Senin

Buku Di Mata Pemimpin

SOROT
OLEH: Nurani Soyomukti*

Sungguh menyedihkan membaca berita Nurmahmudi Ismail, Walikota Depok, berada di paling depan aksi pembakaran buku-buku sejarah. Secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan Nuramahmudi bersama Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).
Negeri ini nampaknya tak lagi beruntung karena para pemimpinnya kurang menghargai imajinasi dan ekspresi literer rakyatnya. Bahkan kita juga miskin pemimpin yang menyukai karya sastra, peradaban buku, habitus baca-tulis, dan pembudayaan bangsa melalui budaya membaca dan menulis.
Presiden-presiden Indonesia saja banyak yang menghargai buku, karya ilmiah, dan karya kesusatraan --kecuali Presiden fasis Soeharto! Kita masih (pernah) punya Gus Dur, seorang yang sangat menyokong imajinasi manusia-manusia Indonesia dengan menghargai kebebasan berpikir, mendukung budaya baca-tulis. Bahkan dalam hal ini pribadi Gus Dur sangat menarik (unik) karena ia sendiri juga penikmat dan penulis sastra, pengarang buku, dan juga pandai mengulas karya sastra dan karya intelektual. Tak heran jika hal itu juga berpengaruh pada wataknya yang pluralis, mencintai kedaulatan bangsa, progresif, dan tidak hitam-putih dalam melihat persoalan.
Kita, selain Gus Dur, juga pernah mempunyai Soekarno, presiden pertama Republik yang banyak membaca karya-karya pemikir dan sastrawan besar. Soekarno juga seorang perenung, pengarang dan pencipta, menulis dan melukis. Tak heran jika kemudian ia menjadi tokoh besar yang dikenang oleh rakyat dan masyarakat dunia. Jatuhnya beliau juga sekaligus menandai matinya peradaban literer bangsa ini karena pemberangusan terhadap karya secara intensif dikonsolidasikan melalui gerakan militeristik yang memperalat negara di era Orde Baru.
Buku Dan Presiden Radikal
Saya telah melakukan penelitian tentang pribadi pemimpin besar bernama Hugo Chavez, Presiden Venezuela, yang juga saya publikasikan dalam buku saya "Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal", maka saya mulai tertarik menyelidiki hubungan presiden radikal itu dengan buku.
Karena kecintaan akan buku dan sastra itu, Chavez memperbanyak karya-karya sastrawan Amerika Latin, ia membagi-bagikan secara gratis satu juta naskah buku sastra (novel) Don Quixote yang dirayakan ulang tahunnya yang ke-400 di seluruh dunia pada tahun 2005. Don Quixote de la Mancha (bahasa Sepanyol: Don Quijote) adalah sebuah novel karya Miguel de Cervantes Saavedra yang dianggap secara meluas sebagai karya bahasa Spanyol yang terbaik di dunia dan kini merupakan lambang karya kesusasteraan Spanyol. Diterbitkan pada tahun 1605, ia adalah salah satu novel paling awal dalam bahasa Eropa modern. Chavez membagikan sejuta naskah karya sastra tersebut dalam rangka merayakan kemenangan program melek huruf yang keberhasilannya dipuji oleh UNICEF.
Chavez nampaknya mirip Bung Karno dalam hal tertentu. Keduanya adalah presiden yang membangun bangsanya dengan prinsip kedaulatan, anti penjajahan global, anti-imperialisme. Terpilih dua kali (pemilu 1998 dan 2006) dengan suara yang meningkat dan dukungan semakin kuat dari rakyatnya, Hugo Chavez memberikan demokrasi dan kesejahteraan berbasiskan pada demokrasi partisipatoris: bukan demokrasi komunis-diktator yang memasung kebebasan berekspresi, juga bukan demkrasi liberal-borjuis yang mengagung-agungkan kebebasan tetapi hanya kosong dengan formalitas dan proseduralitas demokrasi pemilu lima tahun sekali.
Demokrasi partisipatoris (participatory democracy) telah membuat rakyat berpartisipasi aktif terlibat dalam pengambilan kebijakan, mengontrol dan bahkan mengeksekusi sendiri program-program kerakyatan. Chavez dan rakyatnya mengakses kesehatan dan pendidikan gratis. Chavez berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Mission Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis (Soyomukti, 2007: 134).
Komunitas-komunitas baca-tulis dijumpai di berbagai tempat, karya Gabrielle Garcia Marquez, Pablo Neruda, Giconda Belli, Marti, dan para sastrawan Amerika Latin dapat diakses oleh rakyat. Untuk melawan media-media kaum oposisi (borjuis) yang menguasai 90% media, pendukung Chavez membangun dan memperluas media komunitas sehingga peradaban baca-tulis dan kesusastraan dapat meluas ke masyarakat banyak. Banyak yang keheranan, ketika semua media (TV, radio, surat kabar) terus saja menyerang Chavez, tokoh ini bukannya kekurangan legitimasi tetapi malah semakin didukung rakyat.
Kecintaan Chavez pada buku dan minatnya untuk mendidik rakyatnya dengan buku-buku dan karya sastra tidak berhenti hingga ia menjadi orang nomer satu di negeri yang kaya minyak itu. Setiap kali ia mengutip puisi-puisi Pablo Neruda (penyair asal Chili) dan dia tetap keranjingan dengan kata-kata indah. Dalam setiap pidato dan tulisannya kata-kata pilihan selalu dikutipnya. Tak mengherankan, karena obsesinya pada kebudayaan literer ini, ia menutup ijin sebuah stasiun TV swasta (RCTV). TV yang bukan hanya menjadi alat propaganda menyerang dirinya dan terlibat dalam kudeta April 2002 untuk menggagalkan program-program kerakyatan, tetapi juga TV yang dikenal paling banyak menayangkan telenovela (opera sabun) dan dekadensi gaya hidup borjuis yang tidak mendidik rakyat, yang membuat rakyat hanya terilusi dengan gaya hidup yang tak bisa diraihnya, iming-iming konglomerat negeri itu, segelintir orang yang pernah (dan masih akan) memusuhi dirinya.
*) Anggota Bidang Komunikasi Massa JAMAN (Jaringan Muda untuk Kemandirian Nasional), tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung