OPSI
OLEH: Lukman Hakim*
Tanggal 8 Maret 2007, Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama jajaran elit Lapindo Inc. secara sepihak memutuskan Relokasi Plus bagi warga Perumahan Tanggulangin Sejahtera I (TAS I) sebagai kompensasi atas terendamnya rumah warga akibat Semburan Lumpur Lapindo (SLL).
Disepakati pula, pihak Lapindo Inc. pada bulan Maret ini harus menempatkan minimal 20 persen atau Rp 500 miliar dari dana ganti rugi Rp 2,5 triliun di rekening bersama antara Lapindo dan Pemda Jatim. Dana tersebut harus siap cair tiap harinya tidak kurang dari Rp 10 miliar.
Keputusan sepihak tersebut merupakan kekeliruan terbesar yang dilakukan pemerintah pusat. Sebab ganti rugi tidak bisa dilihat hanya dari sisi ekonomi atau kehilangan rumah diganti dengan rumah baru. Di balik itu, ada ganti rugi dari aspek sosial, psikologi, dan kelangsungan hidup yang harus diperhatikan. Konsep rumah bagi masyarakat, sesungguhnya tidak sekadar fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi komunitas dan habitat bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang.
Kesepakatan tersebut disadari atau tidak merupakan bukti nyata dari keberpihakan pemerintah terhadap korporat transnasional, sebab Lapindo Inc. sesungguhnya tidak berdiri sendiri di bawah kendali Bakrie Group, akan tetapi 30 persen sahamnya adalah milik EMP Kangean Ltd. Yang merupakan gabungan dari dua perusahaan asing, yaitu Beyound Petrolium dan Amoco. Karena itu tak heran bila pada hari Senin 12 Maret 2007 lalu ribauan warga TAS I bersama dengan warga tiga desa lainnya melakukan blokade Jalan Raya Tol Porong di KM 150. (Kompas/13/03)
Pemberian kompensasi dan penandatanganan surat pernyataan memang telah dilakukan oleh warga korban di lima desa lain, tetapi penandatanganan tersebut belum mengatur secara tegas apa tanggungjawab mutlak yang harus ditanggung oleh “si pelaku dan penanggungjawab”. Karena itu kesepakatan tersebut tidak sanggup untuk menenangkan warga korban apalagi membuat mereka merasa puas akan keadilan yang dijanjikan.
Memberikan pengakuan, jaminan dan pemenuhan hak dasar korban dalam prinsip-prinsip fundamen hak azasi manusia (HAM) penting dijadikan paradigma solusi dan penanggulangan dalam kasus lumpur. Memandang korban dan calon-calon korban tanpa membeda-bedakan wilayahnya perlu dijadikan pemahaman bersama. Setidaknya bahwa alasan pemerintah terhadap Relokasi Plus yang diberlakukan bagi warga TAS I dikarenakan luapan lumpur yang menjarah tanah mereka terjadi pasca ledakan pipa gas milik Pertamina. Dengan begitu Lapindo Inc. tidak merasa bertanggungjawab.
Sesungguhnya hak masyarakat terkait dengan keadilan lingkungan secara eksplisit telah diatur dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 (pasal 28H;1). Begitu pula di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, seperti pada pasal 3. Sedangkan dalam skala internasional diakui dalam sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001, bahwa “setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.
Belajar Dari Kasus Minamata Dan Bhopal
Ada dua contoh kasus lingkungan yang pernah terjadi di dunia yang bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia . Kasus pencemaran merkuri di Minamata Jepang adalah contoh riil bencana industri. Setelah pelaku perusak lingkungan, yakni Chisso Corporation dituntut bersalah di pengadilan. Dua tahun kemudian pemerintah Jepang mengeluarkan aturan tentang pengakuan, penjaminan hak-hak korban dan tanggung jawab mutlak korporasi dalam bencana industri. Sampai saat ini korban Minamata masih mendapatkan hak dasarnya, salah satunya adalah pelayanan kesehatan dan ditanggungnya semua kerugian oleh Chisso Corporation.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada bencana industri Bhopal di India. Union Carbide Corporation (UCC), perusahaan bahan kimia dari Amerika Serikat, saat tabung gasnya bocor dan meledak pada 3 Desember 1984 menewaskan 3800 orang dan lebih dari 1000 orang cacat permanen. UCC selaku perusahaan yang seharusnya bertanggungjawab, mengalihkan modalnya “menjual” asset perusahaannya kepada Daw Chemicals. Setelah itu sang pemilik melarikan diri, sehingga pelaku lepas dari tuntutan dan tanggungjawab. Pemerintah India terkesan tidak serius mengungkap dan memenuhi keadilan korban. Akibatnya korban menderita dari saat kejadian sampai sekarang.
Dari dua kasus di atas setidaknya pemerintah RI mempunyai cara-cara luar biasa untuk menjadi wakil rakyatnya yang kini sedang terancam akibat semburan lumpur. Apalagi kini, lumpur Lapindo disadari atau tidak telah menjadi kasus internasional dan mengancam ratusan ribu jiwa warga Sidoarjo.
Ketika hak dasar korban tidak dijadikan aspek penanggulangan, maka komitment Indonesia sedang dipertaruhkan. Diratifikasinya UU No.11 tahun 2005 tentang hak ekosob oleh Indonesia, merupakan beban tersendiri bagi kontribusi penegakan HAM Indonesia kepada dunia. Jika akhirnya korporasi lepas dari tanggungjawab dan korban diabaikan hak dasarnya, maka negara tergolong ceroboh dan suka mempermalukan dirinya sendiri di muka internasional.
Menjangkau hak dasar korban lumpur bukan hal sulit bagi pemerintah, sebab hanya membutuhkan kepekaan dan kemauan politik yang bisa menjamin dan memenuhi hak azasi korban. Kalau Jepang bisa, kenapa Indonesia tidak? Lantas apa kendalanya mengeluarkan “political will” yang lebih bermakna bagi korban lumpur dan kepastian tanggungjawab korporasi modal jika terjadi bencana industri? Mestinya Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan tidak hanya menetapkan lumpur sebagai bencana nasional, serta menetapkan Porong dan sekitarnya sebagai daerah rawan bencana serta membentuk tim nasional. Tetapi saat Bapepam (Badan Pengawas Penanaman Modal) menolak terjadinya transaksi pengalihan kepemilikan Blok Brantas dari Lapindo Brantas Inc ke Freehold, seharusnya di-back up secara serius oleh badan publik di tingkat nasional. Tetapi sayangnya ini tidak dilakukan. Jelas ini peristiwa yang menguji dan menunjukkan kepekaan dan sensifitas pemerintah sangat rendah kepada para korban lumpur, sekaligus sense of environment yang rendah pula.
*) GSE Walhi Jatim Study di AP Program Pasca Sarajana UNEJ
OLEH: Lukman Hakim*
Tanggal 8 Maret 2007, Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama jajaran elit Lapindo Inc. secara sepihak memutuskan Relokasi Plus bagi warga Perumahan Tanggulangin Sejahtera I (TAS I) sebagai kompensasi atas terendamnya rumah warga akibat Semburan Lumpur Lapindo (SLL).
Disepakati pula, pihak Lapindo Inc. pada bulan Maret ini harus menempatkan minimal 20 persen atau Rp 500 miliar dari dana ganti rugi Rp 2,5 triliun di rekening bersama antara Lapindo dan Pemda Jatim. Dana tersebut harus siap cair tiap harinya tidak kurang dari Rp 10 miliar.
Keputusan sepihak tersebut merupakan kekeliruan terbesar yang dilakukan pemerintah pusat. Sebab ganti rugi tidak bisa dilihat hanya dari sisi ekonomi atau kehilangan rumah diganti dengan rumah baru. Di balik itu, ada ganti rugi dari aspek sosial, psikologi, dan kelangsungan hidup yang harus diperhatikan. Konsep rumah bagi masyarakat, sesungguhnya tidak sekadar fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi komunitas dan habitat bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang.
Kesepakatan tersebut disadari atau tidak merupakan bukti nyata dari keberpihakan pemerintah terhadap korporat transnasional, sebab Lapindo Inc. sesungguhnya tidak berdiri sendiri di bawah kendali Bakrie Group, akan tetapi 30 persen sahamnya adalah milik EMP Kangean Ltd. Yang merupakan gabungan dari dua perusahaan asing, yaitu Beyound Petrolium dan Amoco. Karena itu tak heran bila pada hari Senin 12 Maret 2007 lalu ribauan warga TAS I bersama dengan warga tiga desa lainnya melakukan blokade Jalan Raya Tol Porong di KM 150. (Kompas/13/03)
Pemberian kompensasi dan penandatanganan surat pernyataan memang telah dilakukan oleh warga korban di lima desa lain, tetapi penandatanganan tersebut belum mengatur secara tegas apa tanggungjawab mutlak yang harus ditanggung oleh “si pelaku dan penanggungjawab”. Karena itu kesepakatan tersebut tidak sanggup untuk menenangkan warga korban apalagi membuat mereka merasa puas akan keadilan yang dijanjikan.
Memberikan pengakuan, jaminan dan pemenuhan hak dasar korban dalam prinsip-prinsip fundamen hak azasi manusia (HAM) penting dijadikan paradigma solusi dan penanggulangan dalam kasus lumpur. Memandang korban dan calon-calon korban tanpa membeda-bedakan wilayahnya perlu dijadikan pemahaman bersama. Setidaknya bahwa alasan pemerintah terhadap Relokasi Plus yang diberlakukan bagi warga TAS I dikarenakan luapan lumpur yang menjarah tanah mereka terjadi pasca ledakan pipa gas milik Pertamina. Dengan begitu Lapindo Inc. tidak merasa bertanggungjawab.
Sesungguhnya hak masyarakat terkait dengan keadilan lingkungan secara eksplisit telah diatur dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 (pasal 28H;1). Begitu pula di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, seperti pada pasal 3. Sedangkan dalam skala internasional diakui dalam sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001, bahwa “setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.
Belajar Dari Kasus Minamata Dan Bhopal
Ada dua contoh kasus lingkungan yang pernah terjadi di dunia yang bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia . Kasus pencemaran merkuri di Minamata Jepang adalah contoh riil bencana industri. Setelah pelaku perusak lingkungan, yakni Chisso Corporation dituntut bersalah di pengadilan. Dua tahun kemudian pemerintah Jepang mengeluarkan aturan tentang pengakuan, penjaminan hak-hak korban dan tanggung jawab mutlak korporasi dalam bencana industri. Sampai saat ini korban Minamata masih mendapatkan hak dasarnya, salah satunya adalah pelayanan kesehatan dan ditanggungnya semua kerugian oleh Chisso Corporation.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada bencana industri Bhopal di India. Union Carbide Corporation (UCC), perusahaan bahan kimia dari Amerika Serikat, saat tabung gasnya bocor dan meledak pada 3 Desember 1984 menewaskan 3800 orang dan lebih dari 1000 orang cacat permanen. UCC selaku perusahaan yang seharusnya bertanggungjawab, mengalihkan modalnya “menjual” asset perusahaannya kepada Daw Chemicals. Setelah itu sang pemilik melarikan diri, sehingga pelaku lepas dari tuntutan dan tanggungjawab. Pemerintah India terkesan tidak serius mengungkap dan memenuhi keadilan korban. Akibatnya korban menderita dari saat kejadian sampai sekarang.
Dari dua kasus di atas setidaknya pemerintah RI mempunyai cara-cara luar biasa untuk menjadi wakil rakyatnya yang kini sedang terancam akibat semburan lumpur. Apalagi kini, lumpur Lapindo disadari atau tidak telah menjadi kasus internasional dan mengancam ratusan ribu jiwa warga Sidoarjo.
Ketika hak dasar korban tidak dijadikan aspek penanggulangan, maka komitment Indonesia sedang dipertaruhkan. Diratifikasinya UU No.11 tahun 2005 tentang hak ekosob oleh Indonesia, merupakan beban tersendiri bagi kontribusi penegakan HAM Indonesia kepada dunia. Jika akhirnya korporasi lepas dari tanggungjawab dan korban diabaikan hak dasarnya, maka negara tergolong ceroboh dan suka mempermalukan dirinya sendiri di muka internasional.
Menjangkau hak dasar korban lumpur bukan hal sulit bagi pemerintah, sebab hanya membutuhkan kepekaan dan kemauan politik yang bisa menjamin dan memenuhi hak azasi korban. Kalau Jepang bisa, kenapa Indonesia tidak? Lantas apa kendalanya mengeluarkan “political will” yang lebih bermakna bagi korban lumpur dan kepastian tanggungjawab korporasi modal jika terjadi bencana industri? Mestinya Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan tidak hanya menetapkan lumpur sebagai bencana nasional, serta menetapkan Porong dan sekitarnya sebagai daerah rawan bencana serta membentuk tim nasional. Tetapi saat Bapepam (Badan Pengawas Penanaman Modal) menolak terjadinya transaksi pengalihan kepemilikan Blok Brantas dari Lapindo Brantas Inc ke Freehold, seharusnya di-back up secara serius oleh badan publik di tingkat nasional. Tetapi sayangnya ini tidak dilakukan. Jelas ini peristiwa yang menguji dan menunjukkan kepekaan dan sensifitas pemerintah sangat rendah kepada para korban lumpur, sekaligus sense of environment yang rendah pula.
*) GSE Walhi Jatim Study di AP Program Pasca Sarajana UNEJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar