Senin

Nasib Pengangguran Sarjana

Oleh: Nurfa Rosanti*
Persaingan kerja di Indonesia makin sengit akhir-akhir ini. Bahkan kesempatan mendapatkan pekerjaan di tahun 2007 diperkirakan makin sulit. Pasalnya, lowongan pekerjaan yang tersedia semakin terbatas. Sedangkan persaingan antar calon pencari kerja terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data yang diturunkan Kompas Jatim (22/5) tentang perkembangan angkatan kerja dan kesempatan kerja mempertegas betapa ketatnya persaingan kerja dekade ini. Pada tahun 2007 tercatat sekitar 20.514.867 angkatan kerja. Sedangkan angka kesempatan kerja hanya 19.129.615.
Akibatnya bisa ditebak, deretan pengangguran semakin bertambah panjang. Di Jatim, jumlah pengangguran saat ini mencapai 2,738 juta orang atau sekitar 7,4 persen dari jumlah penduduk sebanyak 37 juta jiwa (Kompas Jatim, 22/5). Ironisnya lagi, 20 persen dari jumlah pengangguran tersebut, sekitar 547.600 orang merupakan lulusan perguruan tinggi yang notabene telah memiliki gelar sarjana. Dan angka tersebut dimungkinkan akan terus meningkat. Pasalnya, hampir tiap tahun perguruan tinggi melakukan wisuda. Bahkan ada perguruan tinggi yang menggelar wisuda tiga kali selama satu tahun.
Padahal kita tahu Jatim memiliki jumlah universitas paling banyak se-Indonesia. Di antara perguruan tinggi itu terdapat perguruan tinggi bergengsi yang kerap menjadi rebutan bagi calon mahasiswa. Sebut saja misalnya, Universitas Airlangga, Institut Tehnologi Sepuluh Nopember, Universitas Jember, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya (eks IKIP Surabaya).
Tentu bukan kabar yang menggembirakan. Terutama bagi perguruan tinggi (PT) di Jatim dan calon sarjananya (baca: mahasiswa). Artinya, PT di Jatim belum mampu meningkatkan mutu pendidikannya sehingga kualitas lulusannya tetap terjaga dan diminati perusahaan-perusahaan pengguna tenaga kerja. Hal itu tentu saja akan menjadi cacatan merah di mata publik.
Sebab saat ini sebuah PT dinilai oleh masyarakat dengan menghitung berapa persen lulusannya menduduki jabatan strategis di lembaga pemerintahan dan perusahaan bergengsi. Selain itu yang juga sangat disoroti publik adalah alumni PT mana yang meraih rekor berpenghasilan tertinggi setelah jangka waktu tertentu selepas kelulusannya.
Memang tak semua PT kemudian lepas tangan terkait permasalahan tersebut. Beberapa PT sudah mengambil langkah taktis untuk menjawab fenomena membludaknya pengangguran sarjana. Di antaranya adalah temu alumni dan pusat karier (carrier center). Sayang kedua langkah itu tak berjalan optimal.
Temu alumni, misalnya. Acara ini kerap digelar hampir sebagian besar PT (bahkan diiklankan di media cetak dan elektronik) Tujuannya bukan hanya sekedar mempererat tali silaturahmi belaka. Lebih dari itu, yakni untuk mendekatkan alumni baru yang belum mendapat kerja dengan alumni generasi tua (terutama yang sudah memiliki posisi strategis di perusahaan penting dan instansi pemerintah). Sehingga peluang mendapatkan kerja bagi alumni baru lebih terbuka lebar.
Sayang acara tersebut tak pernah berakhir sukses. Buktinya undangan yang hadir dalam acara tersebut masih jauh di bawah kuota. Sebab undangan harus merogoh kocek sendiri untuk biaya transport dan penginapan. Bahkan, mantan aktivis pergerakan yang idealismenya masih kental menilai acara itu terkesan berbau KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme).
Tak jauh beda dengan pusat karier. Idealnya, menurut Atkins Wilson dalam buku Entrepreneurship University (2004), pusat karier didesain sebagai salah satu ujud komitmen dan visi PT dalam mengembangkan potensi alumninya bisa dilihat dari sejauh mana perhatian, kepedulian dan tanggung jawab PT terhadap nasib dan masa depan alumninya. Namun kenyataannya jauh panggang daripada api.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas, hanya 15 persen dari 2.423 perguruan tinggi di Tanah Air yang benar-benar atau serius mengembangkan pusat karier. Selebihnya pusat karier tak beda jauh dengan penyediaan kolom job hunting di media masa.
Yang tak kalah gelisah tentu saja para mahasiswa. Kita tahu bahwa orientasi mahasiswa kuliah di PT tak lagi untuk menuntut ilmu semata. Melainkan juga agar mereka semakin mudah mendapatkan pekerjaan. Bisa kita bayangkan betapa besar rasa kecewa mereka, jika teori-teori Alvin Tofler tentang gelombang dunia ketiga, teori Karl Marx tentang Das kapital, Max Weber, atau teori lainnya yang mereka kuasai saat menjadi mahasiswa dulu tak menjamin mereka mudah mendapatkan kerja.
Keadaan ini jelas sebuah ironi. Untuk dapat bersekolah di perguruan tinggi negeri bergengsi, misalnya, mereka tak hanya memeras otak untuk bersaing dalam SPMB, tetapi juga menguras kantong. Sebab untuk dapat menjadi mahasiswa dan mendapatkan selembar ijasah sarjana, uang yang harus dikeluarkan bisa puluhan juta rupiah.
Namun menyalahkan PT sebagai satu-satunya kambing hitam penyebab membludaknya pengangguran sarjana saya rasa bukan tindakan bijak. Bukan rahasia umum lagi kalau kebanyakan mahasiswa selama belajar di PT justru bersikap hedon, konsumerisme, foya-foya dan jadi warga kelas imitasi hasil rekayasa kapitalis, ketimbang mencari dan menemukan jati dirinya (sebagai karunia ilahi) dan mengembangkannya sehingga bisa menjadi sumber penghasilan sampingan sembari mengirim lamaran pekerjaan, misalnya dengan melukis, berdagang, dan menjadi penulis di surat kabar.
Bahkan meski kemudian ijasah sarjana mereka tak laku di dunia kerja, toh pekerjaan sampingan itu bisa ditingkatkan menjadi pekerjaan utama. Sehingga tak perlu ada lagi keluhan mengenai sulitnya peluang kerja bagi para sarjana.
*) Staf pengajar SMP Darussyahid Sampang, Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung