SOROT
OLEH: Nurul Widyawati*
Tragedi penembakan petani Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan pada 30 Mei 2007 harus dipandang secara luas sebagai bagian dari 2800 kasus tanah secara nasional yang hingga hari ini belum tuntas. Insiden jelang Hari Kelahiran Pancila yang menewaskan 4 warga Alas Tlogo ini dipicu oleh persengketaan tanah seluas 3.569,205 hektar, yang tersebar di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Branang, Gejugjati, Tamping, dan Alastlogo, yang tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Nguling dan Kecamatan Lekok.
Menurut keterangan pihak TNI AL, tanah itu telah dibeli dengan harga Rp 77.658.210 yang pembayarannya telah diselesaikan pada tahun 1963, namun masih ada penduduk yang belum mau pindah karena merasa ditipu oleh TNI AL yang pada perjanjian awalnya akan menggunakan tanah itu untuk kepentingan bersama (antara AL-warga) serta akan dibangun Lembaga Pendidikan TNI-AL.
Janji tinggal janji, bahkan pada tahun 1966 tanah itu mulai dikelola oleh Puskopal untuk ditanami pohon jarak dan palawija. Program itu berjalan hingga tahun 1982. Pada tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan KSAL No. Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984, menunjuk Puskopal untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja dengan cara menyewakannya pada PT Grati Agung untuk dijadikan perkebunan tebu dan mangga yang jauh dari misi awal pembelian tanah itu.
Tahun 1993, terbit sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676,335 hektar (36.763.350 meter persegi). Pada 20 November 1993, Bupati Pasuruan saat itu mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya No. 050/769/43/51/1993 perihal usulan permukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Surat tersebut ditindaklanjuti, di mana Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL No. 050/003/431.097/1998 tanggal 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan tanah seluas 500 meter persegi/KK.
Kekecewaan warga itu memuncak pada 19 Agustus 1998. Mereka menuntut pengembalian tanah yang telah dibeli TNI AL dan menggugat melalui Pengadilan Negeri Pasuruan. Hasilnya, pada 4 November 1999 sengketa tanah tersebut diputus oleh PN Pasuruan dengan putusan No 02/PDT.G/1999/ PN bahwa gugatan warga tidak dapat diterima. Secara formal TNI AL mempunyai sertifikat hak atas tanah Grati hasil pembebasan tanah melalui Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (PTUN) pada tahun 1960–1963. Mulai saat itu, muncul aksi-aksi lanjutan, seperti yang terjadi pada 23 September 2001, warga marah karena merasa ditipu atas penggunaan tanah tersebut.
Kekecewaan, kemangkelan, dan kemarahaan warga sudah tidak tertahan lagi, ketika pada 30 Mei 2007 PT Rajawali Nusantara yang menyewa tanah itu untuk perkebunan hingga 2018 membawa marinir dan buldoser, merusak tanaman warga yang ada di kawasan itu. Warga yang berdatangan dibrondong dengan peluru tajam yang mengakibatkan 4 tewas dan puluhan lain luka-luka.
Tragedi kemanusian Alas Tlogo yang merupakan bagian dari serentetan pemerkosaan hak warga atas tanah oleh militer di seluruh Indonesia merupakan bagian takterpisahkan dari tragedi pelanggaran HAM. Karena itu semestinya Komnas HAM tidak perlu mengindahkan Panglima TNI yang terkesan melindungi anak buahnya dengan cara tidak memperbolehkan Komnas HAM untuk memeriksa 13 tersangka penembakan petani Alas Tlogo. Bila kesalahan-kesalahan semacam ini terus dimakfu (dimaafkan) pada akhirnya negara ini akan menjadi tempat subur untuk menumbuhkembangkan pelanggaran HAM.
Kasus penembakan petani Alas Tlogo tidak bisa dipandang sebagai kasus biasa sehingga penyelesaiannya hanya dilakukan melalui pengadilan militer sebagaimana kasus-kasus pelanggaran lainnya. Sebab di samping pengadilan militer ini sangat tertutup bagi akses publik sehingga tidak ada garansi dapat diselesaikan secara obyektif, fair, dan adil. Di sisi lain, kasus ini telah memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah. Bahkan, petani yang selama ini menggantungkan hidupnya pada lahan perkebunan (yang hingga kini masih sengketa) seperti di daerah Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Barat) ramai-ramai menuntut legalitas sertifikat tanahnya yang tidak pernah diakui pengadilan.
Untuk mengurai kerumitan ini, pemerintah semestinya melakukan langkah-langkah; pertama, membentuk Tim Pencari Fakta dan Tim Penyelesaian Sengketa Agraria untuk mengkaji ulang secara jujur, adil, dan berpihak pada rakyat pada 2800 kasus tanah di Indonesia dengan segera, khususnya yang terjadi di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan.
Kedua, melarang TNI berbisnis apalagi menyewakan tanah negara pada pihak swasta sebab ini bertentangan dengan pasal 39 UU No. 34/2004 tentang TNI.
Ketiga, menggerakan kembali pendulum reformasi agraria yang sempat terhenti di masa awal era reformasi (2001).
Keempat, melakukan penataan kembali sertifikat tanah yang carut-marut dan telah kehilangan fungsi sosialnya sebagaimana diamanatkan UU No 5 tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria.
Keempat hal yang mendesak untuk dilakukan pemerintah ini harus dibingkai dalam asas penumbuhan kembali rasa harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai kasus Alas Tlogo dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hanya mengutamakan profit semata (pengusaha), sementara kehidupan TNI dan rakyat akan terus berada dalam pusaran konflik. Pada titik inilah kesanggupan pemerintah untuk mengurai kasus Alas Tlogo secara jujur sangat diharapkan.
*) Dosen Tetap STAIN Jember, Kampus Stain Jl Mataram No 34 Jember
OLEH: Nurul Widyawati*
Tragedi penembakan petani Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan pada 30 Mei 2007 harus dipandang secara luas sebagai bagian dari 2800 kasus tanah secara nasional yang hingga hari ini belum tuntas. Insiden jelang Hari Kelahiran Pancila yang menewaskan 4 warga Alas Tlogo ini dipicu oleh persengketaan tanah seluas 3.569,205 hektar, yang tersebar di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Branang, Gejugjati, Tamping, dan Alastlogo, yang tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Nguling dan Kecamatan Lekok.
Menurut keterangan pihak TNI AL, tanah itu telah dibeli dengan harga Rp 77.658.210 yang pembayarannya telah diselesaikan pada tahun 1963, namun masih ada penduduk yang belum mau pindah karena merasa ditipu oleh TNI AL yang pada perjanjian awalnya akan menggunakan tanah itu untuk kepentingan bersama (antara AL-warga) serta akan dibangun Lembaga Pendidikan TNI-AL.
Janji tinggal janji, bahkan pada tahun 1966 tanah itu mulai dikelola oleh Puskopal untuk ditanami pohon jarak dan palawija. Program itu berjalan hingga tahun 1982. Pada tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan KSAL No. Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984, menunjuk Puskopal untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja dengan cara menyewakannya pada PT Grati Agung untuk dijadikan perkebunan tebu dan mangga yang jauh dari misi awal pembelian tanah itu.
Tahun 1993, terbit sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676,335 hektar (36.763.350 meter persegi). Pada 20 November 1993, Bupati Pasuruan saat itu mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya No. 050/769/43/51/1993 perihal usulan permukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Surat tersebut ditindaklanjuti, di mana Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL No. 050/003/431.097/1998 tanggal 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan tanah seluas 500 meter persegi/KK.
Kekecewaan warga itu memuncak pada 19 Agustus 1998. Mereka menuntut pengembalian tanah yang telah dibeli TNI AL dan menggugat melalui Pengadilan Negeri Pasuruan. Hasilnya, pada 4 November 1999 sengketa tanah tersebut diputus oleh PN Pasuruan dengan putusan No 02/PDT.G/1999/ PN bahwa gugatan warga tidak dapat diterima. Secara formal TNI AL mempunyai sertifikat hak atas tanah Grati hasil pembebasan tanah melalui Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (PTUN) pada tahun 1960–1963. Mulai saat itu, muncul aksi-aksi lanjutan, seperti yang terjadi pada 23 September 2001, warga marah karena merasa ditipu atas penggunaan tanah tersebut.
Kekecewaan, kemangkelan, dan kemarahaan warga sudah tidak tertahan lagi, ketika pada 30 Mei 2007 PT Rajawali Nusantara yang menyewa tanah itu untuk perkebunan hingga 2018 membawa marinir dan buldoser, merusak tanaman warga yang ada di kawasan itu. Warga yang berdatangan dibrondong dengan peluru tajam yang mengakibatkan 4 tewas dan puluhan lain luka-luka.
Tragedi kemanusian Alas Tlogo yang merupakan bagian dari serentetan pemerkosaan hak warga atas tanah oleh militer di seluruh Indonesia merupakan bagian takterpisahkan dari tragedi pelanggaran HAM. Karena itu semestinya Komnas HAM tidak perlu mengindahkan Panglima TNI yang terkesan melindungi anak buahnya dengan cara tidak memperbolehkan Komnas HAM untuk memeriksa 13 tersangka penembakan petani Alas Tlogo. Bila kesalahan-kesalahan semacam ini terus dimakfu (dimaafkan) pada akhirnya negara ini akan menjadi tempat subur untuk menumbuhkembangkan pelanggaran HAM.
Kasus penembakan petani Alas Tlogo tidak bisa dipandang sebagai kasus biasa sehingga penyelesaiannya hanya dilakukan melalui pengadilan militer sebagaimana kasus-kasus pelanggaran lainnya. Sebab di samping pengadilan militer ini sangat tertutup bagi akses publik sehingga tidak ada garansi dapat diselesaikan secara obyektif, fair, dan adil. Di sisi lain, kasus ini telah memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah. Bahkan, petani yang selama ini menggantungkan hidupnya pada lahan perkebunan (yang hingga kini masih sengketa) seperti di daerah Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Barat) ramai-ramai menuntut legalitas sertifikat tanahnya yang tidak pernah diakui pengadilan.
Untuk mengurai kerumitan ini, pemerintah semestinya melakukan langkah-langkah; pertama, membentuk Tim Pencari Fakta dan Tim Penyelesaian Sengketa Agraria untuk mengkaji ulang secara jujur, adil, dan berpihak pada rakyat pada 2800 kasus tanah di Indonesia dengan segera, khususnya yang terjadi di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan.
Kedua, melarang TNI berbisnis apalagi menyewakan tanah negara pada pihak swasta sebab ini bertentangan dengan pasal 39 UU No. 34/2004 tentang TNI.
Ketiga, menggerakan kembali pendulum reformasi agraria yang sempat terhenti di masa awal era reformasi (2001).
Keempat, melakukan penataan kembali sertifikat tanah yang carut-marut dan telah kehilangan fungsi sosialnya sebagaimana diamanatkan UU No 5 tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria.
Keempat hal yang mendesak untuk dilakukan pemerintah ini harus dibingkai dalam asas penumbuhan kembali rasa harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai kasus Alas Tlogo dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hanya mengutamakan profit semata (pengusaha), sementara kehidupan TNI dan rakyat akan terus berada dalam pusaran konflik. Pada titik inilah kesanggupan pemerintah untuk mengurai kasus Alas Tlogo secara jujur sangat diharapkan.
*) Dosen Tetap STAIN Jember, Kampus Stain Jl Mataram No 34 Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar