Senin

Dewan Kesenian Dan Birokratisasi Seni

SOROT
Oleh: Taufiq Sholeh*
Sejak awal, kelahiran Dewan Kesenian banyak dipersoalkan, terutama oleh mereka yang menganggap bahwa urusan kesenian tidak perlu adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk negara sekalipun. Mereka menilai keterlibatan pihak luar justru akan merubah dan merusak wajah kesenian itu sendiri sebagai ruang bebas yang disediakan untuk mengartikulasikan berbagai nilai, makna dan peristiwa dalam kehidupan manusia.
Kekhawatiran ini sebenarnya pernah ditegaskan Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta waktu itu) sebagai penggagas lahirnya lembaga yang bernama Dewan Kesenia Jakarta dan menjadi Dewan Kesenian pertama di Indonesia saat itu.
Namun dalam perjalanannya, kelahiran Dewan Kesenian (terutama Dewan Kesenian di daerah) justru banyak diprakarsai dan diisi oleh kelompok birokrat dan kelas menengah perkotaan (para aktivis kesenian yang bertebaran di kampus-kampus).
Kalaupun ada seniman yang dilibatkan dalam jabatan struktural, mereka adalah para seniman birokrat-priayi dan seniman sekolahan yang kebetulan memiliki cita rasa dan kecintaan terhadap seni. Bukan sebagai pelaku seni murni (seniman alam). Sehingga bisa ditebak arah dan tampilan desain berkeseniannya yang cenderung mencerminkan kepentingan-kepentingan negara, atau komunitas kelas menengah dan kaum akademisi.
Namun demikian, fenomena ini praktis tanpa hambatan maupun penolakan yang berarti dari masyarakat. Karena kemudian hal itu ditopang oleh sistem pengetahuan tentang “nilai” yang sengaja direproduksi oleh para seniman sekolahan (akademisi). Nah, nilai inilah yang selanjutnya menentukan bagaimana seharusnya bahasa estetis kesenian itu didefinisikan dan bagaimana pula seharusnya berkesenian agar memiliki nilai jual dan lain sebagainya. Puncak perselingkuhan kaum birokrat dan kelas menengah perkotaan ini ialah diseretnya paradigma berkesenian itu pada komersialisasi dan komudifiksi pasar serta paket-paket wisata yang diselenggarakan oleh negara.
Akibatnya, jangan heran bila kesenian-kesenian yang ada saat ini hanya dimaknai sebagai sesuatu yang harus bernilai ekonomis dan materialistis. Artinya, sejauh kesenian-kesenian itu memiliki komudifikasi pasar dan bisa mendatangkan uang dan devisa bagi negara, maka dapat perlakuan istimewa.
Masuknya unsur birokratisasi dalam kesenian perlu jadi sorotan serius. Pengakuan beberapa seniman tradisional di Jember bisa kita jadikan referensi. Rata-rata seniman tradisional, pernah merasakan kekecewaan mendalam saat mereka asyik manggung harus bubar gara-gara tidak mengantongi nomor induk (semacam surat ijin untuk berkesenian). Mereka harus mendaftarkan grup keseniannya agar bisa mengantongi nomor induk tersebut.
Birokratisasi seni seperti ini jelas menimbulkan rasa tidak nyaman bagi para seniman, terutama para pelaku seni tradisional yang tersebar di wilayah pinggiran yang sedikit memiliki akses terhadap birokrasi. Meskipun ketidaksepakatan mereka masih berupa perbincangan-perbincangan ringan antar sesama seniman. Seperti Mbok Ruk, seniman Ludruk di Jember. “Setiap dua tahun saya harus memperpanjang nomor induk, bayarnya sih gak mahal. Untung saja ada orang kecamatan yang saya kenal dan mau membantu. Bahkan, kadang-kadang saya tidak usah membayar. Mungkin dia yang membayarkan”.
Kenyataan miris di atas mungkin tidak perlu terjadi kala kelahiran Dewan Kesenian berangkat dari para seniman grass root yang bersebaran di daerah-daerah pinggiran. Kesadaran mereka untuk mengorganisasir diri, bagaimana mengapresiasikan seni dalam satu wujud kesenian menurut versi mereka, serta pemaknaan terhadap sebuah produk seni tentu sudah tidak bisa kita ragukan lagi. Karena rata-rata mereka memiliki reputasi di bidangnya masing-masing. Hal a yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana apresiasi terhadap kesenian yang selama ini digelutinya berjalan terus dengan tetap menjaga jarak antara kepentingan pragmatis dan ideologis.
Sosok apresiator seni sejati, yang jauh dari bayangan ekonomis dan materilistik, seperti ini bisa kita temukan dari seorang seniman seperti Pak Namo, salah satu tokoh Kesenian Jaranan-Jember. “Tade’ caretanah jeregen Jerenan are sogi. Mon melarat, iyeh. Tape de’ remah pole, nyamanah la seneng. Ben pole areah kan peninggalan leluhur kebudayaan Jawa”. (Tidak ada ceritanya jeragan jaranan itu kaya, kalau miskin banyak. Tetapi mau gimana lagi, namanya juga seneng, apalagi ini merupakan peninggalan kebudayaan Jawa). Sejumlah seniman lain pun bersuara sama soal ini. Ada Mbok Ruk, seniman Ludruk, Mbok Buyati, seniman Lengger dan beberapa seniman lainnya.
Bagi mereka, berkesenian adalah urusan apresiasi dan tidak ada urusannya dengan negara (Dewan Kesenian). Beberapa di antaranya bahkan mengaku tidak tahu dan merasa tidak ada pengaruh apa-apa atas keberadaan Dewan Kesenian di Kabupaten Jember. Baik merugikan apalagi menguntungkan.
“Biarkan saja mas….!, kami diberi bantuan ya syukur, tidak diberi bantuan ya tidak apa-apa. Meskipun setiap kami manggung hanya cukup untuk biaya transportasi dan bayar pemain, yang penting bila diminta orang untuk main kami siap dan kami bisa main”. Demikian jawaban polos Mbok Ruk saat diberitahu bahwa sebenarnya ada lembaga negara yang bernama Dewan Kesenian beserta alokasi dana untuk kepentingan kesenian mereka.
Sikap mandiri, nerimo, meskipun secara implisit sebenarnya mereka menolak, atau bahkan acuh terhadap negara (Dewan Kesenian) seperti ini, menandakan bahwa ada atau tidak adanya perhatian negara (Dewan Kesenian) tidaklah berdampak serius bagi mereka. Toh sampai hari ini mereka bisa bertahan meski tanpa perlakuan istimewa dari negara.
*) Aktif di Desantara-Institute for Cultural Studies-Jakarta, tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung