Selasa

NU Dan Visi Kebangsaan Di Era Neoliberal

Oleh: Nurani Soyomukti*
Jika pembangunan masyarakat membutuhkan modal social (social capital) yang besar, maka saya menyebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi keagamaan yang memiliki modal tersebut. Putnam (1993: 167) menyebutkan bawa modal sosial mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi social seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas bagi tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
Modal sosial merupakan infrastruktur sosial yang terbangun dari interaksi warga yang didasarkan pada rasa saling percaya, bekerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama untuk membentuk tatanan kehidupan yang berkeadaban (civic culture). Sikap percaya (trust) adalah suatu komponen penting dalam upaya menggagas demokrasi di tingkatan bawah ini. Bahkan menurut Fukuyama (1995), kepercayaan (trust) merupakan komponen inti dari modal social. Ia menjelaskan trust sebagai “the expectation that arises within a community of regular, honest, and cooperative behavior, based and commonly shared norms, on the part of other members of that community”.
Adanya sikap saling percaya merupakan unsur pelican (lubricating factor) bagi terjadinya kerjasama. Dengan ini biaya-biaya transaksi antar orang dan antar kelompok dalam komunitas bisa dikurangi dan tentunya dapat menghemat sumberdaya. Dengan adanya kepercayaan maka tidak perlu investasi material untuk mengawasi orang lain, karena orang akan bertindak sesuai apa yang diharapkan bersama. Pada saat yang sama, dengan tumbuhnya kepercayaan dalam komunitas, juga akan menimbulkan kewajiban sosial.
Yang membuat NU kuat dalam modal politiknya adalah jaringannya (network). Kehadiran NU dalam sejarah Indonesia jelas jauh lebih tua dari partai politik mana pun. NU termasuk ormas yang paling tua yang kini masih beroperasi. Tradisi silahturahmi antar-jaringan NU tentu termasuk yang paling mengakar. NU juga hadir di seluruh pelosok Tanah Air, walau ia lebih terkonsentrasi di tanah Jawa.
Kekuatan Transformatif
Sejarah membuktikan bahwa NU yang mengambil jarak pada kekuasaan di era Orde Baru telah menyebabkan organisasi ini sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang penting. Posisi NU yang tak semata-mata mau tunduk pada Orde Baru-Soeharto menyebabkan para tokoh NU menjadi kalangan yang kritis dan turut mendorong percepatan proses demokrasi. Gus Dur dan kalangan muda NU adalah mereka yang dalam perkembangannya mampu mendobrak konservatisme dan feodalisme kaum santri. Kalangan kritis dan pendukung demokrasi ini menolak posisi kiai dan ulama yang semata menjadi kekuatan penyokong dan pemberi legitimasi pemerintahan Orde Baru yang dari hari ke hari semakin menindas (represif dan memiskinkan).
Waktu itu, sebagian besar ulama dan kiai memang terlalu konservatif, yang dapat dilihat dari beberapa gejala yang sekaligus menandai kenyataan hegemoni negara atas agama Islam atau organisasi Islam. Pertama, adanya fenomena kebulatan tekad yang dilakukan ulama. Seringkali dalam peristiwa pemilihan umum dan pencalonan presiden selalu didahului dengan kegiatan dukungan atau kebulatan tekad yang dilakukan ulama terhadap calon presiden atau wakilnya. Bahkan dalam situasi “kritis” dan menentukan ulama dapat dijadikan sebagai alat legitimasi (sumber dukungan) oleh pihak penguasa.
Kedua, fenomena sowan politik yang dilakukan ulama ke pejabat-pejabat tinggi baik pusat maupun daerah. Bahkan tindakan tersebut dianggap sebagai pijakan atau strategi perjuangan politik umat. Sowan politik ini—yang kadang juga merupakan kunjungan pejabat ke pesantren atau komunitas agama—dianggap mempunyai arti penting bagi kemaslahatan umat di bawahnya.
Ketiga, adanya fenomena di kalangan ulama atau elit agama untuk mencari legitimasi ke pusat kekuasaan jika terjadi konflik di antara sesamanya. Sebagai kompensasinya, pencarian dukungan pada kekuasaan itu sama saja berarti memberi dukungan pada kekuasaan tanpa melihat bagaimana wajah kekuasaan yang dijalankan. Seringkali konflik kepentingan di antara elit organisasi massa Islam dicarikan legitimasi ke pemerintah, bukan diselesaikan dengan mekanisme demokratik berdasarkan suara dari bawah. Fenomena usaha pendongkelan terhadap Gus Dur, gejala pasca mukhtamar Cipasung dengan munculnya sikap tidak puas kelompok Abu Hasan, misalnya, dicurigai banyak kalangan rekayasa pihak pemerintah Orde Baru.
Politik dan Dilema Peran
Di era pasca-Orde Baru, keberpihakan kiai pada kekuasaan tidak begiti monolitik. Meskipun demikian, watak elitisme para kiai nampaknya memang sulit untuk dihilangkan. Konflik antar kiai secara tak terelakkan juga terjadi ketika berebutan untuk kekuasaan seperti kasus konflik Gus Dur dengan Hasyim Muzadi, di tingkatan bawah (basis) juga terjadi friksi politik antar kiai. Friksi kiai tidak sera merta diikuti dengan friksi di tingkatan massa pada pemilu 2004 kemarin, bahkan basis kiai dan ulama di Jawa Timur tidak memenangkan calon dari para kiai, suara mayoritas justru dilimpahkan pada pasangan SBY-Jusuf Kalla. Sekali lagi muncul tesis bahwa kepolitikan kiai tidak begitu diminati oleh masyarakat.
Bahkan keterlibatan tokoh-tokoh NU dalam politik nyata-nyata melemahkan posisi dan peran NU sebagai kekuatan transformative karena fragmentasi dan pilihan politik dari simpul-simpul NU yang berbeda jelas-jelas membuat kekuatannya tercerai-berai. Nafsu politik telah membuat para tokohnya (kiai, ulama, intelektual) justru berada di menara gading. Sebagian yang mendapatkan kekuasaan jelas-jelas lupa pada nasib rakyat (warga nahdliyin di pedesaan yang kian hariu kian miskin karena kekuasaan yang ada mengambil kebijakan-kebijakan anti-rakyat—bahkan anti-demokrasi).
Salah satu karakter yang melekat pada komunitas NU sebagai kalangan yang tradisional sebenarnya adalah “guyub”. NU adalah masyarakat komunitas yang memegang tradisi-tradisi yang ada di dalamnya. Watak ini adalah salah satu potensi yang bisa dikonstruk kembali dengan merevitalisasi aspek tradisi yang berguna bagi keberlangsungan komunitas serta membuang nilai-nilai kolot (feudal) yang kontra-produktif bagi seni dan budaya masyarakat yang dapat mendorong kreatifitas dan produktivitas budayanya bagi peradaban.
Tetapi neoliberalisme (pasar bebas) yang diterima oleh pemerintah pasca-Orde Baru lambat-laun telah menggerogoti semangat “guyub-rukun” tersebut, tergantikan dengan budaya pasar yang pragmatis dan oportunis. Didahului mantan kiai-kiai, intelektual, dan aktivis NU yang telah berada dalam kekusaan neoliberal jelas telah pragmatis lebih dulu, perasaan humanisme dan kepekaan terhadap nasib rakyat yang kian menderita telah lama hilang. Politik busuk yang menghiasi negeri ini juga menunjukkan bahwa NU juga menjadi bagian di dalamnya. Bahkan mereka yang masih setia berada di basis massa juga semakin terlatih menjadi broker politik, terutama saat-saat terjadi pemilihan kepala daerah.
NU dan Tantangan Neoliberalisme
Dari posisi dan peran transformatif yang cenderung mundur tersebut, banyak kalangan (baik dari kalangan internal NU maupun pengamat) yang memandang bahwa meninggalkan politik dan kembali ke Khitah 1926 dalam jangka panjang dipercayai akan mengurangi fragmentasi kelompok politik di NU. Masih banyak yang percaya bahwa menjauhkan NU dan pemimpin utamanya dari hingar-blingar politik praktis diyakini akan membuat NU lebih solid, kuat, dan independen. Sayangnya, hingga saat ini, godaan politik praktis bagi NU, komunitas, dan elitenya, jauh lebih besar daripada yang diduga. Menjelang Pemilu 2009, godaan politik itu akan menjelma sebagai raksasa yang kembali menggoyahkan NU.
Yang harus dilakukan oleh mereka yang masih menginginkan peran NU untuk mendorong terjadinya transformasi ekonomi-politik menuju keadilan adalah menempatkan NU sebagai gerakan yang memiliki pandangan maju dalam masyarakat yang terus berubah. Tidak ada yang menyangkal bahwa NU bukan hanya penting dalam konteks ke-Indonesiaan, tetapi bakan juga dipertaruhkan dalam konteks hubungan internasional dan dinamika globalisasi. Posisi ini meniscayakan bahwa NU tentunya tidak bisa dipandang hanya sebagai organisasi keagamaan, ia adalah organisasi sosial non-pemerintah yang menyediakan fungsi-fungsi riil berhadapan dengan kondisi masyarakat yang dinamis.
Dalam pusaran globalisasi NU adalah salah satu anggota dari global civil society yang bukan saja mengadapi problem keumatan, tetapi juga kemanusiaan universal. Ada godaan-godaan global dan tantangan-tantangannya yang harus dijawab, dikaji secara objektif dalam lembaga-lembaga kajian yang dimiliki, juga ditularkan kepada generasi muda melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya—juga mendidik rakyat kecil “melek realitas” dan bukan hanya membodohi untuk melanggengkan relasi ketertundukan dan kepatuhan.
Sebab imbas globalisasi pada rakyat, terutama kaum muda, sangatlah dramatis, sehingga memang melalui pendidikanlah selama ini internalisasi ilmu pengetauan dan nilai-nilai dilakukan pada peserta didik. Internalisasi nilai-nilai baru haruslah memuat penjelasan-penjelasan yang objektif tentang kontradiksi sosial yang ada, bahkan juga secarategas harus dihadapkan pada ekspansi ideologi globalisasi yang membodohi dan menindas. NU telah menjadi ikon bagi gerakan dan pendidikan multikulturalisme, dan kini ia ditantang untuk melawan budaya global yang membawa semangat monokulturalisme pasar bebas.
Pada era pasca perang dingin, globalisasi neo-liberal berjalan seiring dengan ekspansi kekuatan perusaaan-perusaaan transnasional Amerika yang memang telah mengorganisasikan kekuatan produktif dan modalnya sejak lama—terutama setelah kekuatan lawannya (sosialisme-komunisme) secara internasional telah dianggap mengalami kehancuran. Secara politik Amerika telah menjadi kekuatan hegemonik yang diterima oleh negara-negara lain. Akan tetapi keadaan ini mulai dipertanyakan setelah terjadinya tragedi 11 September 2001 dengan diledakkannya gedung WTC dan Pentagon itu. Diperkirakan, hegemoni Amerika di dunia internasional mulai mendapat gerakan-gerakan perlawanan dari berbagai kekuatan yang merasa termarginalisasi dengan ekspansi Amerika Serikat dalam kancah politik internasional dengan ideologi kapitalisme atau demokrasi liberalnya.
Bila pada era Perang Dingin harapan akan suksesnya gerakan perlawanan terhadap hegemoni—atau sering disebut kontra-hegemoni—Amerika Serikat (AS) berada di pundak partai-partai kiri di sejumlah negara dunia, Robert W. Cox—seorang teoritisi Hubungan Internasional penganut paradigma transnational historical materialism dari Kanada—dalam sejumlah tulisannya pernah mengemukakan bahwa pada masa pasca perang dingin, Islam dapat menjadi salah satu kekuatan kontra-hegemoni baru yang dapat menciptakan suatu tatanan pasca hegemoni. Dalam Toward Posthegemonic Construction of World Order (1996), Cox menelaah pemikiran-pemikiran untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan konstruksi dunia baru masa pasca hegemoni AS.
Tetapi menurut Cox dalam tulisannya yang lain, The Way Ahead: Toward New Ontology of World Order (2001), Islam dan gerakan-gerakan kontra hegemoni lainnya bukanlah kelompok-kelompok yang koheren, solid, dan tunggal. Terlalu banyak polarisasi yang turut memberikan kontribusi pada sulitnya gerakan kontra-hegemoni mencapai kesuksesan. Sementara itu, aktifnya AS dalam membina konsensus global yang diterapkan pada sejumlah lini begitu kuat untuk menghadapi gerakan-gerakan itu. Penggunaan kekuatan militer merupakan suatu learning process yang paling ampuh untuk menundukkan sejumlah lawan potensial; tapi yang terpenting dari pola pembelajaran tersebut adalah penetrasi common sense melalui budaya globalisasi. Begitu intensifnya pembangunan konsensus global tersebut, maka lebih dari satu dekade belakangan ini berkembang sebuah global civil society yang kuat. Masyarakat global ini turut mengembangkan hegemoni AS; keanggotaannya bervariasi dari kelompok menengah di setiap negara hingga pada kelompok-kelompok pemilik modal transnasional yang menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini. Global civil society ini memiliki kesadaran semu (false conciousness) yang memuat perasaan untuk mengikuti apa yang ada begitu saja terhadap apa yang dilakukan oleh AS sebagai pemimpin politik global.
Setidaknya ada dua strategi kontra-hegemoni yang bisa dikembangkan: perang posisi (war of position) dan perang pergerakan (war of movement). Antonio Gramsci (1971) berpendapat bahwa pada kondisi global civil society yang demikian kuat, strategi perang posisi lebih penting untuk dikedepankan. Perang pergerakan, di mana berarti gerakan kontrahegemoni berhadap-hadapan vis-a-vis melalui pergerakan fisik untuk menumbangkan hegemoni hanya akan berakhir dengan kekalahan yang tak terhindarkan.
Dalam posisi itu, NU diharapkan menjadi satu kekuatan sosial yang moderat dalam makna tidak mengajarkan pada rakyat untuk bereaksi secara membabi buta terhadap kecenderungan penindasan global. Reaksi yang bersifat kekerasan seperti aksi teroristik bukan saja anti-kemanusiaan karena menghalalkan segala cara (dengan kekerasan), tetapi juga tidak akan mencapai pada kemenangan karena bersifat reaktif dan didasari pada pemikiran yang apologetik.Di satu sisi NU juga harus mengilangkan watak elitismenya jika ia ingin menjadi organisasi yang memberikan pelayanan sosial (social services) baik melalui pendidikan dan pemberdayaan pola pikir dan aksi sosial yang didasari atas sentimen kerakyatan dan demokrasi. Elitisme akan menjauhkan organisasi dari massa dan umatnya. Dan yang harus dilakukan NU adalah mendekatkan dirinya dengan rakyat melalui aktivitas-aktivitas dan lembaga-lembaga kajian dan gerakan yang didirikannya untuk memberi penjelasan teologis dan sosiologis terhadap fenomena globalisasi serta dampak-dampaknya bagi masyarakat. Yang lebih penting lagi adalah melakukan transformasi sosial dengan jalan memberdayakan masyarakat sipil dengan pendidikan tentang hak-hak dan kewajibannya baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara (civic education). Tidak ada yang meragukan NU memiliki modal yang cukup untuk itu.
*) Penulis buku “Revolusi Bolivarian, Hugo Chavez, dan Politik Radikal” (RESIST BOOK, Yogyakarta), tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung