OPSI
OLEH: LATIFAH*
Berita mengenai mewabahnya berbagai penyakit seperti busung lapar, demam berdarah, dan polio sudah menjadi bagian keseharian kita selama bertahun-tahun. Bahkan, seperti halnya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, beberapa penyakit secara rutin mewabah di masyarakat, misalnya demam berdarah dan diare.
Betapapun pahitnya realitas yang disuguhkan media massa mengenai kondisi kesehatan masyarakat tersebut, pengungkapan itu secara bertahap menggugah kesadaran masyarakat bahwa masalah kesehatan adalah masalah kita bersama dan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak kesehatan masyarakat yang tercakup dalam Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB). Peran pemerintah dalam pemenuhan hak-hak EKOSOB berbeda sifatnya dengan pemenuhan hak sipil dan politik, yang hanya menuntut tindakan preventif negara terhadap pelanggaran HAM.
Negara kita telah berkomitmen untuk menghormati, melidungi, dan memenuhi hak-hak kesehatan warga negara dengan meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak EKOSOB yang selanjutnya disahkan dengan UU No 11 Tahun 2005. Kovenan tersebut memuat jaminan hak-hak warga negara, antara lain hak mendapat program pelatihan, menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan, terbebas dari kelaparan, serta hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi. Di antara banyak hak yang tercakup dalam hak-hak EKOSOB, hak-hak atas pendidikan dan kesehatan menjadi hak yang paling mendasar.
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) menginformasikan indikator terpenuhinya hak atas kesehatan. Pertama, kesehatan dapat disediakan, negara menjamin pelayanan dan program kesehatan serta obat-obatan untuk semua orang. Kedua, kesehatan dapat dijangkau, yang menuntut penghapusan diskriminasi, terjangkaunya biaya medis, dan memadainya informasi mengenai kesehatan. Ketiga, kesehatan dapat diterima, menghormati etika medis dan kebudayaan, termasuk memenuhi prinsip sensitif gender. Keempat, kesehatan yang berkualitas, yang mengacu prinsip medis dan pengetahuan yang layak dan bermutu. Namun demikian, seperti yang dikemukakan Ilham Cendekia dari PATTIRO, indikator pencapaian EKOSOB belum komprehensif sehingga menimbulkan kesulitan implementasinya di daerah.
Untuk mengetahui situasi pemenuhan hak kesehatan di daerah serta tingkat akomodasi kebijakan dalam memenuhi hak kesehatan, PATTIRO mengadakan riset pemenuhan hak kesehatan di Banten, Semarang, dan Gresik. Seperti yang disampaikan Mimin Rukmini, dari PATTIRO Jakarta, riset tersebut memperlihatkan bahwa di Semarang penanganan wabah lebih reaktif daripada antisipatif. Di daerah itu juga tidak ada perda tentang kebijakan dan pelayanan kesehatan meskipun ada tuntutan untuk mengalokasikan anggaran kesehatan 15% dari total APBD. Masalah lain yang mengemuka adalah adanya diskriminasi pelayanan kepada pasien warga miskin atau yang menggunakan fasilitas ASKEKIN dan JAMSOSTEK. Minimnya anggaran dan fasilitas Puskesmas Pembantu dan kelambanan pelayanan oleh Puskesmas dan RS Pemerintah juga masih menjadi kendala pemenuhan hak-hak kesehatan di Semarang.
Tingginya angka kematian balita di Gresik seperti yang tercatat pada 2004, yaitu 294 jiwa per 90.931 kelahiran, memperlihatkan masalah kesehatan. Hal ini terkait dengan masalah-masalah pelayanan kesehatan lain yang mengemuka dalam riset PATTIRO ini, yaitu jauhnya jarak ke puskesmas/RS, sehingga beban warga miskin makin berat; tidak adanya akses informasi pengobatan gratis, terbatasnya jumlah tempat tidur RS untuk pasien miskin, serta pelayanan yang tidak ramah. Masalah lain yang terkuak adalah tidak transparannya stok obat dan tidak adanya aturan yang jelas mengenai mekanisme akses warga miskin terhadap pelayanan kesehatan. Pemkab telah melakukan revisi perda kesehatan meski subtansi retribusinya masih lebih kental daripada upaya peningkatan pelayanan kesehatannya.
Sulitnya akses ke puskesmas, terutama di daerah terpencil, juga dirasakan di Banten. Selain masalah akses, masalah tenaga medis juga menjadi kendala. Pelayanan di Puskesmas ditangani oleh bidan dan perawat, yang juga bertindak sebagai petugas laboratorium. Persediaan obat pun terbatas sehingga warga kerap kali harus membeli di luar dengan harga relatif mahal. Dampak lainnya, untuk penyakit yang berbeda, tak jarang diberikan jenis obat yang sama.
Melihat masalah-masalah tersebut, Aviliani menyarankan sentralisasi kontrol terhadap anggaran kesehatan dan pengubahan dana alokasi umum menjadi dana alokasi khusus agar pemerintah pusat bisa mengontrol penyalahgunaan dana di daerah. Di sisi lain, Aviliani juga tidak menutup mata terhadap kemajuan penting yang dicapai Indonesia dalam meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Misalnya turunnya aka kematian ibu melahirkan dari 334 (SDKI 1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).
*) Mahasiswa Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, domisili di Depok.
OLEH: LATIFAH*
Berita mengenai mewabahnya berbagai penyakit seperti busung lapar, demam berdarah, dan polio sudah menjadi bagian keseharian kita selama bertahun-tahun. Bahkan, seperti halnya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, beberapa penyakit secara rutin mewabah di masyarakat, misalnya demam berdarah dan diare.
Betapapun pahitnya realitas yang disuguhkan media massa mengenai kondisi kesehatan masyarakat tersebut, pengungkapan itu secara bertahap menggugah kesadaran masyarakat bahwa masalah kesehatan adalah masalah kita bersama dan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak kesehatan masyarakat yang tercakup dalam Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB). Peran pemerintah dalam pemenuhan hak-hak EKOSOB berbeda sifatnya dengan pemenuhan hak sipil dan politik, yang hanya menuntut tindakan preventif negara terhadap pelanggaran HAM.
Negara kita telah berkomitmen untuk menghormati, melidungi, dan memenuhi hak-hak kesehatan warga negara dengan meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak EKOSOB yang selanjutnya disahkan dengan UU No 11 Tahun 2005. Kovenan tersebut memuat jaminan hak-hak warga negara, antara lain hak mendapat program pelatihan, menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan, terbebas dari kelaparan, serta hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi. Di antara banyak hak yang tercakup dalam hak-hak EKOSOB, hak-hak atas pendidikan dan kesehatan menjadi hak yang paling mendasar.
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) menginformasikan indikator terpenuhinya hak atas kesehatan. Pertama, kesehatan dapat disediakan, negara menjamin pelayanan dan program kesehatan serta obat-obatan untuk semua orang. Kedua, kesehatan dapat dijangkau, yang menuntut penghapusan diskriminasi, terjangkaunya biaya medis, dan memadainya informasi mengenai kesehatan. Ketiga, kesehatan dapat diterima, menghormati etika medis dan kebudayaan, termasuk memenuhi prinsip sensitif gender. Keempat, kesehatan yang berkualitas, yang mengacu prinsip medis dan pengetahuan yang layak dan bermutu. Namun demikian, seperti yang dikemukakan Ilham Cendekia dari PATTIRO, indikator pencapaian EKOSOB belum komprehensif sehingga menimbulkan kesulitan implementasinya di daerah.
Untuk mengetahui situasi pemenuhan hak kesehatan di daerah serta tingkat akomodasi kebijakan dalam memenuhi hak kesehatan, PATTIRO mengadakan riset pemenuhan hak kesehatan di Banten, Semarang, dan Gresik. Seperti yang disampaikan Mimin Rukmini, dari PATTIRO Jakarta, riset tersebut memperlihatkan bahwa di Semarang penanganan wabah lebih reaktif daripada antisipatif. Di daerah itu juga tidak ada perda tentang kebijakan dan pelayanan kesehatan meskipun ada tuntutan untuk mengalokasikan anggaran kesehatan 15% dari total APBD. Masalah lain yang mengemuka adalah adanya diskriminasi pelayanan kepada pasien warga miskin atau yang menggunakan fasilitas ASKEKIN dan JAMSOSTEK. Minimnya anggaran dan fasilitas Puskesmas Pembantu dan kelambanan pelayanan oleh Puskesmas dan RS Pemerintah juga masih menjadi kendala pemenuhan hak-hak kesehatan di Semarang.
Tingginya angka kematian balita di Gresik seperti yang tercatat pada 2004, yaitu 294 jiwa per 90.931 kelahiran, memperlihatkan masalah kesehatan. Hal ini terkait dengan masalah-masalah pelayanan kesehatan lain yang mengemuka dalam riset PATTIRO ini, yaitu jauhnya jarak ke puskesmas/RS, sehingga beban warga miskin makin berat; tidak adanya akses informasi pengobatan gratis, terbatasnya jumlah tempat tidur RS untuk pasien miskin, serta pelayanan yang tidak ramah. Masalah lain yang terkuak adalah tidak transparannya stok obat dan tidak adanya aturan yang jelas mengenai mekanisme akses warga miskin terhadap pelayanan kesehatan. Pemkab telah melakukan revisi perda kesehatan meski subtansi retribusinya masih lebih kental daripada upaya peningkatan pelayanan kesehatannya.
Sulitnya akses ke puskesmas, terutama di daerah terpencil, juga dirasakan di Banten. Selain masalah akses, masalah tenaga medis juga menjadi kendala. Pelayanan di Puskesmas ditangani oleh bidan dan perawat, yang juga bertindak sebagai petugas laboratorium. Persediaan obat pun terbatas sehingga warga kerap kali harus membeli di luar dengan harga relatif mahal. Dampak lainnya, untuk penyakit yang berbeda, tak jarang diberikan jenis obat yang sama.
Melihat masalah-masalah tersebut, Aviliani menyarankan sentralisasi kontrol terhadap anggaran kesehatan dan pengubahan dana alokasi umum menjadi dana alokasi khusus agar pemerintah pusat bisa mengontrol penyalahgunaan dana di daerah. Di sisi lain, Aviliani juga tidak menutup mata terhadap kemajuan penting yang dicapai Indonesia dalam meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Misalnya turunnya aka kematian ibu melahirkan dari 334 (SDKI 1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).
*) Mahasiswa Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, domisili di Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar