Senin

Doa Dan Pertobatan

REFLEKSI
Muh Kholid AS*

Pada 8 April 2007, berlangsung acara Doa Bersama bagi Keselamatan Bangsa di Masjid Istiqlal Jakarta. Acara yang diprakarsai Masyarakat Pers Peduli Negeri ini juga dihadiri antara lain Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketua DPR Agung Laksono, serta Ketua PWI Tarman Azam. Sejumlah pejabat tinggi juga hadir, seperti Menag Maftuh Basyuni, Menpora Adyaksa Dault, Seskab Sudi Silalahi, Menkes Siti Fadilah Supari, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, juga Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (Suara Karya, 09/04/2007). Acara doa dan dzikir bersama ini adalah lanjutan dari instruksi Presiden kepada masyarakat agar melakukan pertobatan massal guna menyikapi banyaknya bencana yang mendera bumi nusantara. Sebelumnya, pada 9 Maret 2007 di Masjid Istiqlal juga, Presiden bersama pejabat negara telah mengawalinya dengan melakukan zikir bersama yang dipimpin oleh KH A. Mustofa Bisri.
Acara pertobatan yang dikemas dalam doa dan dzikir bersama semacam ini juga merambah ke berbagai daerah. Sebab, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga telah menginstruksikan seluruh kepala kantor wilayah Departemen Agama untuk melakukan dzikir nasional setiap hari Jum’at. Instruksi itu disampaikan usai menutup Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Departemen Agama 2007 (11/3/07). Tidak hanya menyerukan kepada umat Muslim saja, dia juga mengajak umat non-Muslim turut berdoa bagi keselamatan bangsa dengan caranya masing-masing.
Dalam perspektif teologis, adalah tepat jika semua pejabat berkumpul bersama rakyatnya memanjatkan doa memohon penerangan dari Yang Maha Kuasa. Sebagai bangsa yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah seharusnya terdapat upaya untuk menggembalikan substansi agama sebagai ketulusan hati pemeluknya. Sebab, ketulusan hati inilah yang menjadi daya gerak dalam perilaku, sehingga agama seharusnya memang tidak boleh ditinggal dalam berbagai transaksi kehidupan sehari-hari.
Mungkin dikarenakan hilangnya ‘ketulusan hati’ dalam beragama inilah, maka Tuhan mengirimkan pesan-pesan-Nya kepada manusia. Berbeda dengan zaman lalu, pembawa pesan adalah Nabi atau Rasul, maka pembawa risalah Tuhan kontemporer adalah air, gunung, pepohonan, angin, hujan, serta lain sebagainya. Berbagai makhluk inilah yang tidak henti-hentinya menyapa manusia, agar mereka membuka mata, telinga, serta indra lainnya untuk kembali meneguhkan jati dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi (Khalifah fi al-Ard).
Berbagai bencana dan musibah yang silih berganti merupakan ‘teguran’ dari Tuhan bahwa banyak manusia yang sudah dikalahkan oleh keserakahannya sendiri dan tidak henti-hentinya mengeksploitasi alam. Padahal alam sudah eksis terlebih dahulu sebelum adanya manusia, sehingga alam sebenarnya adalah saudara tua manusia yang seharusnya dihormati.
Sama seperti manusia, alampun mempunyai keterbatasan, baik memberi, menerima, bersahabat, menyapa, maupun kesabaran. Dalam faktanya, tidak sedikit bencana itu justru dikarenakan oportunitas manusia dalam memandang dan mengelola alam. Selain rendahnya kesadaran manusia dalam menjaga kebersihan lingkungan, mereka juga beringas terhadap ‘partnernya’ itu. Perusakan lingkungan, pembakaran hutan, penebangan pohon secara liar, dan eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran dianggapnya sebagai perilaku yang absah.
Dengan demikian, pertobatan nasional yang digelorakan akhir-akhir ini harus dimaknai secara aktif, bukan malah menebar dan menyemaikan sikap hidup yang fatalis. Terjadinya berbagai bencana dan musibah di negeri ini bukanlah semata-mata karena takdir Tuhan, melainkan akibat tidak bertanggungjawabnya manusia dalam menggunakan tangannya. Datangnya berbagai bencana alam lebih banyak diakibatkan oleh manajemen yang tidak menghargai lingkungan. Sudah menjadi hukum alam (sunnatullah), kelalaian manusia inilah yang mengakibatkan bencana datang silih berganti.
Tidak sedikit manusia telah kehilangan dimensi esoteric yang berupa kedekatan korespondensif dengan alam, sehingga alam diperlakukan secara tidak wajar. Berbagai bencana dan musibah ini sudah tentu tidak cukup hanya dihadapi dan diselesaikan melalui doa.
Lebih dari sekadar berdoa, pihak-pihak yang memegang amanat kepemimpinan di negeri ini harus berusaha untuk memperbaiki diri dalam melindungi warga negara dari bencana dan musibah. Dalam konteks inilah, pemerintah harus bertobat dalam mengeluarkan dan menerapkan kebijakannya, dengan menempatkan keselamatan publik sebagai prioritas utama. Di saat segalanya sedang berubah begitu cepat, negarapun dituntut untuk mengubah kulturnya menuju arah yang lebih baik. Apalagi perkembangan teknologi yang begitu cepat berubah, sudah tentu meniscayakan adanya perubahan perilaku yang menuntut kelebihan dalam kedisiplinan, ketekunan, kecermatan, serta lain sebagainya.
Negara juga harus benar-benar kapok dalam mengeksploitasi kekayaan alam. Kecerobohan memberikan hak ‘penggundulan’ hutan kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab hanya karena mereka mau membayar ‘komisi’, harus mulai diakhiri. Kemudahan mengeluarkan dan mengalihkan sertifikat tanah resapan air menjadi ‘hutan beton’, juga harus dinistakan. Sebab, jika hutan gundul, resapan sudah tidak ada, maka banjir, bandang, longsor, dan aneka bencana sudah siap menerkam.
Berdasarkan pada dosa ‘massal’ inilah, maka hakikat pertobatan nasional yang harus dilakukan adalah iktikad mengevaluasi sikap persepsi, dan aktualisasi kebijakan-kebijakan. Tobat ini harus diikuti dengan mengusahakan agar roh spiritualitas sebagai ketulusan hati dapat diimplementasikan dalam pengambilan keputusan. Sebab, tobat memang bukanlah sekadar kemasan simbolik yang diformalkan, tetapi bagaimana iktikad memperbaiki diri untuk berubah.
*) Peneliti di Institute for Religion and Sosial Studies (IRSS) Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung