Senin

Wajah Televisi Kita

SOROT
Oleh: M. Husnaini*
Industri pertelevisian hingga detik ini --meminjam istilah Effendi Gazali-- tidak bisa ter(di)lepaskan sama sekali dari tiga kelompok masyarakat; kelompok saudagar, kelompok pekerja dan kelompok penggelisah alias gelisahwan.
Bagi kelompok pertama, yang terpenting adalah tercapainya rating (pemeringkatan dan jumlah penonton) yang melambung tinggi. Baginya, televisi adalah lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi untuk sekedar menjadi saudagar, tidaklah terlalu sulit. Siapapun bisa melakukannya. Tidak mengherankan jika kita mendengar seorang yang tidak begitu dikenal rekam jejaknya dalam dunia media, mendadak meraih sukses dan memiliki beberapa stasiun televisi atau radio.
Memang, dalam kamus saudagar, faktor utama adalah kembalinya modal yang telah dikeluarkan; seberapa cepat dan seberapa besar keuntungan yang bisa diraih. Dari sini, rating kemudian menjadi dewa. Soal apakah nantinya isi tayangan atau siaran itu memberi informasi yang mendidik atau tidak, bukan suatu hal yang amat penting. Hal itu --menurut mereka-- mutlak menjadi urusan negara atau Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Yang terpenting, bisnis lancar dan mendatangkan banyak keuntungan.
Bungkus luar kelompok ini bisa beraneka ragam. Tidak jarang mereka menggunakan kata-kata, seperti “demi Merah Putih” atau program sinetron untuk meningkatkan ketaqwaan. Coba saja lakukan analisis isi pada beberapa sinetron yang diklaim sebagai sinetron religi yang marak menggurita akhir-akhir ini. Berapa menit sebenarnya durasi waktu untuk ayat-ayat suci jika dibandingkan penggambaran proses-proses mistik dan kekerasan.
Bagi saudagar, tidak ada teman abadi. Jika seseorang atau kelompok artis dan pembuat acara sudah dianggap tidak laku jual, praktis mereka akan ditinggalkan. Toh kemilau panggung akan terisi lagi oleh para pendatang baru atau tokoh favorit pilihan rating dan sms dari pemirsa.
Pada titik ini, yang paling cocok bergandeng dengan saudagar adalah kelompok pekerja. Sebagian pemerhati memberi istilah lebih keras, yaitu “kelompok pembantu”. Banyak pengamat menyalahkan mereka. Akibat kelompok pekerja (televisi) tidak mau memberi reaksi signifikan pada pemilik modal, maka kelompok saudagar jadi bebas mendikte apa isi televisi kita. Padahal, para pengamat mestinya maklum bahwa mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Lagi pula mereka juga belum memiliki serikat atau asosiasi yang dapat secara signifikan memayungi serta mendengar apresiasi para pekerja sebagaimana di beberapa negara lain.
Ironis lagi, jika kelompok pekerja sudah termakan hegemoni para saudagar untuk merasa bahwa kepentingan pemilik modal sama dengan kepentingan mereka. Padahal, hal itu hampir tidak pernah terbukti benar adanya. Di Inggris, misalnya, setelah satu dasawarsa deregulasi industri penyiaran pada tahun 1986/1987 sampai 1997, justru 44% pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dan yang meningkat adalah pekerja lepas (freelancer), yaitu dari 39% menjadi 66%.
Gelisahwan
Lalu bagaimana dengan mereka yang selalu gelisah akan wajah televisi tempat di mana mereka bekerja? Harus diakui, kelompok ini tidak eksklusif benar. Anggota kelompok saudagar dan kelompok pekerja bisa saja ada yang merasa gelisah. Wujud keresahan itu bisa beraneka macam. Kita pun sering mendengar kegelisahan insan televisi dari level presiden direktur sampai produser yang terang-terang menyatakan isi program televisi kita saat ini tak lain hanya pembodohan terhadap masyarakat. Karena itu, mereka (di rumah) tidak memperbolehkan anak-anak mereka menonton televisi Indonesia. Sebagai gantinya, mereka berlangganan saluran luar negeri (satelit).
Meski demikian, seseorang baru dapat dianggap sah masuk ke kelompok gelisahwan jika dia berupaya berbuat sesuatu untuk mengungkapkan keresahannya dan berupaya memperbaiki keadaan. Penulis yakin masih ada kegelisahan pada sejumlah nama besar di televisi kita, dari berbagai posisi maupun bidang. Sebut saja misalnya, Karni Ilyas, Handoko, Nurhadi, Wisnu Hadi, Rosiana Silalahi, Agus Parengkuan, Rai Wijaya, dan Apni Jayaputra. Persoalannya, apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki keadaan ini?
Sebagian orang bisa saja berdalih, toh masyarakat kita menerima dan menikmati apa saja yang disuguhkan oleh televisi. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa menghibur diri sampai mati --meminjam istilah Postman, 1986-- adalah salah satu ciri bangsa yang sedang larut dalam pembodohan.
Dengan demikian, mampu merasa gelisah bukan hanya sah, bahkan perlu terus diasah untuk tidak menelan mentah-mentah setiap apa yang disajikan oleh televisi kita yang kian hari kian buruk wajahnya.
*) Penulis lepas asal Lamongan, tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung