Senin

Puasa dan Kedermawanan Transformatif

TEROPONG
Oleh: Nurani Soyomukti*

Zakat fitrah adalah ibadah untuk menggenapi ibadah di bulan puasa dengan memberikan sebagian hartanya pada kaum miskin dan yang membutuhkan. Meskipun ibadah zakat ini tidak hanya dianjurkan pada akhir bulan puasa, sebelum Hari Raya Idul Fitri, yang harus dipahami bahwa inilah yang merupakan ciri khas ajaran Islam yang mengharuskan membantu orang lain terutama kaum miskin dan tertindas. Dalam Al Quran Allah menekankan kewajiban membayar zakat dan memberikan sedekah, serta membelanjakan sebagian hartanya di jalan yang diridai Allah. Potensi zakat masih sangat besar dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mengentaskan kemiskinan. Karena itu, kesadaran membayar zakat harus terus disuarakan demi membangun bangsa yang adil dan sejahtera. Bahkan ibadah zakat ini sifatnya adalah wajib bila dia sudah memenuhi nisabnya.
Kalau kita cermati, tujuan dari ibadah puasa sama dengan tujuan manusia dalam menjalani proses pendidikan. Puasa adalah ibadah untuk melatih kepekaan batin agar nantinya tercipta jiwa yang suci, fitri, dan dengan demikian diharapkan menghasilkan insan kamil, makhluk yang berkualitas. Tujuan pendidikan juga untuk menciptakan manusia yang berkualitas, peka dan tanggap akan lingkungan sosialnya.
Pendidikan adalah suatu cara untuk menciptakan kualitas manusia. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang dapat menggunakan potensi fisik dan non-fisiknya untuk melihat dan merespon lingkungan sosialnya. Semakin banyak manusia yang berkualitas dalam makna dapat melihat persoalan yang objektif dan itu kemudian dijadikan landasan untuk mengatasi persoalan, maka dapat dipastikan bawa masyarakat kita berjalan secara beradab.
Dalam mencapai tujuan peradaban semacam itu, zakat memiliki manfaat yang besar bila disalurkan untuk pendidikan anak-anak miskin dan terlantar. Di tengah-tengah krisis kebudayaan akibat belum mempunyai pendidikan yang dapat diakses oleh mereka tidak mampu, banyak anak-anak dari kalangan miskin tidak dapat menikmati sekolah. Sebagian dari mereka tidak jarang yang terjerumus ke dalam lembah hitam kebudayaan, memenuhi jalan-jalan dengan menjadi pengemis, perompak, dan juga gelandangan. Kondisi ini menyalahi kodrat manusia yang menurut Islam sebagai fi ahsani taqwim (manusia dalam sebaik-baiknya bentuk), manusia yang tumbuh dan berkembang secara sehati baik fisik maupun psikis (mental).
Makna zakat dalam agama Islam bukan hanya ritualitas yang dilakukan di akhir bulan puasa, tetapi menunjukkan jalan bahwa di antara harta kita itu ada keringat orang-orang miskin. Oleh karenanya memberikan sebagian harta pada orang lain bukan hanya digunakan untuk sekedar memenuhi tuntutan ritualistik, tetapi lebih jauh adalah memahami dan melakukan tindakan agar terjadi transformasi sosial di mana kekayaan yang ada di bumi ini juga harus dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Orang kaya diingatkan jangan terlena oleh harta benda karena kekayaan tidak terjadi dengan sendirinya, dan tidak seharusnya kalau kita memberi ssesuatu pada orang lain lantas kita mengharapkan pujian atau sebutan “dermawan”.
Lebih jauh sebenarnya harus terjadi pembatasan kepemilikan dan kontrol terhadap kegiatan akumulasi kapital (penumpukan kekayaan). Inilah aspek sosialisme Islam yang menginginkan “agar kekayaan itu tidak beredar di tangan orang-orang kaya” (Q.S. al-Hasyr: 7).
Oleh karena itu mustahil untuk memberikan akses bagi anak-anak miskin pada sekolah jika masih terjadi kemiskinan di masyarakat. Komersialisasi pendidikan yang kian brutal akhir-akhir ini adalah hambatan berat bagi demokrasi pendidikan dan demokrasi ekonomi. Dikatakan hambatan bagi demokrasi ekonomi karena pendidikan juga harus dilihat sebagai sarana bagi masyarakat untuk melakukan mobilitas kelas. Jika rakyat miskin hanya dikasih sumbangan dan sedekah, mereka hanya akan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis dan cepat habis. Tetapi jika mereka diberi pendidikan dan ketrampilan, mereka akan mandiri dan hal itu memudahkan mobilisasi kelas atau memperbaiki nasibnya yang malang.
Pandangan seperti itu melihat bahwa antara modal manusia (human capital) dan modal material sama dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi (Shultz, 1963; Anderson, 1965). Tetapi perpektif kapitalistik dalam memandang hubungan antara kemajuan pendidikan dengan pertumbuhan --dan bukan pemerataan-- seperti itu akan mengarahkan pendidikan untuk menciptakan mesin-mesin pertumbuhan. Pada hal yang dibutuhkan sebenarnya adalah keberadaan manusia yang dapat melihat persoalan secara komprehensif, objektif, toleran, dedikatif, dan aktif dalam kegiatan keberadabannya.
Artinya, antara pendidikan dan pembangunan tidak bersifat satu arah; pembangunan juga mempengaruhi perkembangan dan arah pendidikan. Pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi tidak harus membawa perbaikan pada tingkat hidup semua golongan masyarakat, tetapi hanya bagi segelintir orang yang ada; sedang golongan lain tetap mengalami deprivasi (Coombs, 1970), sehingga melahirkan ketidakseimbangan antara produksi pendidikan, misalnya lulusan-lulusan lembaga pendidikan dan kebutuhan pembangunan.
Saat ini kita sedang menghadapi komersialisasi pendidikan. Logika kaum modal adalah mencari keuntungan dan mereka tidak cukup hirau apakah masyarakat terdidik atau tidak. Mereka akan mendukung pendidikan --bahkan membangun lembaga-lembaga pendidikan yang dikomersialkan dan mendukung pemerintah melakukan privatisasi sektor pendidikan-- untuk menciptakan generasi-generasi yang mampu dipergunakan sebagai mesin dan alat kerja kapitalisme.
Hasilnya adalah struktur sosial yang meminggirkan orang-orang lemah (mustadh’afin) karena kapitalisme bersandar pada individualisme, liberalisme, dan hubungan ekonomi yang eksploitatif. Jika zakat dan kedermawanan masih dibayangi logika kapitalistik, ia hanya akan menjadi ritualitas yang tidak memiliki kekuatan trasformatif, tepatnya religious transforming power. Konsepsi Islam tentang pendidikan sebagai solusi kemiskinan tentunya tidak semacam itu. Di negara-negara muslim yang sejahtera seperti Iran, liberalisme ekonomi sangat dijauhi. Negara adalah kekuasaan untuk membatasi penumpukan kekayaan bagi warganya. Terdapat baitul mal yang merupakan lembaga ekonomi yang menjadi kunci untuk mengumpulkan harta yang harus dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Tak heran jika di negara Iran pendidikan adalah suatu kegiatan negara yang dijunjung tinggi. Tidak seperti Indonesia yang justru mencabut subsidi sektor pendidikan dan membiarkan modal swasta dan asing mengeruk kekayaan alam yang ada di negeri ini. Iran dapat dijadikan contoh bagi negara yang mendermakan hartanya untuk pendidikan rakyatnya.
*) Esais dan penyair; pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung