Senin

Kapitalisme Dan Kemiskinan Di Desa

Oleh: Etika Ernawati*
Desa hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7 juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta jiwa. Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru mengalami peningkatan dari 60% tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa (Data BAPPENAS, 2004).
Data tersebut diperkuat laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, desa hingga sekarang tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Juga ada data yang menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota dengan desa dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1999.
Hasil pendataan BPS menunjukkan perkembangan garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin. Tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 44,2 juta jiwa dan sampai dengan tahun 1999 menjadi 25,1 juta jiwa. Sejak krisis ekonomi 1998, jumlah kemiskinan di daerah pedesaan mengalami peningkatan dengan tingkat kedalamannya mencapai 5,005 tahun 1998 dari 3,529 pada tahun 1996 dan di tahun 1999 menjadi 3,876. Indeks keparahan kemiskinan paling tinggi terjadi di desa.
Data berikut menggambarkan bagaimana kemiskinan mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat pedesaan. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50,97 persen.
Tantangan tersebut menjadi semakin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan antar-kelompok masyarakat yang masih cukup tinggi seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antar-daerah (Bappenas, 2004).
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mempengaruhi indeks kemiskinan di daerah pedesaan. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin yang erat kaitanya dengan tingkat pendidikan adalah sumber penghasilan. Pada tahun 1996, penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan. Dari sekitar 66.000 jumlah desa di Indonesia, tahun 1994 jumlah desa tertinggal mencapai 22.094 desa dan yang berada di daerah pedesaan sekitar 20.951 desa. Pada tahun 1999 jumlah desa tertinggal mencapai 16.566 dari sekitar 66.000 desa yang ada.
Menurut BPS, kantong penyebab kemiskinan desa umumnya bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi 19%.
Data-data mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan sudah sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas, penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah; (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota); (6) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional; (7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa; (11) rendahnya jaminan kesehatan.
Seharusnya pemerintah mengatasi kemiskinan di pedesaan tersebut secara efektif. Pertama, menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya. Kedua, mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin. Ketiga, mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS. Keempat, mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES. Kelima, menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin, Keenam, memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin. Ketujuh, mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM. Kedelapan, menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya,
Fasilitas dan infrastruktur sangat diperlukan oleh masyarakat pedesaan. Selama ini pemerintah terkesan hanya mau membangun infrastruktur di pedesaan jika ada kepentingan yang menguntungkan segelintir orang. Misalnya ketika modal hendak mengeksploitasi kekayaan alam di suatu desa, maka pemerintah dengan baik hatinya membangun berbagai infrastruktur dengan alasan bahwa itu demi kepentingan rakyat. Bahkan ketika peran negara sangat lemah karena defisit, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan seringkali dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan politik, misalnya calon bupati yang ingin memenangkan perebutan kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah atau oleh partai politik untuk mendapatkan suara. Cara pandang dan tindakan itulah yang harus diubah.
Perubahan di wilayah pedesaan membutuhkan suatu demokratisasi dan penyadaran di kalangan rakyat desa. Pemberdayaan rakyat pedesaan saat ini butuh perhatian dari semua pihak, terutama kalangan aktivis dan mahasiswa. Menjaga kesejahteraan dan demokrasi di wilayah pedesaan merupakan pilar pembangunan untuk mewujudkan bangsa yang kokoh dan maju.
*) Bergiat di Yayasan Gelombang (Gelora Manusia Pembangunan) Jawa Timur, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung