Oleh: Ratih Indri Hapsari*
Hingga kini, persoalan seputar air menjadi persoalan rutin setiap tahun. Menginjak musim kemarau seperti saat ini, kekeringan menjadi persoalan tak terelakkan yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia terutama petani dan masyarakat kelas bawah, hingga tidak jarang terjadi pertikaian antar warga karena terjadi perebutan dan pencurian air, seperti di Kabupaten Cirebon dan Indramayu beberapa waktu lalu.
Salah satu daerah yang dilanda kekeringan hebat adalah di Purwakarta-Jawa Barat. Menurut Endang Setiawinata, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Agroklimat dan Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta (KOMPAS, 09/08/2007), bulan Agustus sudah 323 hektar (ha) sawah dilaporkan kering dan 442 ha lainnya terancam kekeringan. Lahan yang kekeringan itu berada di kecamatan Plered (133 ha), Tegalwaru (101 ha), Maniis (76 ha), dan Purwakarta (13 ha). Sedangkan lahan pertanian di Jawa Barat yang mengalami kekeringan semakin meluas. Saat ini 17.311 ha lahan kekeringan berat, sedangkan 2.075 ha lainnya sudah puso. Sementara itu, di kawasan pantai utara, akibat sejumlah waduk mengalami penurunan elevasi air, petani terpaksa bergiliran dalam penggunaan air. Sedangkan di Jawa Tengah, hingga awal Agustus 2007 tak kurang dari 107.028 ha tanaman padi rusak akibat kekeringan. Dari jumlah itum 10.028 ha dinyatakan puso.
Sementara itu kekeringan hebat juga melanda wilayah Jawa timur, areal yang mengalami kekeringan antara lain di Kabupaten Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro, diperikirakan kekeringan tahun ini lebih luas dari pada tahun lalu (KOMPAS, 18/08/2007). Pada tahun 2006 lahan yang mengalami kekeringan di Gresik seluas 143 ha dan di meluas di tahun 2007, selama Januari hingga Juli 2007 kekeringan melanda seluas 8.291 ha dan yang dinyatakan puso 974 ha. Di Kabupaten Bojonegoro tahun lalu 836 ha lahan pertanian mengalami kekeringan dan puso 29 ha dan kali ini 5.213 ha lahan kekeringan dan 482 ha puso. Sedangkan di Lamongan kekeringan tahun lalu melanda 2.460 ha persawahan dan yang mengalami puso 311 ha. Tahun ini di Lamongan luas area kekeringan mencapai 25.561 ha dan areal puso 407 ha.
Menilik hari air di bulan Maret lalu yang keberadaannya diharapkan menjadi sebuah momentum berguna secara budaya maupun politis dalam artian sebagai hari dimana akan terjadi refleksi, kampanye maupun tuntutan-tuntutan mengenai isu seputar air dan lingkungan, namun sebaliknya justru momentum tersebut telah dikomersilkan oleh perusahaan korporasi bisnis demi keuntungan segelintir orang, hingga yang tersisa adalah air-air kotor akibat pencemaran limbah pabrik yang merusak ekosistem maupun mengancam kehidupan manusia. Perusahaan-perusahaan besar air minum, seperti Coca-Cola, Danone dengan getol menjadi sponsor penelitian mengenai kadar pencemaran pada sungai-sungai, atau mengadakan kampanye lingkungan, supaya masyarakat mengonsumsi air bersih, air yang layak minum --air botolan produksi perusahaan mereka.
Strategi filantropis ala kapitalis adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagaimanapun agitasi dan propagandanya, bahkan jika perlu dibungkus sehumanis mungkin, misal dengan dibungkus bakti sosial maupun penelitian-penelitian bertopeng. Padahal, privatisasi air dan komersialisasi air bersih yang dilakukan oleh perusahaan air minum dapat dipastikan bukan solusi tepat dalam menghadapi kisisis air, privatisasilah senyatanya yang menyebabkan bencana krisis air, di mana masyarakat miskin semakin sulit untuk mendapatkan akses air bersih .
Tidaklah mungkin persoalan air akan selesai hanya dengan penelitian yang capaiannya sebatas identifikasi. Persoalan air bersih tidak akan tuntas dengan solusi sederhana semacam dengan melakukan kampanye supaya masyarakat tidak membuang sampah sembarangan, supaya masyarakat tidak menggunakan lahan disekitar sungai sebagai tempat tinggal. Memang seringkali pemodal membujuk masyarakat dengan propaganda berwajah humanis: “Untuk hidup sehat hendaknya konsumsilah air yang bersih dan sehat seperti air produksi perusahaan kami.” Mengapa air yang merupakan hasil alami keseimbangan siklus alam dan keberadaannya menjadi bagian dari alam kini hanya menjadi milik orang-orang berduit dan kemudian mereka mengambil seenaknya? Bahkan selanjutnya menjadi makelar air dan menjualnya dengan mahkota harga pada masyarakat yang sebenarnya pemilik sah hak atas air bersih tersebut?
Krisis Kesejahteraan
Krisis air ditandai dengan situasi bukan hanya ketika volume air menipis, namun juga menyangkut pencemaran air, komersialisasi air, akses terhadap air yang sulit maupun regulasi dan sanitasi yang rusak. Seluruh persoalan mengenai air dapat diartikan krisis air, yaitu keberadaan air yang secara berhadap-hadapan merusak alam yang disebabkan oleh faktor intervensi manusia.
Krisis air selama ini berimbas pada krisis harapan untuk hidup. Krisis air telah menyumbang angka kematian sebesar 34,6% terhadap anak-anak khususnya pada negara dunia ketiga. Setiap tahunnya 5.000.000 anak meninggal karena terkena penyakit diare. Bekurangnya persediaan air bersih selain dikarenakan privatisasi air, pengalihan sumber air bagi AC bagi hotel-hotel mewah, air bagi industri perkotaan, air untuk coolant (cairan untuk pendingin mesin), atau terpolusinya air karena timbunan sampah-sampah industri, hingga tidak terelakkan kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas dan anak-anak terperosok menjadi tumbal atas nama pembangunan.
Ancaman berbagai macam zat beracun yang disebabkan oleh limbah industri yang tidak bertanggung jawab terhadap ekologi akan menghancurkan kehidupan penduduk miskin. Dalam hal ini anak-anak sebagai korban pertama yang akan terkena dampaknya, karena anak-anaklah yang paling peka terhadap kontaminasi bahan kimia, selanjutnya pencemaran air yang disebabkan bahan kimia termanifestasi dalam kondisi kesehatan mereka. Misalnya, penyakit polio, diare, kolera akan semakin mudah menyerang anak, dimana mereka hidup pada situasi persediaan air yang tercemar.
Di Indonesia, krisis air menjadi persoalan besar yang tidak kunjung terselesaikan. Jutaan penduduk telah menjadi korban namun sikap pemerintah hingga saat ini belum memberikan respon positif, namun sebaliknya justru kini pemerintah kembali akan mengeluarkan kebijakan baru berupa RUU Penanaman Modal (RUU PM) yang meliberalkan regulasi penanaman modal. Saat ini pemerintah dan DPR sedang berencana mengesahkan RUU PM yang substansinya justru akan berdampak buruk bagi kepentingan masyarakat luas maupun lingkungan.
Substansi RUU PM, misalnya, Pasal 8 memperbolehkan suatu perusahaan menutup dan merelokasi industri dan modal (capital flight). Pada pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai ganti rugi perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ketika perusahaan masih beroperasi. Secara vulgar dan sepihak peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah telah berpihak pada kepentingan pemodal dan mengabaikan psikologis, sosiologis, maupun ekologis masyarakat.
*) Aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember
Hingga kini, persoalan seputar air menjadi persoalan rutin setiap tahun. Menginjak musim kemarau seperti saat ini, kekeringan menjadi persoalan tak terelakkan yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia terutama petani dan masyarakat kelas bawah, hingga tidak jarang terjadi pertikaian antar warga karena terjadi perebutan dan pencurian air, seperti di Kabupaten Cirebon dan Indramayu beberapa waktu lalu.
Salah satu daerah yang dilanda kekeringan hebat adalah di Purwakarta-Jawa Barat. Menurut Endang Setiawinata, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Agroklimat dan Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta (KOMPAS, 09/08/2007), bulan Agustus sudah 323 hektar (ha) sawah dilaporkan kering dan 442 ha lainnya terancam kekeringan. Lahan yang kekeringan itu berada di kecamatan Plered (133 ha), Tegalwaru (101 ha), Maniis (76 ha), dan Purwakarta (13 ha). Sedangkan lahan pertanian di Jawa Barat yang mengalami kekeringan semakin meluas. Saat ini 17.311 ha lahan kekeringan berat, sedangkan 2.075 ha lainnya sudah puso. Sementara itu, di kawasan pantai utara, akibat sejumlah waduk mengalami penurunan elevasi air, petani terpaksa bergiliran dalam penggunaan air. Sedangkan di Jawa Tengah, hingga awal Agustus 2007 tak kurang dari 107.028 ha tanaman padi rusak akibat kekeringan. Dari jumlah itum 10.028 ha dinyatakan puso.
Sementara itu kekeringan hebat juga melanda wilayah Jawa timur, areal yang mengalami kekeringan antara lain di Kabupaten Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro, diperikirakan kekeringan tahun ini lebih luas dari pada tahun lalu (KOMPAS, 18/08/2007). Pada tahun 2006 lahan yang mengalami kekeringan di Gresik seluas 143 ha dan di meluas di tahun 2007, selama Januari hingga Juli 2007 kekeringan melanda seluas 8.291 ha dan yang dinyatakan puso 974 ha. Di Kabupaten Bojonegoro tahun lalu 836 ha lahan pertanian mengalami kekeringan dan puso 29 ha dan kali ini 5.213 ha lahan kekeringan dan 482 ha puso. Sedangkan di Lamongan kekeringan tahun lalu melanda 2.460 ha persawahan dan yang mengalami puso 311 ha. Tahun ini di Lamongan luas area kekeringan mencapai 25.561 ha dan areal puso 407 ha.
Menilik hari air di bulan Maret lalu yang keberadaannya diharapkan menjadi sebuah momentum berguna secara budaya maupun politis dalam artian sebagai hari dimana akan terjadi refleksi, kampanye maupun tuntutan-tuntutan mengenai isu seputar air dan lingkungan, namun sebaliknya justru momentum tersebut telah dikomersilkan oleh perusahaan korporasi bisnis demi keuntungan segelintir orang, hingga yang tersisa adalah air-air kotor akibat pencemaran limbah pabrik yang merusak ekosistem maupun mengancam kehidupan manusia. Perusahaan-perusahaan besar air minum, seperti Coca-Cola, Danone dengan getol menjadi sponsor penelitian mengenai kadar pencemaran pada sungai-sungai, atau mengadakan kampanye lingkungan, supaya masyarakat mengonsumsi air bersih, air yang layak minum --air botolan produksi perusahaan mereka.
Strategi filantropis ala kapitalis adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagaimanapun agitasi dan propagandanya, bahkan jika perlu dibungkus sehumanis mungkin, misal dengan dibungkus bakti sosial maupun penelitian-penelitian bertopeng. Padahal, privatisasi air dan komersialisasi air bersih yang dilakukan oleh perusahaan air minum dapat dipastikan bukan solusi tepat dalam menghadapi kisisis air, privatisasilah senyatanya yang menyebabkan bencana krisis air, di mana masyarakat miskin semakin sulit untuk mendapatkan akses air bersih .
Tidaklah mungkin persoalan air akan selesai hanya dengan penelitian yang capaiannya sebatas identifikasi. Persoalan air bersih tidak akan tuntas dengan solusi sederhana semacam dengan melakukan kampanye supaya masyarakat tidak membuang sampah sembarangan, supaya masyarakat tidak menggunakan lahan disekitar sungai sebagai tempat tinggal. Memang seringkali pemodal membujuk masyarakat dengan propaganda berwajah humanis: “Untuk hidup sehat hendaknya konsumsilah air yang bersih dan sehat seperti air produksi perusahaan kami.” Mengapa air yang merupakan hasil alami keseimbangan siklus alam dan keberadaannya menjadi bagian dari alam kini hanya menjadi milik orang-orang berduit dan kemudian mereka mengambil seenaknya? Bahkan selanjutnya menjadi makelar air dan menjualnya dengan mahkota harga pada masyarakat yang sebenarnya pemilik sah hak atas air bersih tersebut?
Krisis Kesejahteraan
Krisis air ditandai dengan situasi bukan hanya ketika volume air menipis, namun juga menyangkut pencemaran air, komersialisasi air, akses terhadap air yang sulit maupun regulasi dan sanitasi yang rusak. Seluruh persoalan mengenai air dapat diartikan krisis air, yaitu keberadaan air yang secara berhadap-hadapan merusak alam yang disebabkan oleh faktor intervensi manusia.
Krisis air selama ini berimbas pada krisis harapan untuk hidup. Krisis air telah menyumbang angka kematian sebesar 34,6% terhadap anak-anak khususnya pada negara dunia ketiga. Setiap tahunnya 5.000.000 anak meninggal karena terkena penyakit diare. Bekurangnya persediaan air bersih selain dikarenakan privatisasi air, pengalihan sumber air bagi AC bagi hotel-hotel mewah, air bagi industri perkotaan, air untuk coolant (cairan untuk pendingin mesin), atau terpolusinya air karena timbunan sampah-sampah industri, hingga tidak terelakkan kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas dan anak-anak terperosok menjadi tumbal atas nama pembangunan.
Ancaman berbagai macam zat beracun yang disebabkan oleh limbah industri yang tidak bertanggung jawab terhadap ekologi akan menghancurkan kehidupan penduduk miskin. Dalam hal ini anak-anak sebagai korban pertama yang akan terkena dampaknya, karena anak-anaklah yang paling peka terhadap kontaminasi bahan kimia, selanjutnya pencemaran air yang disebabkan bahan kimia termanifestasi dalam kondisi kesehatan mereka. Misalnya, penyakit polio, diare, kolera akan semakin mudah menyerang anak, dimana mereka hidup pada situasi persediaan air yang tercemar.
Di Indonesia, krisis air menjadi persoalan besar yang tidak kunjung terselesaikan. Jutaan penduduk telah menjadi korban namun sikap pemerintah hingga saat ini belum memberikan respon positif, namun sebaliknya justru kini pemerintah kembali akan mengeluarkan kebijakan baru berupa RUU Penanaman Modal (RUU PM) yang meliberalkan regulasi penanaman modal. Saat ini pemerintah dan DPR sedang berencana mengesahkan RUU PM yang substansinya justru akan berdampak buruk bagi kepentingan masyarakat luas maupun lingkungan.
Substansi RUU PM, misalnya, Pasal 8 memperbolehkan suatu perusahaan menutup dan merelokasi industri dan modal (capital flight). Pada pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai ganti rugi perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ketika perusahaan masih beroperasi. Secara vulgar dan sepihak peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah telah berpihak pada kepentingan pemodal dan mengabaikan psikologis, sosiologis, maupun ekologis masyarakat.
*) Aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar