PENGANTAR REDAKSI: Kini berbagai warisan leluhur bangsa ini mulai dicaplok dan dipatenkan Malaysia yang terhitung sebagai negeri serumpun. Karena itu langkah memproteksi khasanah budaya leluhur ditempuh dengan menjaga kitab-kitab tua dan catatan-catatan kuno yang tersimpan di lontar. Sayangnya, minat generasi muda mempelajari kekayaan pengetahuan masa lalu di lontar amat rendah. Padahal tata budaya, pola pikir dan pengembangan sastra masih berpijak pada pandangan-pandangan leluhur yang sebagian terekam dalam lontar. Ini suatu tantangan bagi generasi muda untuk tidak melupakan warisan intelektual nenek moyang kita.
Oleh: Roro Sawita
Saat kertas belum ditemukan, masyarakat kuno menggunakan daun lontar untuk mendokumentasikan pengetahuan mereka. Namun kegelisahan besar yang dihadapi bangsa ini adalah menurunnya minat kaum muda terhadap sastra yang terkandung dalam aneka lontar. Sebaliknya, ada kecenderungan khasanah pengetahuan leluhur diwariskan secara lisan atau tutur. Padahal warisan lisan akan mengalami pembiasan di tingkat narasumber. Apa yang diceritakan berapa puluh tahun yang lalu bisa berubah pada tahun-tahun berikutnya.
Menurut Drs. I Gede Nala Antara, M.Hum, ketua jurusan sastra daerah Universitas Udayana, sebuah lontar masih relevan dalam setiap penulisan karya sastra. Di dalamnya terkandung pemaknaan hidup, etika, pengetahuan umum dan filsafat sebagai pedoman bagi penulisan karya-karya masa kini. Perbedaannya terletak pada seniman yang mengapresiasikan sesuatu, tetapi tidak meninggalkan cara berpikir yang ditularkan secara turun temurun. Penulisannyapun tidak pernah berubah selalu mengikuti faedah dari kiri ke kanan dan terus menerus diapresiasikan. Budaya lontar tidak akan pernah hilang terutama di Bali karena lontar sampai saat ini masih terus ditulis, disalin dan dibaca oleh kalangan masyarakat Hindu bila mengadakan upacara tertentu. “Sepanjang agama Hindu masih ada di Bali selama itulah budaya lontar akan tetap bartahan,” tegas Nala.
Karya lontar terdiri dari lontar ketuhanan yang berisi puja-pujaan, yadnya, wariga, etika dan tatwa. Lontar pengetahuan berisi usada (kesehatan), astrologi, sejarah (babad) dan asta kosala kosali (arsitektur). Lontar kesenian yaitu kakawin dan parwa. Khusus lontar ketuhanan masyarakat Bali banyak yang menyucikan hingga tidak sembarang orang yang dapat membacanya. Lontar pengetahuan hingga kini terus digali sebagai acuan teknologi terutama bidang kesehatan tradisional, sementara lontar yang masih dibuat dan diperjual-belikan yaitu lontar kesenian yang berisi karya sastra dan puisi. Jenis lontar ini banyak kita temui di Desa Tenganan, Karangasem. Bahasa yang digunakan berupa sansekerta, Jawa kuno dan Bali bertuliskan aksara Jawa dan Bali.
Lontar mulai dikenal masyarakat setelah munculnya aksara dewa nagari. Sebelumnya tulisan dibuat pada sebuah batu berupa prasasti berhurufkan palawa. Persebarannya meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Sulawesi Selatan. Sayangnya, karya lontar lama bersifat anonim sehingga tidak dapat diketahui tahun pembuatannya. Adhi Kirtiningrat, S.S. pengurus perpustakaan lontar fakultas Sastra Unud mengungkapkan, dapat diyakini bahwa kehadiran lontar di Bali dimulai sejak ekspedisi Majapahit tahun 1400 M. Lontar-lontar tersebut tersimpan dan terpelihara di Bali dalam jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai tempat. Tempat-tempat tersebut seperti misalnya Gedung Kirtya Singaraja, perpustakaan fakultas sastra Unud Denpasar, perpustakaan Universitas Hindu Dharma Denpasar, perpustakaan Universitas Dwijendra Denpasar, Kantor Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali dan lain sebagainya. Di samping itu tidak sedikit juga lontar-lontar itu tersimpan di rumah perorangan yang diwarisi secara turun-temurun, sebagai perpustakaan pribadi.
Oleh: Roro Sawita
Saat kertas belum ditemukan, masyarakat kuno menggunakan daun lontar untuk mendokumentasikan pengetahuan mereka. Namun kegelisahan besar yang dihadapi bangsa ini adalah menurunnya minat kaum muda terhadap sastra yang terkandung dalam aneka lontar. Sebaliknya, ada kecenderungan khasanah pengetahuan leluhur diwariskan secara lisan atau tutur. Padahal warisan lisan akan mengalami pembiasan di tingkat narasumber. Apa yang diceritakan berapa puluh tahun yang lalu bisa berubah pada tahun-tahun berikutnya.
Menurut Drs. I Gede Nala Antara, M.Hum, ketua jurusan sastra daerah Universitas Udayana, sebuah lontar masih relevan dalam setiap penulisan karya sastra. Di dalamnya terkandung pemaknaan hidup, etika, pengetahuan umum dan filsafat sebagai pedoman bagi penulisan karya-karya masa kini. Perbedaannya terletak pada seniman yang mengapresiasikan sesuatu, tetapi tidak meninggalkan cara berpikir yang ditularkan secara turun temurun. Penulisannyapun tidak pernah berubah selalu mengikuti faedah dari kiri ke kanan dan terus menerus diapresiasikan. Budaya lontar tidak akan pernah hilang terutama di Bali karena lontar sampai saat ini masih terus ditulis, disalin dan dibaca oleh kalangan masyarakat Hindu bila mengadakan upacara tertentu. “Sepanjang agama Hindu masih ada di Bali selama itulah budaya lontar akan tetap bartahan,” tegas Nala.
Karya lontar terdiri dari lontar ketuhanan yang berisi puja-pujaan, yadnya, wariga, etika dan tatwa. Lontar pengetahuan berisi usada (kesehatan), astrologi, sejarah (babad) dan asta kosala kosali (arsitektur). Lontar kesenian yaitu kakawin dan parwa. Khusus lontar ketuhanan masyarakat Bali banyak yang menyucikan hingga tidak sembarang orang yang dapat membacanya. Lontar pengetahuan hingga kini terus digali sebagai acuan teknologi terutama bidang kesehatan tradisional, sementara lontar yang masih dibuat dan diperjual-belikan yaitu lontar kesenian yang berisi karya sastra dan puisi. Jenis lontar ini banyak kita temui di Desa Tenganan, Karangasem. Bahasa yang digunakan berupa sansekerta, Jawa kuno dan Bali bertuliskan aksara Jawa dan Bali.
Lontar mulai dikenal masyarakat setelah munculnya aksara dewa nagari. Sebelumnya tulisan dibuat pada sebuah batu berupa prasasti berhurufkan palawa. Persebarannya meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Sulawesi Selatan. Sayangnya, karya lontar lama bersifat anonim sehingga tidak dapat diketahui tahun pembuatannya. Adhi Kirtiningrat, S.S. pengurus perpustakaan lontar fakultas Sastra Unud mengungkapkan, dapat diyakini bahwa kehadiran lontar di Bali dimulai sejak ekspedisi Majapahit tahun 1400 M. Lontar-lontar tersebut tersimpan dan terpelihara di Bali dalam jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai tempat. Tempat-tempat tersebut seperti misalnya Gedung Kirtya Singaraja, perpustakaan fakultas sastra Unud Denpasar, perpustakaan Universitas Hindu Dharma Denpasar, perpustakaan Universitas Dwijendra Denpasar, Kantor Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali dan lain sebagainya. Di samping itu tidak sedikit juga lontar-lontar itu tersimpan di rumah perorangan yang diwarisi secara turun-temurun, sebagai perpustakaan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar