Senin

Kultur Kekerasan Lahirkan Preman Dan Bandit

Oleh: M Ainun Najib*
Di tengah gerakan anti kekerasan yang tumbuh subur, kekerasan justru secara vulgar berlangsung dalam dunia pendidikan. Kematian Cliff Muntu, praja IPDN, akibat penganiayaan seniornya seolah-olah membelakkan mata dan mempertanyakan mentalitas birokasi yang dihasilkan sekolah kedinasan tersebut. Tragedi ini ternyata telah berlangsung begitu lama sejak sekolah kedinasan ini berdiri. Bahkan menurut pengakuan dosen IPDN Inu Kencana Syafei, kurang lebih 35 mahasiswa IPDN meninggal dunia akibat 'pembinaan' mental dan fisik. Pengakuan tersebut, seperti biasa, dibantah oleh pengelola IPDN dengan menjelaskan, hanya ada tiga praja yang meninggal dunia akibat kekerasan dalam kampus. Yakni, Eri Rahman asal kontingen Jabar (1999-2000), Wahyu Hidayat asal kontingen Jabar (2002-2003), dan Cliff Muntu asal kontingen Sulawesi Utara.
Kultur kekerasan pada dasarnya tidak dapat diukur dari perspektif jumlah korban. Sekalipun memakan hanya seorang korban, kekerasan menampakkan watak destruktif manusia dan terkutuk. Lebih-lebih kekerasan berlangsung di domain pendidikan serta dilakukan secara kolektif dan diwarisi secara turun-temurun. Dapat dibayangkan apa yang terjadi dalam pendidikan yang menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah. Pendidikan yang tidak mempersoalkan kekerasan mengindikasikan kehilangan keberadabannya dan kegagalan menyemai nilai-nilai kemanusian. Akibatnya, out put yang dihasilkan setali tiga uang dengan preman dan bandit. Memahami munculnya akar-akar kekerasan di IPDN mempunyai signifikansi agar pamong praja yang dihasilkan mempunyai hati nurani, tidak sekadar kecapakan intelektual dan administrasi pemerintahan.
Mengeksplorasi akar-akar kekerasan menjadi relevan untuk diangkat ke permukaan untuk mengurai bagaimana barbarisme terjadi di IPDN. Menjadi mahasiswa IPDN dengan status calon pegawai negeri sipil dan bebas biaya pendidikan merupakan idaman bagi siapapun. Untuk itu, rekrutmen yang dilakukan berlangsung secara ketat, dan menjaring siswa-siswa yang betul-betul berprestasi. Mahasiswa IPDN tidak ubahnya manusia genius pilihan.
Dalam konteks ini, ide tentang manusia super (uebermensch) yang diintrodusir Nietzsche terpatri dalam kesadaran mahasiswa IPDN. Ekslusivitas dan tertutup dari dunia luar dijadikan tameng agar tidak 'terkontaminasi'. Padahal, sebagai calon abdi negara, membangun relasi sosial dengan masyarakat sekitar merupakan pembelajaran yang tidak akan didapatkan di bangku kuliah. Tidak berlebihan, jika dalam kunjungan Wapres Jusuf Kalla, IPDN dianalogikan dengan kerajaan kecil yang tidak tersentuh dari dunia luar.
Akar epistemologis tersebut membentuk kesadaran mendegradasikan manusia lain yang lebih rendah derajatnya dalam anasir elemen massa yang dipahami menurut dominasi kelas atau senioritas. Sejak awal kekerasan melekat dalam pikiran 'manusia yang terpilih'. Berbarengan dengan itu, kehendak berkuasa (wille zur macht) dijadikan justifikasi atas kekerasan. Penyimpangan dan ketidakpatuhan yang dilakukan seorang praja yunior dianggap merongrong martabat dan mengancam kekuasaan praja senior. Karena itu, kekerasan massa diabsahkan dalam rangka menjaga stabilitas menemukan locusnya.
Selain menggunakan perspektif yang diusung Nietzshe, kekerasan di IPDN pada umumnya terjadi secara kolektif (massa), bukan individual. Dalam aras ini, kekerasan massa terbentuk oleh beberapa hal. Pertama, tindakan kolektif. Mahasiswa IPDN menginternalisasi tidak hanya nilai-nilai keprajaan, melainkan juga hubungan-hubungan represif di dalam kampus.
Tingkah laku dan sikap menurut gaya hidup yang terstruktur oleh represifitas tersebut dengan mengandaikan identitas kolektif antara kita dan mereka. Kontradiksi kepentingan antara dikotomi tersebut terartikulasikan dengan jelas. Untuk menjaga dominasi tetap berlangsung, kekerasan satu-satunya solusi yang terbaik.
Kedua, kepemimpinan dan organisasi. Dalam titik ini, program aksi kekerasan diwujudkan dan dikoordinasikan. Kekerasan massa yang terjadi di IPDN mengisyaratkan pola pengorganisasian yang jelas. Bahkan, dalam kasus Cliff Muntu suntikan formalin dilakukan untuk menghilangkan jejak-jejak kekerasan. Karena itu, terasa janggal, bila IPDN secara institusi merasa kecolongan dan tidak mengetahui sama sekali. IPDN seolah tidak mau bertanggung jawab dengan alasan lemahnya pengawasan. Sebuah alasan yang tidak logis.
Sebagai langkah awal memutus kekerasan, IPDN secara institusional sepatutnya mempunyai kemauan politik untuk menjadi kampus yang terbuka sebagaimana kampus universitas. Ketertutupan IPDN melangengkan ekslusivitas yang terbangun sejak awal berdiri dan memisahkan dari masyarakat. Keterbukaan kampus tersebut berarti melibatkan masyarakat mengawasi kehidupan para praja, dan praja mengetahui problem sosial yang dihadapi masyarakat, terutama berkaitan dengan administrasi pemerintahan. Dengan demikian, ada simbios mutualisme yang terjalin antara praja dengan masyarakat.
Di samping itu, pembenahan internal IPDN merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. Sistem pendidikan, pengawasan, dan relasi senior-yunior mendesak untuk diperbarui. Pendidikan gaya militeristik dengan memperbolehkan penyiksaan (body contact) yang diadopsi IPDN perlu direnungkan manfaatnya untuk praja.
Pembenahan IPDN yang setengah hati bukan jawaban untuk mengakhiri kekerasan yang telah lama terjadi. Perubahan dari SPDN menjadi IPDN setelah meninggalnya Wahyu Hidayat (2003) terbukti gagal memutus mata rantai kekerasan. Karena itu, dibutuhkan perubahan radikal yang bersifat menyeluruh agar out put yang dihasilkan menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Kekerasan yang terkekalkan di IPDN tampaknya tersimpulkan dalam kalimat yang jelas: violence is the heart of sacred. Kalau demikian adanya, betapa galak, sanggar dan menakutkan out put yang dihasilkan. Suara-suara yang menghendaki pembubaran sekolah kedinasan mungkin saja dianggap angin lalu saja. Selanjutnya, tergantung kebijakan perubahan fundamental yang dilakukan pemerintah. Namun, kalau 'penjagalan' kembali terulang di kemudian hari, tidak ada salahnya membubarkan IPDN. Katakan tidak pada segala bentuk kekerasan.
*) Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Univ. Hang Tuah Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung