Selasa

Buku Dan Profesionalitas Guru

REFLEKSI
OLEH: TATIK CHUSNIYATI*

Kita prihatin melihat banyak guru atau tenaga pengajar di tanah air yang tidak gemar membaca buku. Padahal buku merupakan sumber pustaka untuk menambah wawasan dan memperluas pengetahuan. Hal itu secara langsung akan mempengaruhi perkembangan mental anak didik.
Rendahnya tingkat apresiasi para guru terhadap buku bisa dilihat dari jarangnya guru yang berkunjung ke perpustakaan atau sedikitnya guru yang mau menyisihkan sebagian dari gajinya untuk membeli buku.
Darmaningtyas (2005), seorang pengamat pendidikan, berkomentar, “Setuju kalau kesejahteraan guru ditingkatkan, tapi sebetulnya guru yang ada sekarang tidak layak digaji tinggi karena mereka tidak memiliki kompetensi, otoritas dan integritas tinggi sebagai guru.” Menurut Darmaningtyas, mereka umumnya tak pintar, loyo, enggan membaca, tidak memiliki keingintahuan terhadap ilmu dan kurang berhasrat untuk meningkatkan kualitas diri. Akibatnya, mereka tidak pernah merasa gelisah meski mutu pendidikan nasional makin amburadul.
Kenyataan di atas menambah keprihatinan kita karena kaum guru seharusnya menjadi panutan murid-murid, terutama dalam hal membaca buku. Keengganan guru untuk membaca buku jelas turut menggembosi apresiasi murid terhadap buku. Boleh jadi murid malas membaca buku-buku wajib karena sang guru tidak memaksanya melalui tugas-tugas yang mengharuskan si murid membaca buku wajib dan buku pendamping.
Proses belajar-mengajar dalam sistem pendidikan nasional mengharuskan sang guru sebagai contoh. Budaya paternalistik yang terangkum dalam diktum “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” menuntut tanggung jawab guru lebih dari sekedar mengajar. Guru tidak hanya “berpangku tangan” atas profesinya sebagai guru. Konsekuensi guru adalah upaya penambahan wawasan, antara lain dengan membiasakan diri guru agar gemar membaca buku.
Guru yang tidak gemar membaca tentu berbeda dengan guru yang gemar membaca. Guru yang gemar membaca akan sangat mudah mengasosiasikan pelajaran yang diberikan dengan realitas sosial. Mereka tidak semata-mata berkutat dengan silabus yang dari tahun ke tahun ya itu-itu juga. Mereka tidak sebatas mentransfer uraian yang ada di buku pelajaran, tetapi juga menariknya dalam konteks keseharian.
Di sisi lain, murid-murid sekarang banyak yang kritis dan “cerewet” mempertanyakan pelajaran yang diterima. Contoh, ada murid yang ingin tahu mengapa di Indonesia hanya ada dua musim, yaitu musim penghujan (Oktober – April) dan musim kemarau (April – Oktober). Tetapi, di negara-negara lain ternyata ada kemarau yang terus-menerus atau hujan turun sepanjang tahun.
Murid kritis akan mempermasalahkan hal itu, yang tentunya hanya bisa dijelaskan oleh guru yang hobi membaca buku. Contoh lain, menyangkut nama-nama presiden dan kepala pemerintahan di berbagai belahan dunia. Hanya segelintir para guru yang mengikuti suksesi pemerintahan di luar negeri sehingga agak kewalahan menghadapi berondongan soal yang diajukan murid-murid yang haus berbagai pengetahuan umum.
Memang, ada banyak faktor yang menyebabkan guru-guru kita tidak gemar membaca buku. Pertama, harga buku di Indonesia yang lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kedua, keterbatasan waktu luang yang dimiliki oleh sebagian guru, antara lain disebabkan banyaknya guru yang merangkap; pagi mengajar di sekolah negeri, siang di swasta, malam memberikan les di tempat lain atau di rumah, juga ada guru yang di pagi hari mengajar dan sorenya menjadi tukang ojek atau sopir taksi.
Ketiga, sikap malas. Sikap mental ini hanya bisa dilawan dengan usaha keras guru itu sendiri, sebab meskipun dua faktor lainnya bisa diatasi, jika faktor malas tidak dihilangkan, sulit rasanya untuk menumbuhkan kegemaran membaca buku.
Apapun alasannya, sebagai panutan murid-murid di sekolah, guru hendaknya tampil sebagai figur guru yang profesional, cerdas, dan berwawasan luas. Terlebih, belakangan banyak guru yang sudah kehilangan wibawa bahkan cenderung membosankan di mata para peserta didiknya. Mereka kurang fleksibel dalam menyampaikan materi pelajaran. Belum terlambat bila kaum guru akrab dengan buku-buku bacaan sebagai upaya menambah wawasan dan meningkatkan profesionalitas mereka dalam proses belajar-mengajar.
*) Pengajar Ma’had Abdurrahman bin Auf Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung