mereka sering pula disertai dengan tindakan militeristik, seperti teror, intimidasi, penipuan, pengrusakan dan penghancuran alat-alat kerja dan barang-barang, pembakaran dan pengusiran, dan bahkan pelecehan seksual, dan lain sebagainya.
Penggusuran Dan Anak Jalanan
Peminggiran mereka juga dilakukan dari sistem ekonomi-politik yang menghisap, bahkan juga dilakukan dengan tindakan penggusuran. Beberapa sebab-sebab penggusuran yang terjadi di wilayah perkotaan. Pertama, meningkatnya urbanisasi. Dulu, pemukiman informal diperbolehkan hadir di kota-kota berdasarkan kesepakatan saling membutuhkan. Tapi ketika laju urbanisasi kian cepat dan makin banyak orang dan investasi mengalir ke kota-kota, pemukiman-pemukiman informal tidak lagi dapat diterima karena dunia formal semakin menguasai ruang yang mereka duduki untuk pembangunan. Penguasaan lahan untuk pembangunan ini kian menjadi-jadi, hingga penggusuran terjadi sedikit demi sedikit. Penggusuran mencapai puncaknya ketika muncul globalisasi, spekulasi dan adanya modal keuangan internasional yang tidak terbatas, dan akibatnya, pertentangan antara sektor formal dan informal semakin meruncing.
Kedua, mega proyek (pembangunan) infrastruktur yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor pembangunan internasional atau kerjasama antara pengusaha lokal dan perusahaan internasional menyebabkan maraknya penggusuran. Proyek-proyek itu terus berjalan, meski sebagian besar proyek ini tidak digagas secara matang, digelembungkan nilai kontraknya (mark up), dan tidak terlalu berguna untuk rakyat sebagai pihak yang menanggung kerugian dalam banyak hal.
Ketiga, politisasi tanah. Kongkalikong antara kontraktor/pengembang, birokrat, dan politisi yang selalu korup tengah berusaha menyingkirkan orang-orang miskin dari lokasi yang bernilai ekonomi tinggi apabila diubah jadi lahan bisnis. Biasanya di tempat tersebut akan dibangun perumahan mewah atau lahan komersial lainnya seperti mall. Kongkalikong ini juga sering memanipulasi berbagai rancangan proyek pembangunan yang menyebabkan penggusuran, sehingga memudahkan penggunaan lahan sesuai dengan kebutuhan mereka. Pihak pengembang juga mendanai partai politik dan kandidat-kandidatnya untuk pemilu tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten, dan dengan demikian memberi ruang pada mereka untuk mempengaruhi lorong-lorong kekuasaan. Para politisi juga memanipulasi sejarah tanah, menguasai tanah yang menjadi sengketa, mempengaruhi dan mengotak-atik perencanaan kota yang dirasa bertentangan dengan kepentingan mereka.
Keempat, tidak adanya hukum yang melindungi masyarakat dan menjamin hak bertempat tinggal atau kurangnya aturan tentang prosedur penerapan hukum itu. Meski hukum yang baik ada, pelanggaran hukum bahkan tetap ditolerir karena senjangnya hubungan kekuasaan yang dibangun oleh komunitas miskin dengan lobi-lobi politik oleh tiga sekawan pengembang-birokrat-politikus.
Problem kaum miskin kota tersebut adalah kebijakan pemerintahan Indonesia yang neo-liberalis. Dalam, kasus penggusuran, misalnya, kejadian itu juga berkaitan dengan program Bank Dunia yang diistilahkan sebagai program “City Without Slum”, yaitu—untuk mendapatkan pinjaman dana pemerintah harus melakukan—pembersihan kota-kota dari wajah-wajah kotor yang dapat mengurangi keindahannya. Keindahan kota diharapkan akan menarik para pemodal (investor) baru, juga akan menambah jumlah proyek-proyek baru yang dibiayai oleh Bank Dunia atau bank-bank lainnya.
Akibat tergusurnya warga perkotaan, jumlah anak jalananpun naik secara drastis. Penggusuran adalah awal dari hilangnya aset-aset tempat tinggal yang terakhir bagi warga miskin perkotaan dan anak-anaknya. Anak-anak mereka terpaksa turun ke jalanan, dan tidur di sembarang tempat. Pertumbuhan psikologis mereka terganggu akibat ketersingkiran sosial yang dirasakannya, mereka akan tumbuh jahat dan menjalani kehidupan dengan penuh kekerasan.
Tak heran akibat penggusuran, yang dalam bahasa kekuasaan (pemerintah) adalah penertiban yang dimaksudkan sebagai solusi pembangunan itu, wilayah perkotaan juga tak secara serta merta bersih. Justru akan semakin banyak orang-orang (khususnya anak-anak dan remaja) yang turun ke jalan-jalan baik dengan bekerja sebagai pengamen, pengemis, pelacur anak-anak, pencopet, dan apa yang sering disebut sebagai “sampah masyarakat”. Jadi, alih-alih dimaksudkan untuk membuat kota menjadi tertib dan aman, penggusuran adalah bagian dari lingkaran setan pembangunan yang anti humanisme.
*) Ketua Departemen Diklat-Litbang Yayasan TAMAN KATAKATA (TK) Jember, Jatim.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung