OLEH: WURI WIGUNANINGSIH
Bagi masyarakat di Pulau Jawa, jamu bukanlah hal baru. Sebelum mengenal obat kimia, banyak warga yang sudah mengandalkan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan sebuah penyakit. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat misalnya, obat-obat tradisional sudah diproduksi massal dengan kemasan dan pemasaran yang professional.
Di Jawa Timur, ada beberapa pengusaha jamu yang produksi secara pabrikan seperti Dayang Sumbi di Mojokerto. Secara umum, obat-obatan tradisional di daerah ini diproduksi secara industri rumahan, dengan pemasaran dan kemasan yang sangat sederhana.
Jamu industri rumahan biasanya berbentuk cairan dan tidak menggunakan bahan pengawet. Dari segi jenis, hanya ada sedikit yang bersifat umum dan biasa dikonsumsi masyarakat. Seperti beras kencur, kunir asem, sirih kunci, sinom dan temulawak. Proses pembuatan terbilang sederhana dengan mengandalkan aneka tanaman yang tumbuh di sekitar pekarangan. Dari Pekarangan itu, aneka tanaman dibersihkan dan dimasukkan ke dalam air yang sudah tercampur gula merah. Sarinya diambil dan dimasukkan dalam botol-botol bekas air mineral ukuran tanggung. Dalam kemasan itu, obat tradisional sudah jadi dan siap dipasarkan.
Karena bisa diracik di rumah oleh segelintir orang sebagai kerja sampingan, produksinya selalu fluktuatif. Dalam sehari, bisa dihasilkan jamu sebanyak 100 botol. Kemasan jamu dalam botol itu lalu dijual saat pertemuan ibu-ibu PKK atau arisan ibu-ibu rumah tangga. ‘’Kita tidak pernah promosi di media. Biasanya promosi hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Lalu banyak yang pesan,’’ kata Sujiana, seorang pengusaha obat tradisional Sarinah.
Lain Sujiana lain pula Siswati. Ia kebagian memasarkan jamu-jamu secara berkeliling. Jenis jamu yang dipasarkan keliling itu hampir sama dengan yang diproduksi Sujiana. Setiap pagi, Siswati bersama delapan temannya mengambil beberapa jenis jamu dari seorang produsen jamu. Mereka ditugaskan untuk menjual jamu dari rumah ke rumah dengan mendayung sepeda pancel. Juga ada yang menggendong jamu sembari menyusuri perkampungan.
Meski begitu, ada yang langsung menjual jamu ke pasar-pasar tradisional, dan belum ada rencana memasarkan ramuan obat tradisional itu ke pasar-pasar swalayan. Selain administrasi yang diperlukan cukup rumit, juga para pedagang dan pemilik jamu tradisional ini enggan mendaftarkan produk jamu ke Depkes dan BPOM. Meski begitu, sudah banyak jenis jamu yang terjual di swalayan.
Bagi masyarakat di Pulau Jawa, jamu bukanlah hal baru. Sebelum mengenal obat kimia, banyak warga yang sudah mengandalkan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan sebuah penyakit. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat misalnya, obat-obat tradisional sudah diproduksi massal dengan kemasan dan pemasaran yang professional.
Di Jawa Timur, ada beberapa pengusaha jamu yang produksi secara pabrikan seperti Dayang Sumbi di Mojokerto. Secara umum, obat-obatan tradisional di daerah ini diproduksi secara industri rumahan, dengan pemasaran dan kemasan yang sangat sederhana.
Jamu industri rumahan biasanya berbentuk cairan dan tidak menggunakan bahan pengawet. Dari segi jenis, hanya ada sedikit yang bersifat umum dan biasa dikonsumsi masyarakat. Seperti beras kencur, kunir asem, sirih kunci, sinom dan temulawak. Proses pembuatan terbilang sederhana dengan mengandalkan aneka tanaman yang tumbuh di sekitar pekarangan. Dari Pekarangan itu, aneka tanaman dibersihkan dan dimasukkan ke dalam air yang sudah tercampur gula merah. Sarinya diambil dan dimasukkan dalam botol-botol bekas air mineral ukuran tanggung. Dalam kemasan itu, obat tradisional sudah jadi dan siap dipasarkan.
Karena bisa diracik di rumah oleh segelintir orang sebagai kerja sampingan, produksinya selalu fluktuatif. Dalam sehari, bisa dihasilkan jamu sebanyak 100 botol. Kemasan jamu dalam botol itu lalu dijual saat pertemuan ibu-ibu PKK atau arisan ibu-ibu rumah tangga. ‘’Kita tidak pernah promosi di media. Biasanya promosi hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Lalu banyak yang pesan,’’ kata Sujiana, seorang pengusaha obat tradisional Sarinah.
Lain Sujiana lain pula Siswati. Ia kebagian memasarkan jamu-jamu secara berkeliling. Jenis jamu yang dipasarkan keliling itu hampir sama dengan yang diproduksi Sujiana. Setiap pagi, Siswati bersama delapan temannya mengambil beberapa jenis jamu dari seorang produsen jamu. Mereka ditugaskan untuk menjual jamu dari rumah ke rumah dengan mendayung sepeda pancel. Juga ada yang menggendong jamu sembari menyusuri perkampungan.
Meski begitu, ada yang langsung menjual jamu ke pasar-pasar tradisional, dan belum ada rencana memasarkan ramuan obat tradisional itu ke pasar-pasar swalayan. Selain administrasi yang diperlukan cukup rumit, juga para pedagang dan pemilik jamu tradisional ini enggan mendaftarkan produk jamu ke Depkes dan BPOM. Meski begitu, sudah banyak jenis jamu yang terjual di swalayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar