REFLEKSI
OLEH: DINDA DEWI WARSNA*
Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa kaum perempuan menjadi fenomena memprihatinkan di tahun 2006. Meski kita telah memiliki UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, namun masih mudah untuk menemukan kisah-kisah kekerasan tragis dalam keluarga di berbagai pemberitaan di media massa.
Dalam kunjungan kerja di Maluku, 14 – 17 September 2006, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengatakan bahwa upaya pemberdayaan perempuan untuk menangkal tingginya KDRT masih terkendala sulitnya menjangkau perempuan di lapisan sosial ekonomi bawah. Faktanya, kaum perempuan di level tersebut justru menjadi obyek tindak kekerasan ekonomi. Sejak melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga barang dan jasa serta membengkaknya jumlah pengangguran di tanah air, sekitar 70-an ribu anak telah dijual orangtuanya dalam kasus human trafficking karena tidak sanggup membiayai hidup keluarganya.
Prestasi Komnas Perempuan
Sejak 10 tahun terakhir, bermunculan berbagai organisasi perempuan Indonesia yang anti kekerasan terhadap kaum hawa ini. Misalnya, Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia (GAKTPI). Ketika terjadi tragedi perkosaan massal dalam Kerusuhan Mei tahun 1998, sejumlah komponen pergerakan perempuan yang menamakan dirinya Masyarakat Antikekerasan terhadap Perempuan mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas tragedi HAM yang menggegerkan itu. Desakan tersebut melahirkan keputusan pemerintah untuk membentuk Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pasca-pembentukan Komnas Perempuan ini, pertumbuhan gerakan antikekerasan terhadap perempuan tampak kian marak. Hal ini ditandai munculnya berbagai organisasi perempuan yang peka terhadap masalah HAM dan isu kekerasan. Komnas Perempuan mencatat sekitar 312 organisasi yang menangani isu kekerasan terhadap perempuan. Perkembangan positif dari pergerakan kaum perempuan yang dimotori Komnas Perempuan adalah dengan disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Namun dalam implementasinya, pengesahan UU Penghapusan KDRT ini masih terbentur banyak kendala, terutama terkait kesiapan birokrasi pemerintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang diatur dalam Pasal 12 s.d. Pasal 14. Sikap lamban aparat kepolisian juga nampak dalam menangani korban-korban KDRT seperti ditegaskan pada Pasal 1 s.d. Pasal 20. Sayangnya, dalam UU Penghapusan KDRT juga tidak diatur peran, fungsi, dan tanggung jawab kejaksaan maupun kehakiman. Padahal sudah menjadi rahasia umum, kedua institusi hukum tersebut sering terperangkap oleh ulah mafia peradilan.
Kekuatan Komunitas Basis
Meski demikian, UU Penghapusan KDRT ini memiliki urgensi dan arti penting yang strategis, karena posisinya sebagai basis untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya tatanan sosial yang adil dan tanpa diskriminasi. Prioritas agenda saat ini adalah membentuk atau menjadikan komunitas pergerakan perempuan dengan kesadaran politik yang berperspektif feminis.
Seperti kita ketahui, kuatnya akar budaya patriarki telah menjadikan kaum perempuan sebagai subordinat kaum pria. Akibatnya, secara psikis dan sosiologis membentuk pola berpikir dan berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip yang selama ini diakui dalam tatanan sosial yang patriarkis. Budaya patriarki yang determinan memunculkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Perlawanan akan terjadi di tingkat basis bila muncul komunitas perempuan dengan pemahaman kuat atas kebutuhan maupun persoalan diri mereka disertai upaya membangun solidaritas sesama kaum perempuan maupun elemen-elemen lain yang pro visi keperempuanan. Maka, komunitas perempuan dengan kesadaran politik keperempuanan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Komunitas perempuan dengan kesadaran dan visi keperempuanan hendak melakukan perubahan dengan berdiri di atas kepentingan perempuan sebagai basis “ideologi”. Termasuk meletakkan posisinya sebagai pembela HAM, terutama dalam kasus-kasus KDRT.
Pembentukan komunitas perempuan berperspektif feminis bisa dimulai dengan menggugah kesadaran politik di tingkat basis lewat upaya membangun pemahaman yang utuh tentang berbagai hal yang menjadi hak-hak sosial, politik maupun ekonomi. Hal ini dikenal sebagai hak-hak asasi perempuan (HAP). Pemilihan beserta penguatan komunitas perempuan di tingkat basis merupakan target, karena pada level inilah pembiasan atau penyunatan informasi paling rentan terjadi. Pemahaman perempuan akan hak-haknya di tingkat basis tersebut, diyakini bakal meningkatkan kontrol terhadap situasi ketidakadilan yang melingkupinya. Bersamaan dengan penyadaran akan pentingnya HAP ini diharapkan kelak bisa muncul inisiatif untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak tersebut.
Di sini media massa jelas memainkan peranan penting. Sebab media massa mampu membangun wacana tentang penguatan HAP secara berkelanjutan dengan melakukan blow up terhadap isu kekerasan berbasis gender. Blow up di tingkat media ini akan menjadi jembatan efektif untuk membangun solidaritas di kalangan komunitas perempuan itu sendiri. Bersamaan tumbuhnya kesadaran HAP di tingkat akar rumput itulah kita lakukan penguatan-penguatan kelembagaan kaum perempuan. Dengan demikian, kita bisa memperluas jaringan atau organisasi perempuan, bahkan mampu meningkatkan bargaining position dalam memperjuangkan penegakan HAM, terutama untuk mencekal kasus KDRT.
*) Pemerhati masalah wanita dan anak, domisili di Jakarta.
OLEH: DINDA DEWI WARSNA*
Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa kaum perempuan menjadi fenomena memprihatinkan di tahun 2006. Meski kita telah memiliki UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, namun masih mudah untuk menemukan kisah-kisah kekerasan tragis dalam keluarga di berbagai pemberitaan di media massa.
Dalam kunjungan kerja di Maluku, 14 – 17 September 2006, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengatakan bahwa upaya pemberdayaan perempuan untuk menangkal tingginya KDRT masih terkendala sulitnya menjangkau perempuan di lapisan sosial ekonomi bawah. Faktanya, kaum perempuan di level tersebut justru menjadi obyek tindak kekerasan ekonomi. Sejak melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga barang dan jasa serta membengkaknya jumlah pengangguran di tanah air, sekitar 70-an ribu anak telah dijual orangtuanya dalam kasus human trafficking karena tidak sanggup membiayai hidup keluarganya.
Prestasi Komnas Perempuan
Sejak 10 tahun terakhir, bermunculan berbagai organisasi perempuan Indonesia yang anti kekerasan terhadap kaum hawa ini. Misalnya, Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia (GAKTPI). Ketika terjadi tragedi perkosaan massal dalam Kerusuhan Mei tahun 1998, sejumlah komponen pergerakan perempuan yang menamakan dirinya Masyarakat Antikekerasan terhadap Perempuan mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas tragedi HAM yang menggegerkan itu. Desakan tersebut melahirkan keputusan pemerintah untuk membentuk Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pasca-pembentukan Komnas Perempuan ini, pertumbuhan gerakan antikekerasan terhadap perempuan tampak kian marak. Hal ini ditandai munculnya berbagai organisasi perempuan yang peka terhadap masalah HAM dan isu kekerasan. Komnas Perempuan mencatat sekitar 312 organisasi yang menangani isu kekerasan terhadap perempuan. Perkembangan positif dari pergerakan kaum perempuan yang dimotori Komnas Perempuan adalah dengan disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Namun dalam implementasinya, pengesahan UU Penghapusan KDRT ini masih terbentur banyak kendala, terutama terkait kesiapan birokrasi pemerintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang diatur dalam Pasal 12 s.d. Pasal 14. Sikap lamban aparat kepolisian juga nampak dalam menangani korban-korban KDRT seperti ditegaskan pada Pasal 1 s.d. Pasal 20. Sayangnya, dalam UU Penghapusan KDRT juga tidak diatur peran, fungsi, dan tanggung jawab kejaksaan maupun kehakiman. Padahal sudah menjadi rahasia umum, kedua institusi hukum tersebut sering terperangkap oleh ulah mafia peradilan.
Kekuatan Komunitas Basis
Meski demikian, UU Penghapusan KDRT ini memiliki urgensi dan arti penting yang strategis, karena posisinya sebagai basis untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya tatanan sosial yang adil dan tanpa diskriminasi. Prioritas agenda saat ini adalah membentuk atau menjadikan komunitas pergerakan perempuan dengan kesadaran politik yang berperspektif feminis.
Seperti kita ketahui, kuatnya akar budaya patriarki telah menjadikan kaum perempuan sebagai subordinat kaum pria. Akibatnya, secara psikis dan sosiologis membentuk pola berpikir dan berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip yang selama ini diakui dalam tatanan sosial yang patriarkis. Budaya patriarki yang determinan memunculkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Perlawanan akan terjadi di tingkat basis bila muncul komunitas perempuan dengan pemahaman kuat atas kebutuhan maupun persoalan diri mereka disertai upaya membangun solidaritas sesama kaum perempuan maupun elemen-elemen lain yang pro visi keperempuanan. Maka, komunitas perempuan dengan kesadaran politik keperempuanan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Komunitas perempuan dengan kesadaran dan visi keperempuanan hendak melakukan perubahan dengan berdiri di atas kepentingan perempuan sebagai basis “ideologi”. Termasuk meletakkan posisinya sebagai pembela HAM, terutama dalam kasus-kasus KDRT.
Pembentukan komunitas perempuan berperspektif feminis bisa dimulai dengan menggugah kesadaran politik di tingkat basis lewat upaya membangun pemahaman yang utuh tentang berbagai hal yang menjadi hak-hak sosial, politik maupun ekonomi. Hal ini dikenal sebagai hak-hak asasi perempuan (HAP). Pemilihan beserta penguatan komunitas perempuan di tingkat basis merupakan target, karena pada level inilah pembiasan atau penyunatan informasi paling rentan terjadi. Pemahaman perempuan akan hak-haknya di tingkat basis tersebut, diyakini bakal meningkatkan kontrol terhadap situasi ketidakadilan yang melingkupinya. Bersamaan dengan penyadaran akan pentingnya HAP ini diharapkan kelak bisa muncul inisiatif untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak tersebut.
Di sini media massa jelas memainkan peranan penting. Sebab media massa mampu membangun wacana tentang penguatan HAP secara berkelanjutan dengan melakukan blow up terhadap isu kekerasan berbasis gender. Blow up di tingkat media ini akan menjadi jembatan efektif untuk membangun solidaritas di kalangan komunitas perempuan itu sendiri. Bersamaan tumbuhnya kesadaran HAP di tingkat akar rumput itulah kita lakukan penguatan-penguatan kelembagaan kaum perempuan. Dengan demikian, kita bisa memperluas jaringan atau organisasi perempuan, bahkan mampu meningkatkan bargaining position dalam memperjuangkan penegakan HAM, terutama untuk mencekal kasus KDRT.
*) Pemerhati masalah wanita dan anak, domisili di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar