Sabtu sore, 16 Juni di sekitar Monumen Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi) Renon, Denpasar. Ribuan penonton memagari sisi kanan dan kiri jalan raya, dan yang tersisa hanya badan jalan beraspal hotmiks, tempat parade barisan seniman dan seniwati. Itulah secuil panorama lain dari The Island Of Paradise Bali, jelang dibukanya Pesta Kesenian Bali (PKB) XXIX.
Selain sebagai medium unjuk seni bagi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Tabanan, Jembrana dan Buleleng di utara Bali, pesta seni terbesar di Bali itu mengakomodir partisipan dari Sumatera Barat, Lampung Timur, DKI Jakarta, Jawa Timur dan Sumba Barat, serta 6 partisan luar negeri (Jepang, Cina, Singapura, Amerika Serikat, Kanada dan India).
Pesta seni yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu diikuti 13.000 seniman/wati, 156 kelompok seni se-Bali, dan siap digelar sebulan penuh hingga 14 Juli. Meski tema ‘’Sira Dira Jayeng Rat’’ (Aktualisasi Kepahlawanan Menuju Kesejahteraan Masyarakat terdengar agak modern, namun bidikan karya seni yang dipentaskan lebih ke jenis kesenian langka dan sakral. Misalnya, Sangiang Memedi (Buleleng), Cak Kepung (Karangasem), Tari Leko (Gianyar) dan Tari Jangkang (Klungkung). Sekitar 187 pertunjukan seni siap menggoda pengunjung via penampilan dalang perempuan dalam wayang kreasi, cak kreasi, beleganjur kreasi remaja, dan gender wayang masal yang mementaskan lagu-lagu tradisi modern berkolaborasi seni karawitan lain, jogged bumbung, jogged genjek dan wayang cenk blonk.
Melihat betapa eksisnya kreativitas dan pelestarian seni yang dilakoni masyarakat Bali, Presiden SBY meminta agar semua daerah di
Budaya, seni, kehidupan spiritual merupakan kekuatan dan kebesaran
Pendeta Jepang
Jauh hari sebelum pembukaan PKB, 30 pendeta asal Jepang menggelar upacara spiritual ‘’Mandara’’ di Pura Nusa Gede di kawasan BTDC Nusa Dua. Peristiwa itu seakan membangkitkan kesadaran dan wawasan berpikir yang baru tentang pentingnya peegembangan nilai luhur tradisi dan penghargaan terhadap alam serta spiritualitas. Acara itu dapat dijadikan momentum penguatan pemahaman kesamaan akar kepercayaan masyarakat Jepang dan
Rentetan upacara matra Mandala yang mengekspresikan kebenaran secara material dan spiritual itu dapat menciptakan keterbukaan hati, menjaga kedamaian emosional dan memahami lebih dalam tentang kebudayaan. Upacara yang dipimpin pendeta Jepang, Yamabushi itu antara lain api suci (Saito Goma) bersama-sama tokoh agama (pendeta, ulama, biksu, pedanda dari Bali, luar Bali dan Jepang) untuk mendoakan keselamatan dan kedamaian masyarakat Bali serta Indonesia. “Peristiwa ini merupakan kolaborasi langka antara
Selama enam jam, upacara bernuansa spiritual itu diawali Shue (penjelasan acara Saito Goma), Gyodo (penyalaan api suci), Kaimon Saho (tata krama buka gerbang), Yamabushi Mondo (tata krama tanya jawab Yamabushi), Hofu Saho (tata krama memakai kapak), Hokyu Saho (tata krama memakai busur panah), Hoken Saho (tata krama memakai pedang), Ganmon (menyalakan api di Goma Dan), Daigishi Saho (pertapaan dengan melantunkan Sutra dan Shingon diiringi suara kendang Jepang dan diakhiri Kasyo Zanmai Saho (tata krama menyeberangi api dan kelahiran kembali). Sebagai klimaks, digelar Saito Goma (berjalan tanpa alas kaki di atas bara api yang telah didoakan sebelumnya) sebagai simbol kelahiran kembali untuk memperbaiki dan membersihkan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar