Selasa

“Jangan Profilkan Pemikiran Kelompok Radikal”

Prof Dr Azyumardi Azra, MA

Salah satu cara memerankan jurnalisme damai dengan tidak memberitakan secara rutin pemikiran kelompok garis keras atau kelompok radikal. Hal ini dikemukakan Prof Dr Azyumardi Azra, MA mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi panel Bali Global Forum. Berikut petikan wawancara wartawan Koran Pak Oles Beny Uleander dengan tokoh intelektual Islam tersebut;

Bagaimana Anda melihat peran pers di Indonesia dalam mencegah atau meminimalisir konflik horizontal di Indonesia?

Sejak zaman reformasi, media kita mengalami kebebasan pers. Pada saat yang sama kebebasan pers harus tetap digunakan dalam kerangka etis dan moral, khusus dalam upaya penciptaan perdamaian. Apalagai sejak tahun 1997, negara kita amat rentan terhadap konflik-konflik sosial, politik, ekonomi yang bersifat horizontal. Seringkali konflik itu ada warna keagamaan meskipun asal muasal konflik itu bersumber pada persaingan politik, ekonomi, sosial dan budaya, seperti kita lihat di Ambon, Posos dan sebagainya.
Dalam mengatasi konflik itu, kekebasan pers itu hendaknya dikombinasikan dengan apa yang kita sebut peace journalism atau jurnalisme perdamaian. Secara konseptual dan sistematis, media massa mengusahakan dirinya untuk berperan di dalam penciptaan perdamaian.

Caranya bagaimana?

Pertama, misalnya, media tidak lagi memandang bahwa berita itu adalah hard news is the good news. Sekarang paradigmanya begitu. Kekerasan, pembunuhan, perang, konflik, perkelahian, atau pendudukan kantor-kantor itulah dianggap berita yang sebenarnya. Dan, berita seperti itu selalu ditempatkan sebagai headline. Sekarang paradigma seperti itu harus diubah. Menurut saya, hal itu boleh saja tetap diberitakan, tetapi tidak lagi di halaman pertama atau tidak lagi pada item pertama di dalam breaking news berita petang di tivi atau ditempatkan paling akhir pemberitaan sehingga memberitahukan kepada masyarakat bahwa berita itu perlu kita ketahui tetapi bukan suatu hal yang sangat utama.
Kedua, idealisme peace jurnalism bisa diwujudkan dengan tidak memberikan kesempatan lebih besar kepada kelompok-kelompok yang bertikai atau para pemimpin gerakan radikal untuk tampil di media-media. Kita lihat, para pemimpin yang radikal, yang tidak kondusif bagi persatuan bangsa itulah yang sering diwawancarai dan dimuat beritanya di koran atau televisi. Mereka diwawancarai secara panjang lebar, sementara pemimpin civil society yang sesungguhnya sangat concern dengan perdamaian dan kesatuan bangsa jarang sekali diberikan tempat. Misalnya, untuk menjelaskan mengenani isu jihad lebih banyak diwawancarai tokoh-tokoh atau orang-orang yang memang bagi dia jihad adalah memerangi siapa saja. Nah, harusnya kita menanyakan pendapat orang yang lebih representatif atau lebih mewakili mayoritas mainstream; arus utama masyarakat, tetapi mereka jarang sekali diberikan kesempatan.

Bukankah kelompok radikal juga membuat media informasi sendiri?

Memang ada gejala munculnya media yang sangat partisan dan sektarian, tetapi saya kira dalam kaitannya dengan kebebasan pers kita tidak bisa melarang media seperti itu. Jadi dibiarkan saja adanya media tersebut.
Tapi saya sangat yakin pembaca dari media-media seperti itu sangat terbatas, kecil. Karena namanya kelompok radikal biasanya selalu kecil karena orang radikal selalu secara sosiologis dari dulu sampai sekarang mereka merupakan kelompok sempalan. Jika dibiarkan dengan sendirinya mereka akan mati tapi harus diikuti dengan memperbaiki faktor-faktor seperti kemampuan negara untuk menegakan hukum, negara bisa melindungi warganya dari kelompok yang main hakim sendiri dan pemerintah memiliki polisi yang tegas dan berani membawa orang yang melanggar hukum ke pengadilan. Nantinya kelompok radikal itu akan berkurang jumlahnya atau hilang sama sekali. Jadi persoalan ini terkait dengan pembenahan di berbagai sektor lainnya.

Tapi upaya dialog tetap harus dilakukan. Bukankah aksi kekerasan mereka terjadi karena sering dipinggirkan?

Itu mungkin salah satu faktor (dipinggirkan dalam dialog). Karena itu kelompok mainstream (mayoritas) harus berusaha semaksimal mungkin melakukan berbagai dialog dengan berbagai cara dan pada berbagai level (dengan kelompok radikal) agar (mereka) tidak cepat melakukan tindakan-tindakan yang pada ujung bisa berpuncak pada kekerasan. Jadi dialog-dialog tetap penting dengan kelompok radikal atau sempalan.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung