Tak Populer Tapi Diminati Mahasiswa Luar
OLEH : AGUS SALAM
Ada kecendrungan berkurangnya minat lulusan SMU untuk melanjutkan kuliah ke jurusan sastra Jawa. Kebanyakan para siswa merasa lebih enjoy dengan program studi yang dapat mendukung dalam mendapatkan pekerjaan setelah lulus nanti. ‘’Paling-paling jadi guru atau seniman,’’ kata Bambang asal Semarang yang tahun ini akan melepaskan seragam abu-abunya dan memilih jurusan komputer seperti yang diinginkannya.
Inilah sekelumit, persepsi generasi muda tentang kuliah di sastra Jawa yang dianggap sudah tidak populer lagi. Kecendrungan penurunan minat ini, menurut budayawan, Putu Wijaya karena di kalangan kaum muda Jawa kini telah terjadi dekadensi nilai moral, etika dan budi pekerti yang sangat akut. Masyarakat Jawa sendiri kini justru menganggap nilai-nilai budaya Jawa sudah ‘tak layak pakai’.
‘’Budaya Jawa, sebagai ladang persemaian nilai-nilai timur, kini mulai mengering. Bahkan, ekspresi-ekspresi seni pun kini mulai sulit tumbuh di wilayah komunitas budaya Jawa. Seni-seni Jawa, baik seni rakyat maupun seni keraton, kini makin terpinggirkan oleh berbagai bentuk seni modern yang lebih mampu menarik minat publik,’’ katanya.
Padahal seperti dikatakan ketua koordinator program studi sastra Jawa Universitas Indonesia , Darmoko, M.Hum, lulusan sastra Jawa tidak sempit dalam menata karier, ada juga yang menjadi peneliti dan pekerjaan lainnya. ‘’Memang tujuan dari pendidikan sastra Jawa ini agar para lulusan memperoleh pengetahuan keahlian untuk menjadi peneliti bahasa, sastra dan budaya Jawa. Dan mampu memberi kemahiran agar para lulusan dapat mengamalkan ilmunya di bidang pendidikan, penelitian , media massa, serta dalam berbagi pembinaan pengembangan bahasa dan kesusastraan Jawa seperti perkamusan, dokumentasi, penyusanan buku pelajaran, penerjemahan, dan sebagainya serta tak menutup kemungkinan bekerja pada bidang-bidang lain,’’ katanya.
Menurut Darmoko, Program Studi Sastra Jawa cukup bagus. Kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi di luar negeri juga sudah terjalin dengan baik. Dan banyak juga mahasiswa asing yang belajar sastra Jawa. Mayoritas mahasiswa berasal dari Australia, Jepang, dan Korea. Promosi ke luar negeri biasanya dilakukan bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Budaya.
‘’Mereka umumnya tertarik untuk mengetahui lebih detail tentang budaya Jawa. Jurusan sastra Jawa mempunyai kompetensi untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memahami keragaman budaya.Tiap mahasiswa sekaligus diharapkan menguasai bahasa, sastra, dan budaya Jawa,’’ katanya.
Namun Widodo Basuki, anggota perkumpulan pengarang cerita bahasa Jawa yang tinggal di Surabaya, menilai optimis sastra Jawa akan terus berkembang. Hal ini terlihat dari banyaknya minat dari kaum muda, jika ada lomba yang berhubungan dengan sastra Jawa. Mulai tembang, mengarang maupun membaca puisi bahasa Jawa yang dikenal dengan nama geguritan.
“Siapa bilang kalau anak muda sekarang tidak berminat dengan sastra Jawa? Itu tidak benar. Setiap kali Depdiknas, sekolah, universitas atau sanggar-sanggar yang bernuansa Jawa menyelenggarakan lomba, peminatnya pasti banyak. Mulai dari lomba tembang atau menyanyikan lagu, mengarang sampai puisi menggunakan bahasa Jawa atau geguritan. Ini menunjukkan kalau sastra Jawa tidak akan musnah,” kata pengarang sekaligus wartawan majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya ini.
Indikasi tidak akan musnahnya sastra Jawa, selain banyaknya peserta lomba karya sastra Jawa, ada rubrik khusus di majalah di mana ia bekerja banyak diminati pelajar. Rubrik itu memang dikhususnya untuk pelajar SD-SMA yang ingin menuangkan ide sastra Jawanya. Pengirim rubriknya cukup banyak, tidak hanya dari Jawa Timur, tapi juga Jawa Tengah.
Menurut penerima beberapa penghargaan yang berhubungan dengan sastra daerah ini, memang sulit menjadikan bahasa Jawa menjadi bahasa gaul anak muda. Hal ini pernah dicoba, dengan menerbitkan tabloid untuk anak muda yang berbahasa Jawa. Dan kenyataannya memang tidak bisa berkembang. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak berkembangnya tabloid jenis ini. Salah satu di antaranya banyaknya tata bahasa yang harus digunakan dalam bahasa Jawa. Lain dengan bahasa Indonesia atau bahasa gaul lainnya.
“Untuk majalah bahasa Jawa yang terbit sebelum Indonesia merdeka dan masih hidup sampai sekarang, karena bahasa Jawa yang digunakan bahasa Jawa anyar. Yaitu tata bahasa yang digunakan tidak seperti aslinya. Sudah banyak yang diganti, meskipun tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Majalah berbahasa daerah Jawa yang telah menasional dan masih terbit hingga sekarang di antaranya Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Keduanya saat ini terbit di Surabaya,” ungkap Widodo yang juga pemain teater ini.
OLEH : AGUS SALAM
Ada kecendrungan berkurangnya minat lulusan SMU untuk melanjutkan kuliah ke jurusan sastra Jawa. Kebanyakan para siswa merasa lebih enjoy dengan program studi yang dapat mendukung dalam mendapatkan pekerjaan setelah lulus nanti. ‘’Paling-paling jadi guru atau seniman,’’ kata Bambang asal Semarang yang tahun ini akan melepaskan seragam abu-abunya dan memilih jurusan komputer seperti yang diinginkannya.
Inilah sekelumit, persepsi generasi muda tentang kuliah di sastra Jawa yang dianggap sudah tidak populer lagi. Kecendrungan penurunan minat ini, menurut budayawan, Putu Wijaya karena di kalangan kaum muda Jawa kini telah terjadi dekadensi nilai moral, etika dan budi pekerti yang sangat akut. Masyarakat Jawa sendiri kini justru menganggap nilai-nilai budaya Jawa sudah ‘tak layak pakai’.
‘’Budaya Jawa, sebagai ladang persemaian nilai-nilai timur, kini mulai mengering. Bahkan, ekspresi-ekspresi seni pun kini mulai sulit tumbuh di wilayah komunitas budaya Jawa. Seni-seni Jawa, baik seni rakyat maupun seni keraton, kini makin terpinggirkan oleh berbagai bentuk seni modern yang lebih mampu menarik minat publik,’’ katanya.
Padahal seperti dikatakan ketua koordinator program studi sastra Jawa Universitas Indonesia , Darmoko, M.Hum, lulusan sastra Jawa tidak sempit dalam menata karier, ada juga yang menjadi peneliti dan pekerjaan lainnya. ‘’Memang tujuan dari pendidikan sastra Jawa ini agar para lulusan memperoleh pengetahuan keahlian untuk menjadi peneliti bahasa, sastra dan budaya Jawa. Dan mampu memberi kemahiran agar para lulusan dapat mengamalkan ilmunya di bidang pendidikan, penelitian , media massa, serta dalam berbagi pembinaan pengembangan bahasa dan kesusastraan Jawa seperti perkamusan, dokumentasi, penyusanan buku pelajaran, penerjemahan, dan sebagainya serta tak menutup kemungkinan bekerja pada bidang-bidang lain,’’ katanya.
Menurut Darmoko, Program Studi Sastra Jawa cukup bagus. Kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi di luar negeri juga sudah terjalin dengan baik. Dan banyak juga mahasiswa asing yang belajar sastra Jawa. Mayoritas mahasiswa berasal dari Australia, Jepang, dan Korea. Promosi ke luar negeri biasanya dilakukan bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Budaya.
‘’Mereka umumnya tertarik untuk mengetahui lebih detail tentang budaya Jawa. Jurusan sastra Jawa mempunyai kompetensi untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memahami keragaman budaya.Tiap mahasiswa sekaligus diharapkan menguasai bahasa, sastra, dan budaya Jawa,’’ katanya.
Namun Widodo Basuki, anggota perkumpulan pengarang cerita bahasa Jawa yang tinggal di Surabaya, menilai optimis sastra Jawa akan terus berkembang. Hal ini terlihat dari banyaknya minat dari kaum muda, jika ada lomba yang berhubungan dengan sastra Jawa. Mulai tembang, mengarang maupun membaca puisi bahasa Jawa yang dikenal dengan nama geguritan.
“Siapa bilang kalau anak muda sekarang tidak berminat dengan sastra Jawa? Itu tidak benar. Setiap kali Depdiknas, sekolah, universitas atau sanggar-sanggar yang bernuansa Jawa menyelenggarakan lomba, peminatnya pasti banyak. Mulai dari lomba tembang atau menyanyikan lagu, mengarang sampai puisi menggunakan bahasa Jawa atau geguritan. Ini menunjukkan kalau sastra Jawa tidak akan musnah,” kata pengarang sekaligus wartawan majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya ini.
Indikasi tidak akan musnahnya sastra Jawa, selain banyaknya peserta lomba karya sastra Jawa, ada rubrik khusus di majalah di mana ia bekerja banyak diminati pelajar. Rubrik itu memang dikhususnya untuk pelajar SD-SMA yang ingin menuangkan ide sastra Jawanya. Pengirim rubriknya cukup banyak, tidak hanya dari Jawa Timur, tapi juga Jawa Tengah.
Menurut penerima beberapa penghargaan yang berhubungan dengan sastra daerah ini, memang sulit menjadikan bahasa Jawa menjadi bahasa gaul anak muda. Hal ini pernah dicoba, dengan menerbitkan tabloid untuk anak muda yang berbahasa Jawa. Dan kenyataannya memang tidak bisa berkembang. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak berkembangnya tabloid jenis ini. Salah satu di antaranya banyaknya tata bahasa yang harus digunakan dalam bahasa Jawa. Lain dengan bahasa Indonesia atau bahasa gaul lainnya.
“Untuk majalah bahasa Jawa yang terbit sebelum Indonesia merdeka dan masih hidup sampai sekarang, karena bahasa Jawa yang digunakan bahasa Jawa anyar. Yaitu tata bahasa yang digunakan tidak seperti aslinya. Sudah banyak yang diganti, meskipun tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Majalah berbahasa daerah Jawa yang telah menasional dan masih terbit hingga sekarang di antaranya Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Keduanya saat ini terbit di Surabaya,” ungkap Widodo yang juga pemain teater ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar