REFLEKSI
Oleh: Endrik Safudin*
Setiap agama yakni agama yang benar, meminjam kata Hans Kung (1990), tentu tidak akan bertentangan dengan kemanusiaan. Agama selalu menghormati dan mempertahankan kemanusiaan. Ketika kemanusiaan di persimpangan jalan, agama tentu digugat untuk membela manusia lewat inspirasi-inspirasi moralnya.
Dalam aras ini, tidak ada lagi muncul kepentingan umat Islam, Kristen, Budha dan Hindu, yang ada hanyalah kepentingan seluruh umat manusia. Kepentingan dalam rangka menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah tereduksi oleh zaman. Ketika kekerasan, kemiskinan dan penganiayaan merajalela maka agama harus menjadi solusi utama dalam mengatasinya. Ketika banyak anak miskin tidak bisa sekolah, korban bencana alam dan banyaknya pengangguran, maka agama harus menjadi bagian dari masalah dan bukan lari dari masalah. Dalam konteks ini seperti yang digagas C. Smith, seluruh umat beragama hakikatnya harus terlibat dalam wilayah kemanusiaan dengan melintasi sekat-sekat agama. Di sinilah kemudian bentuk hubungan antara agama yang mulanya bersifat i and it, berkembang menjadi I and thou, dan kemudian menjadi we all.
Humanisme Agama
Jika mau belajar, agama manapun mempunyai misi kemanusiaan yakni misi yang membawa nilai-nilai kemanusiaan bagi kepentingan dan keberlangsungan umat manusia. Sebab, agama-agama hadir sebagai bukti kepekaan atas realita yang terpuruk pada zamannya. Agama Kristen membawa ajaran kasih sayang, Yahudi membawa ajaran penyelamatan bagi penderitaan, dan Islam membawa ajaran keberpihakan pada kaum lemah. Pada tataran ini sesungguhnya agama-agama mempunyai common platform untuk melakukan kontrol efektif atas ketidakadilan-ketidakadilan global. Agama-agama mempunyai tanggung jawab untuk mengubah trauma menjadi etika progresif. Dalam hal ini konsep humanisme berada dalam konsep setiap agama. Terbukti, dalam ajaran setiap agama terdapat konsep mendongkrak rasa keberpihakan terhadap kaum yang lemah dan tertindas, dhua’fa dan al-mustadhaffin, orang miskin dan pengemis.
Dengan konsep humanisme, cinta dan kemanusiaan merupakan gagasan sentral dan esensial dari agama-agama dunia. Cinta dan kemanusiaan, bagi agama menjadi titik sentral tentang hakikat kehidupan manusia. Dalam tataran inilah konsep humanisme menjadi penopang bagi keberlangsungan setiap agama. Demikian itu agama yang memberikan masa depan baik bagi umat manusia.
Dialog Agama, Dialog Kemanusiaan
Dalam kehidupan bermasyarakat yang pluralisme, yang kian rumit, agama sering tampil dalam dua wajah, di satu sisi merupakan tempat menemukan kedamaian dan kedalaman makna hidup, dan di sisi yang lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Apalagi dalam konteks globalisasi dan modernisasi yang semakin menggila. Globalisasi dan modernisasi, diakui atau tidak, telah memudarkan substansi agama. Hal yang tidak bisa ditutup-tutupi adalah globalisasi telah memproduksi kemiskinan bersifat global, terjadinya korupsi dan nilai-nilai keadilan semakin tak terurus bahkan dipermainkan. Hanya kepentingan pribadi, kelompok dan partainya yang menjadi tujuannya walaupun dengan cara menumbalkan kepentingan bersama. Di sisi lain juga munculnya tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama dan klaim kebenaran tunggal.
Dalam situasi ini, umat beragama harus mengambil peran dalam rangka usaha mengembalikan dan membersihkan wajah agama. Hal ini meminjam bahasa Charles Kimball, yakni dengan cara menggali sumber-sumber riwayat hidup agama yang autentik, di mana pernah menjadi agen perdamaian, cinta dan keindahan di bumi. Kesadaran ini tentunya menuntut para pemeluk agama untuk tidak lagi memahaminya hanya sebatas ajaran dan praktik ritual. Tetapi, juga sebagai medan peziarah yang harus ditempuh secara bersama-sama, oleh seluruh komunitas agama, menegaskan sebuah iman yang “hidup” dan mengembangkan kemanusiaan universal.
Lebih lanjut, dalam peziarahan itu, menurut Kimbal, kesadaran inklusifisme dan pluralisme harus menjadi dasar-pijak agama, dalam keragamannya, digerakkan menuju keselamatan bersama dan menegaskan bahwa iman sejati memberikan harapan, cinta dan kedamaiaan (humanisme).
Pada tataran ini, kaum agamawan tidak lagi cukup mengisolasi diri dengan klaim kebenaran tunggal. Senyatanya, semuanya mesti saling bertemu dan saling memetik kearifan dengan cara duduk bersama (dialog). Dalam dialog, keberadaan tradisi, baik dalam ajaran maupun penghayatan, harus dipandang sebagai suatu kekayaan yang saling terkait satu sama lain. Proses inilah yang akan menyatukan pemeluk agama dalam keberadaannya.
Dengan demikian, sebagai gerakan, relasi antara umat beragama, tidak hanya berkutat pada wilayah dogma, tetapi juga wilayah praksis sosial-etik yang meliputi seluruh umat masyarakat. Dialog di sini lalu bersifat manusiawi, membicarakan problem-problem kemanusiaan dengan melintasi sekat-sekat primordialisme (agama). Ini tentu mengandalkan adanya pergeseran pemahaman agama yang bersifat “institusional” menuju pada pemahaman agama yang “fungsional”, dari “ortodoksi” menuju ortopraksi”. Dan berarti agama harus ditampilkan kekuatan kritiknya dalam penyelamatan umat manusia secara universal. Apalagi, di tengah keragaman agama, yang dilakukan adalah aktualisasi nilai agama secara universal. Dengan ini, segala macam masalah kemanusiaan bukan lagi dipandang dalam kerangka kewajiban dan tanggung jawab asasi seluruh umat manusia. Umat beragama bertemu tidak lewat baju primordial agama, tapi dalam citra kemanusiaan universal. Wallahu a’lam.
*) Kontributor Jaringan Islam Kultural (JIK) dan Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Oleh: Endrik Safudin*
Setiap agama yakni agama yang benar, meminjam kata Hans Kung (1990), tentu tidak akan bertentangan dengan kemanusiaan. Agama selalu menghormati dan mempertahankan kemanusiaan. Ketika kemanusiaan di persimpangan jalan, agama tentu digugat untuk membela manusia lewat inspirasi-inspirasi moralnya.
Dalam aras ini, tidak ada lagi muncul kepentingan umat Islam, Kristen, Budha dan Hindu, yang ada hanyalah kepentingan seluruh umat manusia. Kepentingan dalam rangka menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah tereduksi oleh zaman. Ketika kekerasan, kemiskinan dan penganiayaan merajalela maka agama harus menjadi solusi utama dalam mengatasinya. Ketika banyak anak miskin tidak bisa sekolah, korban bencana alam dan banyaknya pengangguran, maka agama harus menjadi bagian dari masalah dan bukan lari dari masalah. Dalam konteks ini seperti yang digagas C. Smith, seluruh umat beragama hakikatnya harus terlibat dalam wilayah kemanusiaan dengan melintasi sekat-sekat agama. Di sinilah kemudian bentuk hubungan antara agama yang mulanya bersifat i and it, berkembang menjadi I and thou, dan kemudian menjadi we all.
Humanisme Agama
Jika mau belajar, agama manapun mempunyai misi kemanusiaan yakni misi yang membawa nilai-nilai kemanusiaan bagi kepentingan dan keberlangsungan umat manusia. Sebab, agama-agama hadir sebagai bukti kepekaan atas realita yang terpuruk pada zamannya. Agama Kristen membawa ajaran kasih sayang, Yahudi membawa ajaran penyelamatan bagi penderitaan, dan Islam membawa ajaran keberpihakan pada kaum lemah. Pada tataran ini sesungguhnya agama-agama mempunyai common platform untuk melakukan kontrol efektif atas ketidakadilan-ketidakadilan global. Agama-agama mempunyai tanggung jawab untuk mengubah trauma menjadi etika progresif. Dalam hal ini konsep humanisme berada dalam konsep setiap agama. Terbukti, dalam ajaran setiap agama terdapat konsep mendongkrak rasa keberpihakan terhadap kaum yang lemah dan tertindas, dhua’fa dan al-mustadhaffin, orang miskin dan pengemis.
Dengan konsep humanisme, cinta dan kemanusiaan merupakan gagasan sentral dan esensial dari agama-agama dunia. Cinta dan kemanusiaan, bagi agama menjadi titik sentral tentang hakikat kehidupan manusia. Dalam tataran inilah konsep humanisme menjadi penopang bagi keberlangsungan setiap agama. Demikian itu agama yang memberikan masa depan baik bagi umat manusia.
Dialog Agama, Dialog Kemanusiaan
Dalam kehidupan bermasyarakat yang pluralisme, yang kian rumit, agama sering tampil dalam dua wajah, di satu sisi merupakan tempat menemukan kedamaian dan kedalaman makna hidup, dan di sisi yang lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Apalagi dalam konteks globalisasi dan modernisasi yang semakin menggila. Globalisasi dan modernisasi, diakui atau tidak, telah memudarkan substansi agama. Hal yang tidak bisa ditutup-tutupi adalah globalisasi telah memproduksi kemiskinan bersifat global, terjadinya korupsi dan nilai-nilai keadilan semakin tak terurus bahkan dipermainkan. Hanya kepentingan pribadi, kelompok dan partainya yang menjadi tujuannya walaupun dengan cara menumbalkan kepentingan bersama. Di sisi lain juga munculnya tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama dan klaim kebenaran tunggal.
Dalam situasi ini, umat beragama harus mengambil peran dalam rangka usaha mengembalikan dan membersihkan wajah agama. Hal ini meminjam bahasa Charles Kimball, yakni dengan cara menggali sumber-sumber riwayat hidup agama yang autentik, di mana pernah menjadi agen perdamaian, cinta dan keindahan di bumi. Kesadaran ini tentunya menuntut para pemeluk agama untuk tidak lagi memahaminya hanya sebatas ajaran dan praktik ritual. Tetapi, juga sebagai medan peziarah yang harus ditempuh secara bersama-sama, oleh seluruh komunitas agama, menegaskan sebuah iman yang “hidup” dan mengembangkan kemanusiaan universal.
Lebih lanjut, dalam peziarahan itu, menurut Kimbal, kesadaran inklusifisme dan pluralisme harus menjadi dasar-pijak agama, dalam keragamannya, digerakkan menuju keselamatan bersama dan menegaskan bahwa iman sejati memberikan harapan, cinta dan kedamaiaan (humanisme).
Pada tataran ini, kaum agamawan tidak lagi cukup mengisolasi diri dengan klaim kebenaran tunggal. Senyatanya, semuanya mesti saling bertemu dan saling memetik kearifan dengan cara duduk bersama (dialog). Dalam dialog, keberadaan tradisi, baik dalam ajaran maupun penghayatan, harus dipandang sebagai suatu kekayaan yang saling terkait satu sama lain. Proses inilah yang akan menyatukan pemeluk agama dalam keberadaannya.
Dengan demikian, sebagai gerakan, relasi antara umat beragama, tidak hanya berkutat pada wilayah dogma, tetapi juga wilayah praksis sosial-etik yang meliputi seluruh umat masyarakat. Dialog di sini lalu bersifat manusiawi, membicarakan problem-problem kemanusiaan dengan melintasi sekat-sekat primordialisme (agama). Ini tentu mengandalkan adanya pergeseran pemahaman agama yang bersifat “institusional” menuju pada pemahaman agama yang “fungsional”, dari “ortodoksi” menuju ortopraksi”. Dan berarti agama harus ditampilkan kekuatan kritiknya dalam penyelamatan umat manusia secara universal. Apalagi, di tengah keragaman agama, yang dilakukan adalah aktualisasi nilai agama secara universal. Dengan ini, segala macam masalah kemanusiaan bukan lagi dipandang dalam kerangka kewajiban dan tanggung jawab asasi seluruh umat manusia. Umat beragama bertemu tidak lewat baju primordial agama, tapi dalam citra kemanusiaan universal. Wallahu a’lam.
*) Kontributor Jaringan Islam Kultural (JIK) dan Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar