Selasa

Gara-gara Ulah Pers, Konflik Politik Jadi Konflik Agama



PENGANTAR REAKSI: Forum internasional diselenggarakan Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia bekerja sama dengan UNESCO, yang melibatkan sekitar 300 peserta dari 30 negara di Jimbaran, Bali mengusung tema "The Power of Peace: Using the Tools of Information and Communication" (Memanfaat Peralatan Media untuk Perdamaian Global) telah berakhir, 21 – 23 Januari 2007. Peran media massa untuk menciptakan perdamaian menjadi tugas mahapenting bagi pekerja pers saat ini, ketika perang dan konflik kian membara di berbagai negara dan daerah. Konflik bisa semakin rawan karena pemberitaan yang tidak berimbang, bahkan pemberitaan yang sesat. Saatnya jurnalis menjadi juru damai lewat ujung pena. Berikut laporan wartawan Koran Pak Oles Beny Uleander yang mengikuti pertemuan tersebut.


Sejarah mencatat konflik dan peperangan di berbagai belahan dunia kerap dipicu oleh pemberitaan media yang provokatif. Benar, apa kata Napoleon Bonaparte, “Saya lebih takut pena wartawan daripada ujung bayonet.” Ungkapan populer ini kembali diucap Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutan Pertemuan Internasional Bali Global Forum, 21-23 Januari 2007 di Rizt Carlton Hotel, Jimbaran, Bali.
Wapres Jusuf Kalla secara tegas dalam konteks lokal berharap, konflik sosial politik, ekonomi dan budaya harus diberitakan secara arif. Sebab, selama ini berbagai konflik yang terjadi di Indonesia akhirnya bermuara pada konflik agama. ''Efek yang ditimbulkan media jauh lebih powerfull dibandingkan apa pun, tetapi kemampuan ini bisa berakibat baik maupun buruk. Sebab, selain merupakan kunci utama dalam perdamaian, media juga bisa digunakan sebagai alat pemicu konflik,'' katanya.
Menkominfo Sofyan A Djalil dalam diskusi panel soal praktek rekonsiliasi dan resolusi konflik menuju proses perdamaian, mendukung pernyataan Wapres Kalla. Diungkapkan. perundingan damai di Aceh pernah terancam gagal karena pemberitaan pers cenderung ‘diplintir’ atau ditanggapi secara keliru. “Saya sempat disuruh untuk diam tidak berbicara kepada pers soal hasil perundingan damai pemerintah RI dengan GAM,” ungkapnya.
Dari acara yang berlangsung tiga hari tersebut, para peserta dari berbagai negara mengungkapkan langkah strategis yang telah mereka tempuh guna merajut perdamaian dunia. Menarik bahwa berbagai peristiwa perang dan konflik di dunia ada yang diprovokasi oleh media dan ada juga perang yang akhirnya berhenti karena penerapan jurnalisme damai, seperti perang Arab-Israel dan perang Iran – Iraq . Dari fakta ini, pers memiliki kekuatan sebagai media sosial yang bisa membantu terwujudnya pilar-pilar perdamaian dalam sebuah konflik sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama.
Asisten Direktur Jenderal Bidang Komunikasi dan Informasi UNESCO, Abdul Waheed Khan mensinyalir banyak kekuatan untuk berperang atau berkonflik bisa dilawan dengan menggunakan kekuatan media massa dalam mendorong terwujudnya perdamaian. Konflik itu terjadi akibat kekurangpemahaman dan ketidakmengertian satu sama lain, sehingga tidak mau bersatu dan bersama. Untuk itu, media diharapkan mampu menciptakan suasana damai, sehingga satu sama lain dapat bersatu. "Kita mempunyai konflik dan berbagai macam konflik, yang keduanya saling bersaing. Media massa itu sebetulnya netral, tergantung bagaimana cara memanfaatkannya," ujar Abdul Waheed Khan.

(Rekomendasi Forum Media Global)
1. Membuat Power Peace Network yang bisa menjadi jaringan sumber berita untuk memproduksi dan menyebarkan berita. Tujuannya untuk mempromosikan perdamaian di seluruh dunia dengan mengandalkan peran media massa untuk perdamaian.
2. Melibatkan generasi muda untuk aktif melakukan aktivitas yang bertujuan damai.
Power Peace Network harus bisa diakses secara global yang menghormati perbedaan budaya dan bahasa.
KET. Rekomendasi ini akan dibahas dalam sidang umum PBB dan nantinya akan menjadi rekomendasi (tawaran) acuan pembentukan UU pers di setiap negara.

1 komentar:

Kresna A mengatakan...

Memang semua yang ada dalm kata-pers tak selamanya bisa menjadi pembangun bagi masyarakat, atau pun bagi para pembaca, informasi yang disampaikan sering kali malah memperburuk apa yang ada seperti halnya yang dikatakan wakil Presiden Yusuf kalla, yang disebabkan adanya "kenakalan" pers.
Semua masih perlu bnyak di benahi. adanya pers yang ,masih mencari dan mengkeruk keuntungan dalam tulisan penanya menjadikan hal buruk ini kan terus berlangsung.
Hingga Kita dan Indonesia telah siap mencapai hukum pers masa depan.

Statistik pengunjung