Senin

Fitrah Mesianisme Ramadhan

WACANA
Oleh: Syarif H. Santoso*
Semangat Islam adalah semangat pembebasan yang integratif dengan spirit kemanusiaan. Bulan Ramadhan pun merupakan korporasi elastis yang tentu saja membutuhkan interpretasi yang tidak tunggal serta hanya loyal pada kebakuan semata. Dalam iktikaf mencari Lailatul Qadar, manusia menemukan fitrahnya kembali yaitu sebagai makhluk privat-antroposentris dan juga sosial-antroposentris. Disini, fitrah menghajatkan sebuah dimensi ekologis yang kental dengan dimensi transhumanitas untuk menggapai mizan keadilan yang hakiki. Dalam semangat fitrah terpapar etika untuk mencapai kesalehan secara massif, tidak serta merta transendental juga tanpa pengebirian terhadap kesucian hak manusia lainnya.
Bukankah nalar keimanan sendiri membuktikan bahwa Tuhan adalah zat Super Maha- The Supreme Being yang menegasikan kontribusi apapun dari manusia. Tuhan berkenan pada manusia tentunya dengan pintu-pintu yang dibukakan melalui manusia lainnya. Karena itu, konsep iman dalam Islam demikian ekologis, karena menyambungkan antara iman yang supra-rasional dan sangat personal dengan pelacakan kebajikannya di tengah masyarakat. “Bukan orang beriman orang yang tidak memuliakan tetangganya,” demikian sabda Nabi.
Kemiskinan, kebodohan serta idolatry (pemberhalaan) terhadap materialisme dan borjuasi kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Kaum muslim hanya menjadi sinterklas yang berkompetisi di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja. Di luar itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar kepada Teosentrisme, sebuah hal yang lagi-lagi dilogikakan demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya Qiyamuhu Bi Nafsihi (Otonom). Jika Tuhan tidak membutuhkan honoritas apapun dari makhluknya, kenapa kita masih mengejar pahala sebagai orientasi ibadah kita. Bukankah pahala merupakan sebuah dimensi mistik yang raib dalam ruang dan waktu. Seorang muslim yang baik, semestinya tidak mengukur pahala sebagai standardisasi pola kerja kebajikannya, tapi menggunakan realitas sosial sebagai parameter kesuksesan kebajikan.
Dengan demikian seorang muslim akan berupaya untuk menjadi juru selamat bagi pribadi maupun masyarakatnya. semangat Mahdiisme (Mesianisme) yang kental dengan pembebasan manusia selayaknya diamanatkan dalam pundak setiap muslim. Seorang muslim akan memerankan diri secara revolusioner sebagai Mahdi yang terpilih untuk membela kaum lemah (Ali Syariati:1973). Bukankah tradisi berpikir semacam ini dapat menghalau semangat skeptisisme masyarakat yang ragu terhadap otentisitasnya sebagai makhluk termulia di hadapan Tuhan. Membebaskan masyarakat dari penjara kebodohan dan kemiskinan tidak harus dengan mimpi-mimpi melankolis tentang datangnya Imam Mahdi yang sebenarnya atau turunnya Isa yang kedua kali. Bukankah Kebudayaan Dajjal yang menindas nurani manusia dan memenjarakan fitrah sehingga sebagian manusia terbelenggu histrorisitasnya sudah menggurita di mana-mana. Segala karunia Allah di bumi, pada masa kini, hampir menjadi mustahil dinikmati masyarakat secara adil.
Spirit semacam ini akan menghalau indifferentisme, sikap serba cuek dengan ekosistem sekitarnya. Jika semangat Mesianisme telah berurat berakar pada setiap manusia, maka fitrah manusia sebagai pembawaan sejak lahir akan kembali menemukan harmonisasinya di tengah kosmos. Kehidupan yang merupakan pancaran aura ketuhanan dengan potensi azali manusia akan saling berkoalisi membangun masyarakat yang adil.
Bukankah pada Ramadhan ini, kita melakukan kontemplasi (iktikaf) di masjid. Para pelaku iktikaf beikhtiar keras untuk mencapai Lailatul Qadar. Proses alienasi selama malam-malam ganjil akhir Ramadhan memberikan sebuah proses individuasi, penyadaran obyektif akan status dan fungsi manusia. Sejujurnya, Lailatul Qadar merupakan sebuah entitas yang murni ghaib. Seorang ahli ibadah paling alim sekalipun tidak akan pernah memproklamirkan diri bahwa dirinya telah menjumpai malam mulia itu. Karena itu, melacak “jejak-jejak” Lailatul Qadar hanya mungkin dilakukan terhadap apa yang akan dibaktikan setiap muslim pasca iktikaf Ramadhan itu.
Mesianisme merupakan intisari dari Lailatul Qadar. Jika kaum muslim mampu mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk membebaskan manusia dalam rentang waktu yang panjang, maka itulah sebenarnya makna hakiki dari “lebih baik dari seribu bulan. Seorang muslim akan berjuang keras demi keadilan dan kesejahteraan dalam kosmos, tanpa terbatasi teritorial ramadhan dan lokasi-lokasi religius seperti masjid. Lailatul Qadar yang hanya semalam akan berimprovisasi setiap saat, demi kemuliaan manusia.
*) Pembina Kajian Agama dan Kebudayaan PMII FISIP UNEJ.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung