OLEH: Lukman Hakim*
Semburun Lumpur Lapindo yang suhunya mencapai 600C disertai bau busuk gas hidrosulfida (H2S) serta amoniak (NH3)yang terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006, sudah berjalan selama sepuluh bulan. Tidak kurang dari 126.000 M3 lumpur menguap setiap harinya menggenangi sekitar 400 hektar lahan di lima desa tiga kecamatan Porong, Sidoarjo. Uniknya tragedi yang menghancurkan masa depan ribuan warga Sidoarjo dan memusingkan hampir seluruh warga Jawa Timur ternyata tidak sanggup menghadirkan rasa peduli mahasiswa di kampus-kampus Jawa Timur.
Kepedulian tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Kepedulian adalah refleksi jiwa dan panggilan hati atas apa yang menimpa sesuatu di luar diri kita. Untuk memperjuangkan nasib dan masa depan dirinya, warga korban terpaksa melakukannya sendiri. Mereka terus melakukan aksi dalam bentuk turun ke jalan, boikot jalan raya, lobi, dll. Sementara suara kritis dan kepedulian mahasiswa di Jawa Timur nyaris tidak pernah terdengar. Padahal ada ratusan kampus telah berdiri di 33 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Berdasarkan data Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Propinsi Jawa Timur ada 289 kampus menempati urutan ketiga jumlah kampus terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat dengan jumlah 440 kampus dan DKI Jakarta dengan jumlah 320 kampus.
Jumlah itu relatif lebih banyak bila di bandingkan dengan propinsi lain seperti Jawa Tengah yang hanya dihuni oleh 232 kampus, Jogjakarta 117 kampus, Aceh 245 kampus, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung dan Bangka Balitung 184 kampus, Bali, NTT dan NTB 99 kampus, seluruh Sulawesi 276 kampus, Sumatra Barat, Riu, Kepulauan Riau, dan Jambi 185 kampus, seluruh Kalimantan 141 kampus, dan Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Irian Jaya Barat hanya berjumlah 71 kampus.
Anehnya dengan jumlah kampus terbesar ketiga, jutaan mahasiswa yang ada di Jawa Timur tidak satupun yang tergerak untuk membantu warga Sidoarjo yang kini sedang berperang melawan korporit transnasional. Padahal nyata-nyata Lapindo Inc. tidak berdiri sendiri sebagai perusahaan yang berada dibawah kendali Bakrie Group semata, melainkan 30 persen sahamnya juga dimiliki oleh EMP Kangean Ltd. yang merupakan gabungan dari dua perusahaan asing, Amoco dan Beyond Petrolium.
Matinya Gerakan Mahasiswa
Ada banyak elemen mahasiswa seperti LMND, FMN, HMI, PMII, IMM, KAMMI, PMKRI, GMKI, GMNI, dll yang sebelumnya acap kali meneriakkan anti kapitalisme, eksploitasi, dan penindasan. Korban SLL tidak lain adalah korban kapitalisme, eksploitasi, dan penindasan. SLL telah menghancurkan masa depan ribuan anak Sidoarjo yang tidak berdosa. Mereka bagian dari anak bangsa, saudara kita.
Elemen-elemen mahasiswa sepertinya sangat ‘bergantung’ pada isu media, Padahal mahasiswa memiliki kekuatan dan pressur yang sangat diharapkan warga korban Lapindo untuk meloloskan tuntutan cash and carry yang diteriakkan oleh warga perumahan TAS I bersama warga tiga desa lainnya.
Ganti rugi tak bisa dilihat hanya dari sisi ekonomi atau kehilangan rumah diganti dengan rumah baru. Di balik itu, ada ganti rugi dari aspek sosial, psikologi, dan kelangsungan hidup yang harus diperhatikan. Konsep rumah bagi masyarakat, menurut sosiolog dan dosen Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, tidak sekadar fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi komunitas dan habitat bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang (Kompas,11/3/07). Sayang pernyataan tersebut tidak sanggup menggugah semangat mahasiswa Unair untuk merefleksikan kepedulian mereka terhadap korban Lapindo.
Bila mahasiswa menjauhkan diri dari sesuatu yang paling dekat dengan rakyat atau tetap terjebak dalam kubangan ketidakpedulian terhadap nasib rakyat, maka dalam jangka panjang rakyat tidak lagi akan percaya terhadap eksistensi gerakan mahasiswa yang dulunya mereka harapkan.
Mengapa gerakan mahasiswa kerap tidak bersinggungan dengan kepentingan rakyat. Pertama, gerakan mahasiswa tidak sanggup untuk keluar dari belenggu kepentingan ideologi (ideology interest) yang kerapkali mengedepankan langkah-langkah politik dibanding persoalan-persoalan kerakyatan. Sejarah gerakan mahasiswa mulai dari angkatan 66, 74, 78, 89, 98 pada jamannya tidak lepas dari sikap menyokong kepentingan politik tertentu. Bahkan, ada elemen gerakan mahasiswa yang terang-terangan berpihak pada partai suatu politik. Hal inilah yang menyulitkan elemen-elemen mahasiswa untuk dapat bersatu dan berjuang atas nama, demi, dan untuk rakyat.
Kedua, kentalnya kecenderungan terhadap politik mengakibatkan gerakan mahasiswa lebih asyik menyikapi isu-isu politik tingkat nasional, dibanding dengan isu-isu kerakyatan yang ada disekitarnya. Berbagai diskusi yang digelar elemen-elemen tadi adalah untuk meneguhkan kehidupan mereka di menara gading organisasi. Apalagi struktur organisasi yang dikembangkan elemen-elemen tadi masih cukup kaku untuk berani menolak instruksi senior mereka di tingkat pusat.
Ketiga, tidak adanya keseriusan dalam menyikapi suatu persoalan kerapkali menjedikan elemen-elemen tadi hanya bersandar pada data yang dipublikasikan di media. Padahal data-data pers sesungguhnya adalah data permukaan yang kemudian harus diolah dan dianalisa secara serius. Anehnya spesialisasi data di hampir tiap organisasi hanya dititipkan pada departemen Litbang (Penelitian dan Pengembangan) tanpa mempunyai kesanggupan untuk menghadirkan suatu struktur organisasi (semacam Departemen Data dan Informasi) yaitu suatu departemen yang secara serius melakukan hunting data dan mengolahnya untuk kemudian disajikan bagi organisasi.
Keempat, pilihan antara teori dan praktek yang sejak lama menjadi perdebatan sengit sesungguhnya telah berakhir ketika pada tahun 1955, Mundlle berpidato di depan Kongres Mahasiswa Sosialis Internasional tentang ‘Penyatuan Teori dan Praktek’. Anehnya hal ini tetap dipermanenkan sebagai sesuatu yang seoalah tidak dapat diubah. Akhirnya gerakan mahasiswa selalu terpolarisasi menjadi dua kelompok. Yaitu mereka yang mengamini praktek sebagai sesuatu yang harus dikedepankan dan diskusi serta pengayaan data adalah suatu anomali. Sementara kelompok yang terakhir kerapkali mencibir kelompok pertama dan menganggap dirinya sebagai mahasiswa yang sebenarnya yang penuh dengan wacana, retorika, dan teori, tanpa mempunyai keberanian untuk mewujudkannya.
Dalam konteks tragedi SLL semestinya keempat point sebagaimana yang penulis sebutkan dapat dituntaskan. Apalagi kini, tenaga, pikiran, dan keberanian gerakan mahasiswa untuk turun jalan sangat dibutuhkan oleh warga korban semburan Lumpur Lapindo.
*) Mahasiswa Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Jember.
Semburun Lumpur Lapindo yang suhunya mencapai 600C disertai bau busuk gas hidrosulfida (H2S) serta amoniak (NH3)yang terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006, sudah berjalan selama sepuluh bulan. Tidak kurang dari 126.000 M3 lumpur menguap setiap harinya menggenangi sekitar 400 hektar lahan di lima desa tiga kecamatan Porong, Sidoarjo. Uniknya tragedi yang menghancurkan masa depan ribuan warga Sidoarjo dan memusingkan hampir seluruh warga Jawa Timur ternyata tidak sanggup menghadirkan rasa peduli mahasiswa di kampus-kampus Jawa Timur.
Kepedulian tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Kepedulian adalah refleksi jiwa dan panggilan hati atas apa yang menimpa sesuatu di luar diri kita. Untuk memperjuangkan nasib dan masa depan dirinya, warga korban terpaksa melakukannya sendiri. Mereka terus melakukan aksi dalam bentuk turun ke jalan, boikot jalan raya, lobi, dll. Sementara suara kritis dan kepedulian mahasiswa di Jawa Timur nyaris tidak pernah terdengar. Padahal ada ratusan kampus telah berdiri di 33 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Berdasarkan data Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Propinsi Jawa Timur ada 289 kampus menempati urutan ketiga jumlah kampus terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat dengan jumlah 440 kampus dan DKI Jakarta dengan jumlah 320 kampus.
Jumlah itu relatif lebih banyak bila di bandingkan dengan propinsi lain seperti Jawa Tengah yang hanya dihuni oleh 232 kampus, Jogjakarta 117 kampus, Aceh 245 kampus, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung dan Bangka Balitung 184 kampus, Bali, NTT dan NTB 99 kampus, seluruh Sulawesi 276 kampus, Sumatra Barat, Riu, Kepulauan Riau, dan Jambi 185 kampus, seluruh Kalimantan 141 kampus, dan Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Irian Jaya Barat hanya berjumlah 71 kampus.
Anehnya dengan jumlah kampus terbesar ketiga, jutaan mahasiswa yang ada di Jawa Timur tidak satupun yang tergerak untuk membantu warga Sidoarjo yang kini sedang berperang melawan korporit transnasional. Padahal nyata-nyata Lapindo Inc. tidak berdiri sendiri sebagai perusahaan yang berada dibawah kendali Bakrie Group semata, melainkan 30 persen sahamnya juga dimiliki oleh EMP Kangean Ltd. yang merupakan gabungan dari dua perusahaan asing, Amoco dan Beyond Petrolium.
Matinya Gerakan Mahasiswa
Ada banyak elemen mahasiswa seperti LMND, FMN, HMI, PMII, IMM, KAMMI, PMKRI, GMKI, GMNI, dll yang sebelumnya acap kali meneriakkan anti kapitalisme, eksploitasi, dan penindasan. Korban SLL tidak lain adalah korban kapitalisme, eksploitasi, dan penindasan. SLL telah menghancurkan masa depan ribuan anak Sidoarjo yang tidak berdosa. Mereka bagian dari anak bangsa, saudara kita.
Elemen-elemen mahasiswa sepertinya sangat ‘bergantung’ pada isu media, Padahal mahasiswa memiliki kekuatan dan pressur yang sangat diharapkan warga korban Lapindo untuk meloloskan tuntutan cash and carry yang diteriakkan oleh warga perumahan TAS I bersama warga tiga desa lainnya.
Ganti rugi tak bisa dilihat hanya dari sisi ekonomi atau kehilangan rumah diganti dengan rumah baru. Di balik itu, ada ganti rugi dari aspek sosial, psikologi, dan kelangsungan hidup yang harus diperhatikan. Konsep rumah bagi masyarakat, menurut sosiolog dan dosen Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, tidak sekadar fungsi ekonomi, tetapi juga fungsi komunitas dan habitat bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang (Kompas,11/3/07). Sayang pernyataan tersebut tidak sanggup menggugah semangat mahasiswa Unair untuk merefleksikan kepedulian mereka terhadap korban Lapindo.
Bila mahasiswa menjauhkan diri dari sesuatu yang paling dekat dengan rakyat atau tetap terjebak dalam kubangan ketidakpedulian terhadap nasib rakyat, maka dalam jangka panjang rakyat tidak lagi akan percaya terhadap eksistensi gerakan mahasiswa yang dulunya mereka harapkan.
Mengapa gerakan mahasiswa kerap tidak bersinggungan dengan kepentingan rakyat. Pertama, gerakan mahasiswa tidak sanggup untuk keluar dari belenggu kepentingan ideologi (ideology interest) yang kerapkali mengedepankan langkah-langkah politik dibanding persoalan-persoalan kerakyatan. Sejarah gerakan mahasiswa mulai dari angkatan 66, 74, 78, 89, 98 pada jamannya tidak lepas dari sikap menyokong kepentingan politik tertentu. Bahkan, ada elemen gerakan mahasiswa yang terang-terangan berpihak pada partai suatu politik. Hal inilah yang menyulitkan elemen-elemen mahasiswa untuk dapat bersatu dan berjuang atas nama, demi, dan untuk rakyat.
Kedua, kentalnya kecenderungan terhadap politik mengakibatkan gerakan mahasiswa lebih asyik menyikapi isu-isu politik tingkat nasional, dibanding dengan isu-isu kerakyatan yang ada disekitarnya. Berbagai diskusi yang digelar elemen-elemen tadi adalah untuk meneguhkan kehidupan mereka di menara gading organisasi. Apalagi struktur organisasi yang dikembangkan elemen-elemen tadi masih cukup kaku untuk berani menolak instruksi senior mereka di tingkat pusat.
Ketiga, tidak adanya keseriusan dalam menyikapi suatu persoalan kerapkali menjedikan elemen-elemen tadi hanya bersandar pada data yang dipublikasikan di media. Padahal data-data pers sesungguhnya adalah data permukaan yang kemudian harus diolah dan dianalisa secara serius. Anehnya spesialisasi data di hampir tiap organisasi hanya dititipkan pada departemen Litbang (Penelitian dan Pengembangan) tanpa mempunyai kesanggupan untuk menghadirkan suatu struktur organisasi (semacam Departemen Data dan Informasi) yaitu suatu departemen yang secara serius melakukan hunting data dan mengolahnya untuk kemudian disajikan bagi organisasi.
Keempat, pilihan antara teori dan praktek yang sejak lama menjadi perdebatan sengit sesungguhnya telah berakhir ketika pada tahun 1955, Mundlle berpidato di depan Kongres Mahasiswa Sosialis Internasional tentang ‘Penyatuan Teori dan Praktek’. Anehnya hal ini tetap dipermanenkan sebagai sesuatu yang seoalah tidak dapat diubah. Akhirnya gerakan mahasiswa selalu terpolarisasi menjadi dua kelompok. Yaitu mereka yang mengamini praktek sebagai sesuatu yang harus dikedepankan dan diskusi serta pengayaan data adalah suatu anomali. Sementara kelompok yang terakhir kerapkali mencibir kelompok pertama dan menganggap dirinya sebagai mahasiswa yang sebenarnya yang penuh dengan wacana, retorika, dan teori, tanpa mempunyai keberanian untuk mewujudkannya.
Dalam konteks tragedi SLL semestinya keempat point sebagaimana yang penulis sebutkan dapat dituntaskan. Apalagi kini, tenaga, pikiran, dan keberanian gerakan mahasiswa untuk turun jalan sangat dibutuhkan oleh warga korban semburan Lumpur Lapindo.
*) Mahasiswa Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar