SOROT
Oleh: HN Amri Fyde*
Tayangan infotainment sedang naik daun dan mendapatkan porsi yang besar akhir-akhir ini. Dari pantauan KPI, hingga Agustus 2005, dalam satu hari atau 1 x 24 jam, layar televisi kita sanggup menyajikan program infotainment selama 13 jam. Bahkan sejak awal kemunculannya hingga sekarang, pemirsa televisi telah disuguhi sekitar 2000 episode program infotainment. Menu utamanya, apalagi kalau bukan kehidupan sehari-hari para selebritis.
Sepintas memang tak ada yang istimewa dari tayangan tersebut. Bahkan format tayangan infotainment di semua stasiun televisi nyaris sama. Yang membedakan mungkin hanya namanya saja. Pada saat banyak artis yang kawin cerai, semua infotainment berisi kawin cerai. Ketika ada artis terjerat skandal seks dengan pejabat, semua infotainment menyorotinya. Bahkan pada saat ada artis yang sedang naik daun, semua program infotainment mengupas cerita sukses artis tersebut.
Meski begitu, tayangan yang serupa itu sepertinya tak menyurutkan masyarakat untuk menjadi penonton setianya. Bahkan ponakan saya yang berumur 6 tahun sangat hafal nama Istri kedua AA’ Gym daripada nama Menteri Komunikasi dan Informasi hanya karena keseringan menonton infotainment.
Apa yang membuat tayangan yang hanya berisi gosip, isu dan rumor para artis begitu digandrungi masyarakat kita? Padahal seringkali ada tayangan yang sengaja di ulang-ulang di satu stasiun tv yang kebetulan memiliki lebih dari satu program infotainment?
Setidaknya ada dua hal untuk menjawabnya. Pertama, di negara yang relatif stabil, berita politik tidak terlalu menarik. Indonesia saat ini boleh dikatakan cukup stabil. Berita politik boleh dikatakan sangat hambar, kering dan biasa-biasa saja. Tidak ada berita besar yang membuat orang mau berlama-lama memelototi tayangan berita atau berlama-lama menyimak koran. Beda jika kondisi negara dalam keadaan labil atau jika sedang terjadi revolusi.
Tayangan infotainment itu kemudian mencoba mencipta ketidakstabilan itu dengan mengungkit-ungkit privasi seseorang. Melawan tabu dengan mengungkap aib selebritis kita. Sehingga diharapkan tercipta chaos dalam pola pikir masyarakat untuk mengumpat-umpat atau mengutuki prilaku para artis yang menyimpang (baca: revolusi batin) serta memuja-muja mereka yang dianggap mulia.
Walaupun sebenarnya masyarakat dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis --manusia hidup dalam ruang ‘khayal yang nyata’ (Yasraf A. Piliang, 2004; 173). Akibatnya infotainment kemudian menjadi semacam ekstasi yang membentuk sikap masyarakat pemalas dan pengkhayal.
Kedua, bukan rahasia umum lagi jika media kini telah masuk dalam suatu mesin giling kapitalis dan arus konsumerisme. Media telah lumat dalam mekanisme pasar yang tidak lagi menghiraukan norma dan etika pergaulan. Bukankah semua etika tidak menginginkan ’aib’ seseorang diumbar di semua media. Tapi ini justru menjadi komoditas yang mahal nilainya. Terlebih lagi, yang sedang ditelanjangi adalah para artis, yang notabene kerap diidolakan masyarakat.
Terjadi Disfungsi Media.
Media yang sejatinya memiliki fungsi pendidikan, informasi, pencerahan dan pengembangan wawasan justru menjelma sebagai agen yang lebih mengutamakan hiburan. Alasannya sederhana, karena dianggap bisa meraup banyak keuntungan.
Menurut penilitian Nielsen Media Research, belanja iklan nasional terus meningkat dari tahun ke tahun dan lebih dari 64 persen di antaranya lari ke televisi. Belanja iklan tahun 2005 mencapai Rp 22,21 triliun atau tumbuh 5 persen dari tahun 2004. Dari jumlah itu, belanja iklan di televisi sebesar 70 persen atau Rp 16,22 triliun (Republika, 12 Januari 2006).
Menurut M. Hidayat Nahwi Rasul, Wakil Ketua KPID Sulsel, sebagian dari jumlah belanja iklan itu diperoleh melalui tambang emas bernama infotainment. Taruhlah harga jual acara infotainment dari production house ke televisi swasta nasional Rp 25 juta per episode (dengan harga jual dari Rp15 juta hingga Rp 60 juta per episode). Bila pada saat ditayangkan terdapat 24 iklan seharga Rp 2,5 juta per iklan, maka pendapatan iklan mencapai Rp 60 juta per episode atau diperoleh selisih keuntungan sebesar Rp 35 juta per episode, atau lebih satu miliar per bulan. Masuk akal kalau dalam sehari televisi menayangkan dua hingga empat kali infotainment. Apalagi program infotainment dinilai tetap kompetitif dengan program lain dalam hal meraih penonton, bahkan meskipun ditaruh pada “jam mati” menonton pukul 07.00, 09.00, 15.00, dan 16.00.
Nah, jika kepentingan tayangan infotainment itu ada hanya semata-mata karena faktor kapital, yakni hanya untuk meraup keuntungan bagi stasiun tv dan production house, jelas dalam hal ini masyarakat sebagai penonton hanyalah sebagai tumbal. Dengan kata lain tak ada wacana pendidikan dalam tayangan itu. Kecuali hiburan yang sebenarnya bergerak untuk merusak akal sehat kita. Hanya saja kita masih punya pilihan untuk tetap menonton atau mematikan televisi. Pilih mana?
*) Peneliti pada STAPERS (Studi Tafsir Politik dan Perubahan Sosial), tinggal di Jakarta.
Oleh: HN Amri Fyde*
Tayangan infotainment sedang naik daun dan mendapatkan porsi yang besar akhir-akhir ini. Dari pantauan KPI, hingga Agustus 2005, dalam satu hari atau 1 x 24 jam, layar televisi kita sanggup menyajikan program infotainment selama 13 jam. Bahkan sejak awal kemunculannya hingga sekarang, pemirsa televisi telah disuguhi sekitar 2000 episode program infotainment. Menu utamanya, apalagi kalau bukan kehidupan sehari-hari para selebritis.
Sepintas memang tak ada yang istimewa dari tayangan tersebut. Bahkan format tayangan infotainment di semua stasiun televisi nyaris sama. Yang membedakan mungkin hanya namanya saja. Pada saat banyak artis yang kawin cerai, semua infotainment berisi kawin cerai. Ketika ada artis terjerat skandal seks dengan pejabat, semua infotainment menyorotinya. Bahkan pada saat ada artis yang sedang naik daun, semua program infotainment mengupas cerita sukses artis tersebut.
Meski begitu, tayangan yang serupa itu sepertinya tak menyurutkan masyarakat untuk menjadi penonton setianya. Bahkan ponakan saya yang berumur 6 tahun sangat hafal nama Istri kedua AA’ Gym daripada nama Menteri Komunikasi dan Informasi hanya karena keseringan menonton infotainment.
Apa yang membuat tayangan yang hanya berisi gosip, isu dan rumor para artis begitu digandrungi masyarakat kita? Padahal seringkali ada tayangan yang sengaja di ulang-ulang di satu stasiun tv yang kebetulan memiliki lebih dari satu program infotainment?
Setidaknya ada dua hal untuk menjawabnya. Pertama, di negara yang relatif stabil, berita politik tidak terlalu menarik. Indonesia saat ini boleh dikatakan cukup stabil. Berita politik boleh dikatakan sangat hambar, kering dan biasa-biasa saja. Tidak ada berita besar yang membuat orang mau berlama-lama memelototi tayangan berita atau berlama-lama menyimak koran. Beda jika kondisi negara dalam keadaan labil atau jika sedang terjadi revolusi.
Tayangan infotainment itu kemudian mencoba mencipta ketidakstabilan itu dengan mengungkit-ungkit privasi seseorang. Melawan tabu dengan mengungkap aib selebritis kita. Sehingga diharapkan tercipta chaos dalam pola pikir masyarakat untuk mengumpat-umpat atau mengutuki prilaku para artis yang menyimpang (baca: revolusi batin) serta memuja-muja mereka yang dianggap mulia.
Walaupun sebenarnya masyarakat dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis --manusia hidup dalam ruang ‘khayal yang nyata’ (Yasraf A. Piliang, 2004; 173). Akibatnya infotainment kemudian menjadi semacam ekstasi yang membentuk sikap masyarakat pemalas dan pengkhayal.
Kedua, bukan rahasia umum lagi jika media kini telah masuk dalam suatu mesin giling kapitalis dan arus konsumerisme. Media telah lumat dalam mekanisme pasar yang tidak lagi menghiraukan norma dan etika pergaulan. Bukankah semua etika tidak menginginkan ’aib’ seseorang diumbar di semua media. Tapi ini justru menjadi komoditas yang mahal nilainya. Terlebih lagi, yang sedang ditelanjangi adalah para artis, yang notabene kerap diidolakan masyarakat.
Terjadi Disfungsi Media.
Media yang sejatinya memiliki fungsi pendidikan, informasi, pencerahan dan pengembangan wawasan justru menjelma sebagai agen yang lebih mengutamakan hiburan. Alasannya sederhana, karena dianggap bisa meraup banyak keuntungan.
Menurut penilitian Nielsen Media Research, belanja iklan nasional terus meningkat dari tahun ke tahun dan lebih dari 64 persen di antaranya lari ke televisi. Belanja iklan tahun 2005 mencapai Rp 22,21 triliun atau tumbuh 5 persen dari tahun 2004. Dari jumlah itu, belanja iklan di televisi sebesar 70 persen atau Rp 16,22 triliun (Republika, 12 Januari 2006).
Menurut M. Hidayat Nahwi Rasul, Wakil Ketua KPID Sulsel, sebagian dari jumlah belanja iklan itu diperoleh melalui tambang emas bernama infotainment. Taruhlah harga jual acara infotainment dari production house ke televisi swasta nasional Rp 25 juta per episode (dengan harga jual dari Rp15 juta hingga Rp 60 juta per episode). Bila pada saat ditayangkan terdapat 24 iklan seharga Rp 2,5 juta per iklan, maka pendapatan iklan mencapai Rp 60 juta per episode atau diperoleh selisih keuntungan sebesar Rp 35 juta per episode, atau lebih satu miliar per bulan. Masuk akal kalau dalam sehari televisi menayangkan dua hingga empat kali infotainment. Apalagi program infotainment dinilai tetap kompetitif dengan program lain dalam hal meraih penonton, bahkan meskipun ditaruh pada “jam mati” menonton pukul 07.00, 09.00, 15.00, dan 16.00.
Nah, jika kepentingan tayangan infotainment itu ada hanya semata-mata karena faktor kapital, yakni hanya untuk meraup keuntungan bagi stasiun tv dan production house, jelas dalam hal ini masyarakat sebagai penonton hanyalah sebagai tumbal. Dengan kata lain tak ada wacana pendidikan dalam tayangan itu. Kecuali hiburan yang sebenarnya bergerak untuk merusak akal sehat kita. Hanya saja kita masih punya pilihan untuk tetap menonton atau mematikan televisi. Pilih mana?
*) Peneliti pada STAPERS (Studi Tafsir Politik dan Perubahan Sosial), tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar