Senin

Aborsi Dan Kesucian Kehidupan

REFLEKSI
Oleh: Maya Susiani*

Aborsi menjadi problem pelik kemanusiaan hari ini. Pokok permasalahan yang membuat kita prihatin adalah jumlahnya yang terus meningkat. WHO memperkirakan pada 2006, terjadi sekitar 4,2 juta pengguguran kandungan buatan setiap tahun di Asia Tenggara. Dan, Indonesia diperkirakan melakukan sekitar 750.000-1,5 juta aborsi per tahunnya. Itu baru angka di permukaan. Karena aborsi merupakan fenomena gunung es, maka besar kemungkinan angka pastinya jauh lebih besar daripada yang diperkirakan.
Ada banyak ibu yang meninggal saat melahirkan, termasuk karena mengaborsi kandungannya. Hasil riset Allan Guttmacher Institute melaporkan bahwa setiap tahun di dunia, ada 55 juta bayi digugurkan (1 hari: 150.658 bayi, 1 menit:105 nyawa bayi direnggut). Kenyataan miris juga diungkapkan dalam Buku Fakta yang diterbitkan oleh UNFPA dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2000). Diperkirakan sekitar 2,3 juta tindakan aborsi dilakukan di Indonesia setiap tahun. Kebanyakan dari tindakan aborsi tersebut dilakukan secara tidak aman dan seringkali mengakibatkan kematian ibu sebesar 35-50 persen.
Di dalam koridor hukum sebenarnya sudah jelas bahwa pengguguran kandungan memang dilarang (Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32/1992 tentang Kesehatan dan Pasal 76 UU No.29/1974 tentang Praktik Kedokteran dan Pasal 348 KUHP). Namun, di luar aspek hukum, yang kerap jadi pembenaran adalah alasan medis untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Artinya, di satu sisi aborsi sangat bertentangan dengan agama dan hukum, namun di lain pihak aborsi menjadi alternatif untuk menyelamatkan nasib sang ibu.
Pertanyaannya, akankah kita melegalkan pembunuhan berencana terhadap janin di luar alasan medis yang bisa membahayakan nyawa sang ibu? Tentu tidak! Di luar alasan medis, aborsi tidak boleh dilakukan! Bagaimana pun juga, mereka, para janin itu, tetap berhak melihat indah dunia. Bukankah setiap janin memiliki hak sama untuk hidup dan tumbuh di dunia?
Aborsi adalah penyimpangan etika yang akut. Aborsi membawa sekian konsekuensi etis yang akan mengukur sejauh mana kadar kemanusiaan kita. Sebab, semakin banyak terjadi aborsi, maka semakin rendah penghargaan kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Menyalahi Etika
Dari sudut pandang etika, aborsi berarti melanggar asas penghormatan kepada kehidupan. Dalam etika, prinsip ini dirumuskan sebagai the sanctity of life alias kesucian kehidupan (Bertens, 2003).
Kesucian kehidupan ini harus kita junjung di setiap aras kehidupan. Artinya, menjadi haram hukumnya jika kita mengorbankan manusia hanya karena alasan-alasan yang tak bisa diterima akal.
Proses kehadiran manusia di muka bumi adalah sebuah proses yang suci, sebab sang bayi sesungguhnya seperti kertas putih kosong yang tak bernoda. Tentu, secara hubungan sosial, sang janin tidak mempunyai hubungan dengan orang tuanya. Karena itu aborsi harus dijauhi jika ada orangtua yang menginginkan sang janin diaborsi hanya karena hamil di luar nikah atau takut dicerca di kehidupan sosial.
Selain itu, aborsi sejatinya juga banyak membahayakan nyawa sang ibu atau yang disebut dengan masalah unsafe abortion (aborsi tidak aman). Banyak cara aborsi yang membahayakan karena menyalahi kaidah-kaidah medis.
Bagaimanapun juga, kehidupan manusia adalah suci-murni karena dijamin oleh sebuah prinsip etis yang harus dihormati bersama. Konsekuensinya, jika kita mengakui kehidupan manusia sebagai sebuah proses yang suci-murni, menjadi haram untuk membatalkan kehidupan sang janin meski dia baru seumur jagung.
Prinsip kesucian kehidupan ini sejatinya tidak hanya bermain di ranah etika, melainkan sudah masuk ke dalam sistem hukum sejumlah negara, termasuk Indonesia seperti ditunjukkan dalam beberapa aturan seperti saya sebut di bagian awal tulisan ini. Dalam agama-agama sebenarnya juga sudah diatur bagaimana konsep tentang proses kehidupan ini. Tuhan, dengan Mahabijaksana, telah menciptakan kehidupan ini secara istimewa bagi semua makhluknya tanpa terkecuali. Sehingga, tak ada alasan bagi kita untuk menggugat ciptaan Tuhan.
Selain itu, aborsi yang dilakukan di luar alasan medis untuk menyelamatkan sang ibu, juga menyalahi prinsip dasar etika profesi medis. Jamak diketahui jika etika profesi medis sangat menjunjung tinggi proses kehidupan. Hal tersebut bisa dilacak dari Sumpah Hippokrates, tokoh yang dijuluki bapak ilmu kedokteran. Hippokrates telah memberi panduan moral yang begitu tegas dalam menjalankan profesi sebagai tenaga medis. Sumpah Hippokrates itu berbunyi, “Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun bila orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga aku tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif. Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku.” Sumpah Dokter Indonesia juga sudah merumuskan masalah ini dengan kalimat. “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.”
Sumpah Hippokrates di atas kian mengafirmasi bahwa aborsi adalah sebuah tindakan yang tidak menghargai kehidupan. Nyata sudah bahwa lewat sumpah Hippokrates ini, para tenaga medis seharusnya mencintai kehidupan dan tidak memihak kepada kematian. Sumpah inspiratif dari Hippokrates tersebut membuktikan bahwa dari segala aras kehidupan, mulai agama, etika, hingga kedokteran, aborsi adalah praktik yang jahat.
Mulai hari ini kita harus memasifkan kampanye antiaborsi ini di kalangan generasi muda yang sudah dilanda liberalisme budaya di segala bidang. Percayalah, kehidupan kita tidak akan hancur hanya karena kita mempunyai anak.
Mari kita hargai proses kehidupan ini. Prinsip kita: mereka, para janin itu, juga berhak melihat indah dunia. Jika prinsip ini ditanggalkan, maka kita akan menghancurkan kebudayaan kita sendiri. Ironis, bukan?
*)Koordinator Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial (KiPaS), tinggal di Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung