Senin

Calon ‘Pamung’ Bermental ‘Pangreh’

Bubarkan Saja IPDN
Oleh: Asmuni*

Terulangnya kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) menunjukkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan yang dikembangkan di sana. Sebagai sekolah kejuruan, seharusnya institusi semacam IPDN mempunyai kelebihan dari sekolah yang bersifat umum. Namun, kekerasan yang berulang telah menghilangkan keunggulan yang seharusnya dimiliki oleh IPDN.
Sebagai lembaga yang dibiayai oleh negara, IPDN bukannya menjadi cakrawala dimuka bagi sistem pendidikan nasional. Sebaliknya, IPDN menjadi contoh buruk terhadap perkembangan pendidikan nasional. Kasus kekerasan yang berulang tersebut juga menunjukkan pemerintah kurang sungguh-sungguh untuk menata sistem dan tradisi di sekolah ikatan dinas tersebut. Ibarat keledai, kita (khususnya pemerintah) jatuh pada lubang yang sama.
Kita tahu, bahwa kasus yang menimpa praja Cliff Muntu merupakan kasus kedua yang muncul ke permurkaan setelah kasus kematian praja Wahyu Hidayat di tahun 2003. Pada tahun 2004, pemerintah terpaksa melakukan evaluasi terhadap keberadaan sekolah kedinasan tersebut. Hasilnya, nama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) diubah menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Publik berharap perubahan tersebut akan diiringi oleh perubahan mental dan prilaku kekerasaan menjadi lembaga yang mengedepankan keilmuan dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, perubahan tersebut ternyata hanya perubahan nama lembaga tetapi bukan prilaku. Dengan berulangnya kasus kekerasan, terutama setelah kemantian Cliff Muntu, sehurusnya lembaga pendidikan semacam itu harus dievalusi secara mendalam, jika diperlukan menggunakan opsi pembubaran.
Opsi pembubaran merupakan usulan yang rasional dan bukan dari rasa kegeraman semata. Apalagi keberadaan IPDN bertentangan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana pengaturan terhadap sekolah kedinasan hanya diperuntukkan kepada kepolisian dan ketentaraan.
Namun carut-marutnya sistem pendidikan kita ternyata masih memperbolehkan lembaga kedinasan semacam IPDN tetap eksis sampai sekarang. Bahkan keputusan pemerintah terhadap keberadaan IPDN yang hanya menunda perekrutan mahasiswa baru selama satu tahun ke depan terasa sangat mengecewakan.
Seyogyanya, pemerintah menghentikan semua kegiatan belajar-mengajar di sana. Sebab kultur dan sistem pendidikan di IPDN, lebih mengarah kepada sikap pangreh daripada pamong. Sikap ‘pangreh’ mempunyai tanda-tanda untuk mengatur, membina dan mengendalikan. Jadi logika yang digunakan adalah logikan kekuasaan yang harus mendapat pelayanan dari orang-orang yang di bawahnya.
Kita bisa melihat bagaimana hal tersebut sengaja ditanamkan di kalangan mahasiswa IPDN. Dan pihak yang berwenang di kampus tersebut seakan merestui, minimal membiarkan kultur tersebut tetap tumbuh subur. Penanaman sikap selalu patuh terhadap atasan, merupakan inti dari sistem pengajaran dalam kampus tersebut. Sistem yang mengandalkan keputuhan hanya bisa dilakukan lewat kekerasan. Jadi hal tersebut secara mendasar sangat jauh dari sikap disiplin, seperti yang sering digembar-gemborkan selama ini. Akibatnya, sikap mengatur, membina dan mengendalikan menjadi sikap yang dianggap membanggakan. Sungguh ironis.
Padahal paradigma seperti di atas sudah ketinggalan jaman. Di tengah tuntutan terhadap kualitas pelayanan dan tuntutan reformasi birokrasi, sungguh suatu kemunduran bagi sekolah seperti IPDN tetap dipertahankan. Paradigma baru birokrasi menuntut seorang birokrat menjadi ‘pamung’, yaitu suatu sikap dari aparatur pemerintah untuk melayani, memperdayakan dan memberi fasilitas pengembangan kepada publik.
Jadi apa yang akan diharapkan dari lulusan IPDN? Bisakah mereka nantinya menjadi pamong bagi rakyatnya? Sikap melayani, memperdayakan dan memberi fasilitas kepada publik, bukanlah sutau sikap yang tumbuh serta merta. Sikap semacam itu merupakan proses, yang seharusnya diperoleh ketika seorang aparatur pemerintah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Logikanya, apa yang dipelajari di bangku kuliah akan dibawa sampai tempat kerja mereka sebagai birokrat nantinya.
Tapi kenyataannya, sistem dan tradisi pindidikan kedinasan yang mencetak para birokrat kita tidak mendukung proses reformasi birokrasi di tanah air. Ibarat pepatah --sekolah seperti IPDN-- jauh panggang dari api. Tidak mungkin kita berharap kepada suatu sistem pendidikan dimana anak didiknya dikondisikan seperti satuan tempur yang akan menghadapi peperangan.
Kondisi seperti itu bukan hanya menjebak calon-calon birokrat dalam lingkaran kekerasan seperti terlihat sekarang ini. Lebih jauh lagi colan pamong praja tersebut tidak akan pernah mengerti kondisi sosial, kultur dan ekonomi masyarakat yang akan mereka pimpin karena sibuk mengurus diri mereka sendiri.
Membangun Iklim Baru
Fungsi dan peran pamung sebagai bentuk ideal dari seorang birokrat akan terlahir apabila ada iklim baru dalam membangun sumber daya manusia bagi birokrasi kita. Sebab sudah terbukti iklam kedinasan seperti IPDN itu berimplikasi pada suatu kejanggalan dan kegagalan. Mau tidak mau pemerintah tidak boleh berkompromi terhadap sistem yang berlaku sekarang ini.
Pemerintah harus menghapus kewenagan Departemen Dalam Negeri dalam mengelola IPDN. Wewenang tersebut harus dijalankan oleh Departemen Pendidikan Nasional sehingga penataan sistem pendidikan di sana menjadi jelas pijakannya.
Selama ini IPDN merupakan lembaga yang mempunyai hak istimewa, selain diurus oleh Departemen Dalam Negeri, lulusannya pun langsung dapat bekerja. Padahal mutu dari lulusan dari IPDN tidaklah lebih baik dari lulusan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan (universitas). Bisa jadi lulusan universitas dengan disiplin keilmuan sama dengan IPDN mempunyai mutu yang lebih baik.
Bila perbandingan mutu dikaji secara transparan disertai pertanggungjawaban moral dan intelektual, maka hak istimewa (langsung diangkat jadi PNS) tidak perlu ada. Berdasarkan spirit tersebut, seharusnya hak yang sama diberikan kepada anak bangsa yang mempunyai kualifikasi keilmuan seperti IPDN, yaitu dengan jalan fit and proper test, seperti lazimnya sebuah jabatan publik diperebutkan.
Jika IPDN diurus oleh Departemen Pendidikan Nasional berarti tidak ada jalan tol bagi seseorang dalam memperoleh sebuah jabatan. Juga tidak ada anak emas dalam sistem pendidikan kita. Dan yang terpenting, lingkaran kekerasan dan horor di kampus IPDN itu bisa diputus.
*)Alumnus Universitas Jember, tinggal di Sumenep, Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung