Sabtu

Balada “Bangsa Inferior”

TEROPONG
OLEH: HIMAWAN KRISTIANTO*

MENCERMATI kondisi bangsa ini, rasa ngenes dan prihatin kian membuncah. Pasalnya, kian hari Indonesia semakin menjadi bangsa yang kian ‘inferior’ (rendah diri) saja. Betapa tidak. Bangsa ini agak tak berdaya dan seperti tak ada apa-apanya saat berhadapan dengan bangsa lain.

Akhir-akhir ini, banyak kasus yang mengindikasikan betapa inferiornya bangsa ini, dari kasus ‘pencekalan’ maskapai Indonesia yang terbang ke Eropa berikut pengumuman travel warning; macetnya program kesepakatan pertahanan (DCA) dengan Singapura hingga kasus pencurian pasir laut yang juga dilakukan Singapura untuk merampungkan program reklamasi pantai-pantai di ‘negara kecamatan’ itu.

Kasus lain, justru terus datang dari negeri serumpun, Malaysia. Setelah heboh dengan kasus penganiayaan oknum polisi Diraja Malaysia terhadap wasit karate Indonesia, menyusul kasus razia semena-mena disertai penganiayaan terhadap WNI oleh Milisi Sipil Malaysia (Rela). Ironisnya, kasus ini terjadi tak berselang lama pasca adanya kasus alat sadap yang melibatkan intelijen Malaysia, plus penyerobotan lagu Rasa Sayange (yang benar-benar, lagu daerah asal Maluku, milik Indonesia) mudah diklaim dan dijadikan lagu ikon pariwisata Malaysia, disusul klaim atas Reog Ponorogo. Belum lagi ragam kasus penganiayaan TKI yang berulang-ulang terjadi.

Tak dipungkiri, semua itu jelas menyentuh rasa emosional kita sebagai sebuah bangsa yang memiliki harkat dan martabat sama seperti bangsa lain di dunia. Celakanya, terhadap berbagai perilaku angkuh dan sewenang-wenang yang lebih merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat bangsa Indonesia, yang bisa diperbuat bangsa sebesar Indonesia, hanyalah memendam emosi, --sebuah perilaku yang merupakan ciri khas dari sebuah bangsa yang ‘inferior’.

Dalam konteks anomali eksistensi sebuah bangsa, kasus pelecehan terhadap martabat bangsa, --seperti yang dilakukan beberapa negara atas Indonesia, seharusnya bisa menjadi otokritik dan atau sarana introspeksi, betapa bangsa ini amat ‘tak berdaya’ kala harus berhadapan dengan bangsa lain. Harus diakui, semua itu merupakan buah kesalahan kolektif kita sebagai bangsa dan masyarakat.

Hal ini kian diperparah ragam kondisi, perilaku dan kebiasaan buruk warga bangsa, terutama para elit politiknya. Betapa tidak. Di atas pentas, para politisi riuh membicarakan masalah power sharing (berbagi kekuasaan), profit sharing (berbagi laba), production sharing (berbagi usaha) dengan melupakan food sharing (berbagi makanan), opportunity sharing (berbagi kesempatan), apalagi wealth sharing (berbagi kemakmuran). Ironisnya, terhadap semua yang telah diperbuat itu, para poitisi terus ‘merasa benar’, meski jelas-jelas berada di jalan sesat!

Sementara realitas di tingkat ‘akar rumput’ menunjukkan, di negeri ini, kian hari kian sarat dengan keberingasan. Banalisme kekerasan dan anarkisme massa kian merebak. Yang juga sangat mengherankan, di negeri ini, hidup jujur juga terasa kian sulit. Hidup layak hanya mungkin bagi elite dengan penghasilan berskala internasional. Rakyat kian tertekan, dari ‘kemiskinan’ (poverty) menuju ‘kemelaratan’ (destitute). Kasus kelaparan dan gizi buruk melanda hampir di setiap kecamatan. Akhirnya, rakyat menuntut keadilan (di segala bidang) pun terjadi.

Dengan beragam kebiasaan buruk yang dibuat ini, seakan dianggap wajar jika kemudian dalam menghadapi berbagai tekanan, kesewenang-wenangan dan atau pelecehan dari negara lain, bangsa kita selalu ‘kehilangan’ nyali, --selalu merasa tak mampu, tak yakin dan tidak ada apa-apanya--, hingga terpaksa menurut, apapun yang diminta.

Tentu sebuah fenomena yang ironis, kala warga bangsa memiliki nyali yang besar dan emosi yang meledak-ledak, tapi sayangnya, nyali dan emosi bukan untuk membela kedaulatan dan eksistensi negara dan bangsa, melainkan malah dilampiaskan dan ditumpahkan kepada sesama warga Indonesia hanya karena soal-soal sepele. Terlebih jika nyali dan emosi ditunjukkan dengan berbagai tindakan anarkis dan sejenisnya.

Tiba giliran bangsa ini dilecehkan, direndahkan dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh bangsa lain, yang disuguhkan masyarakat bangsa ini sekadar olok-olok dan nyali ‘tempe gembus’—takut, tak berani unjuk gigi, untuk membela martabat bangsa.

Bangsa ini seharusnya mendidik dirinya untuk bisa maju, moncer, dan digdaya seperti halnya Malaysia, Jepang, Singapura dan sebagainya. Maju dalam pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan, serta pertahanan. Sehingga ketika harus berhadapan dengan negara-negara lain, kepala kita tetap bisa tegak dan tengadah karena kita memang punya hak untuk tetap dihargai sebagai bangsa yang bermartabat.

Jadi, jika bangsa Indonesia hanya selalu memendam emosi, tak pernah mau, dan atau tak berani bersikap tegas terhadap perilaku bangsa lain yang merendahkan martabat bangsa, maka sampai kapanpun, bangsa ini hampir tak akan pernah bisa melepaskan diri dari atribut ketidakberdayaan dan keinferioran.
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung