Refleksi Hari Buruh 1 Mei 2007
Oleh: Choirul Mahfud*
Sejak runtuhnya rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, peringatan Hari Buruh Se-dunia (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei selalu digelar secara terbuka dan masif oleh kaum buruh dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak kaum buruh di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Aksi tersebut sangat wajar, sebab semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, apalagi May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas merugikan kaum buruh, karena mayoritas negara-negara di dunia ini menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur.
Alasan kekhawatiran atas gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan gerakan anarkis sebetulnya sungguh ironis, sebab asumsi tersebut ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga kini tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori "membahayakan ketertiban umum". Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif.
Amat berlebihan bila peringatan May Day tahun 2006 ini muncul opini yang cenderung mendiskreditkan gerakan buruh. May Day-Phobia ini sangat terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik di negeri ini.
Dalam konteks ini, perlu diajukan pertanyaan, mengapa May Day-Phobia ini mengemuka? Padahal dalam iklim demokrasi, unjuk rasa adalah bagian terpenting ketika pintu dialog tidak lagi mampu menjawab masalah-masalah publik, termasuk masalah buruh.
Bila kita melihat persoalan perburuhan saat ini, adanya peran intelektual dari bentuk skenario imperialisme global yang diperankan berbagai aktor neo-liberal, baik di level lembaga finansial internasional, perusahaan-perusahaan transnasional dan berbagai kesepakatan organisasi perdagangan dunia yang begitu kuat menekan pemerintah. Bila kita ingat, sepuluh tahun yang lalu, waktu itu Bank Dunia menyatakan, Indonesian workers are overly protected and government should stay out of industrial dispute (Bank Dunia, 3/4/2006). Secara implisit, Bank Dunia yang telah mengendalikan ketergantungan utang Indonesia. Dan itu terbukti bahwa kita benar-benar menjadi pion-pion Bank Dunia yang terjerat masalah utang.
Jadi wajar saja, bila perjuangan kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya secara layak sebenarnya telah lama dilakukan. Pada 1920, pertama kalinya di Indonesia kaum buruh secara terorganisasi memperingati Hari Buruh untuk memprotes kebijakan kaum pengusaha (kapitalis) yang secara sepihak mengecilkan peran kaum buruh dalam faktor produksi. Namun, sejak masa pemerintahan Orde Baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia. Sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Alasannya sangat klise yakni selalu dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis saat itu.
Setelah Orde Baru berakhir, aksi kaum buruh turun ke jalan kembali marak di berbagai kota di Indonesia. Tujuannya satu, menuntut perbaikan nasib kaum buruh menjadi lebih layak dalam menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, hampir sepanjang sejarah kehidupan dunia, juga di Indonesia, nasib kaum buruh selalu mengenaskan. Kaum buruh dijadikan alat penarik kepentingan modal dan investasi asing demi meraih keuntungan sepihak, yaitu penguasa dan pengusaha.
Jika dilihat secara saksama, aksi buruh tidaklah berlebihan, mengingat kondisi kaum buruh di negeri ini masih termarginalisasi, tertindas, tidak memiliki daya tawar, mudah "dibohongi". Selain itu, buruh sangat mudah dijadikan objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Celakanya, posisi buruh selama ini hanya sekadar penjual tenaga kerja, tidak lebih.
Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Di sini, kaum buruh tidak ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dengan upah yang minim dibanding pemodal yang bisa leluasa mengeruk untung yang sebesar-besarnya.
Lebih prihatin lagi, buruh di Indonesia bisa dikatakan hanya pencari nafkah dengan mengandalkan fisiknya, mengingat dari tingkat pendidikan yang diserap oleh mereka sangatlah minim. Sebab itu, posisi daya tawar kaum buruh di negeri ini sangat lemah, sehingga membuka peluang bagi kapitalis untuk berbuat secara semena-mena. Bukan hanya menyangkut upah yang rendah, tetapi juga hak-hak normatif lainnya, seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua kaum buruh menjadi diabaikan.
Akibatnya, buruh kita tetap miskin dan tingkat kesejahteraan mereka kian menurun seiring naiknya harga BBM (bahan bakar minyak) dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat daya beli kaum buruh terhadap kebutuhan pokok, termasuk kemampuan memberikan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan kepada anak serta keluarga mereka. Hal ini jelas mengindikasikan betapa upah dan kesejahteraan kaum buruh masih "jauh panggang dari api", jauh dari kesan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam dasar negara kita.
Perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini cukup jelas yakni menunjukkan betapa upah minimum tenaga kerja kita sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Alhasil, adalah lingkaran setan dan tumbuhnya militansi kaum buruh sebagai wujud dari ketidakpercayaan dan kecurigaan kepada pengusaha dan pemerintah. Sebagai ilustrasi, di era 70-an, Irlandia adalah sebuah negara tanpa kepercayaan diri dan paling terbelakang di benua Eropa, akibat konflik sosial politik selama puluhan tahun. Namun, kini situasi tersebut telah berubah total 180 derajat. Negara itu kini menjadi negara kaya dan pendapatan per kapitanya menduduki rangking kedua di Eropa. Dan ratusan perusahaan besar rebutan untuk membuka pabrik atau cabang usaha di sana. Kini Irlandia merupakan salah satu surga investasi bagi para investor. Kalau dulu, orang eksodus dari Irlandia, namun kini berbalik menjadi salah satu negara tujuan imigrasi favorit di dunia.
Pada 1987 pemerintah Irlandia memutuskan untuk bekerja sama dengan asosiasi pengusaha dan serikat pekerja Irlandia untuk menyepakati sebuah program pengontrolan kenaikan gaji buruh selama tiga tahun yang diberi nama Social Partnership for National Recovery. Tak disangka, program itu meraih kesuksesan gemilang dan mampu mengontrol inflasi Irlandia. Sukses besar ini segera menjadi stimulus bagi para entitas sosial-politik Irlandia untuk kemudian melakukan beberapa kesepakatan lain yang bertujuan memulihkan kondisi ekonomi negeri itu. Ilustrasi di atas semoga memberikan gambaran dan fakta bahwa solusi ketenagakerjaan nasional masa depan dapat diposisikan lebih baik lagi. Semoga.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Oleh: Choirul Mahfud*
Sejak runtuhnya rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, peringatan Hari Buruh Se-dunia (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei selalu digelar secara terbuka dan masif oleh kaum buruh dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak kaum buruh di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Aksi tersebut sangat wajar, sebab semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, apalagi May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas merugikan kaum buruh, karena mayoritas negara-negara di dunia ini menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur.
Alasan kekhawatiran atas gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan gerakan anarkis sebetulnya sungguh ironis, sebab asumsi tersebut ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga kini tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori "membahayakan ketertiban umum". Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif.
Amat berlebihan bila peringatan May Day tahun 2006 ini muncul opini yang cenderung mendiskreditkan gerakan buruh. May Day-Phobia ini sangat terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik di negeri ini.
Dalam konteks ini, perlu diajukan pertanyaan, mengapa May Day-Phobia ini mengemuka? Padahal dalam iklim demokrasi, unjuk rasa adalah bagian terpenting ketika pintu dialog tidak lagi mampu menjawab masalah-masalah publik, termasuk masalah buruh.
Bila kita melihat persoalan perburuhan saat ini, adanya peran intelektual dari bentuk skenario imperialisme global yang diperankan berbagai aktor neo-liberal, baik di level lembaga finansial internasional, perusahaan-perusahaan transnasional dan berbagai kesepakatan organisasi perdagangan dunia yang begitu kuat menekan pemerintah. Bila kita ingat, sepuluh tahun yang lalu, waktu itu Bank Dunia menyatakan, Indonesian workers are overly protected and government should stay out of industrial dispute (Bank Dunia, 3/4/2006). Secara implisit, Bank Dunia yang telah mengendalikan ketergantungan utang Indonesia. Dan itu terbukti bahwa kita benar-benar menjadi pion-pion Bank Dunia yang terjerat masalah utang.
Jadi wajar saja, bila perjuangan kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya secara layak sebenarnya telah lama dilakukan. Pada 1920, pertama kalinya di Indonesia kaum buruh secara terorganisasi memperingati Hari Buruh untuk memprotes kebijakan kaum pengusaha (kapitalis) yang secara sepihak mengecilkan peran kaum buruh dalam faktor produksi. Namun, sejak masa pemerintahan Orde Baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia. Sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Alasannya sangat klise yakni selalu dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis saat itu.
Setelah Orde Baru berakhir, aksi kaum buruh turun ke jalan kembali marak di berbagai kota di Indonesia. Tujuannya satu, menuntut perbaikan nasib kaum buruh menjadi lebih layak dalam menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, hampir sepanjang sejarah kehidupan dunia, juga di Indonesia, nasib kaum buruh selalu mengenaskan. Kaum buruh dijadikan alat penarik kepentingan modal dan investasi asing demi meraih keuntungan sepihak, yaitu penguasa dan pengusaha.
Jika dilihat secara saksama, aksi buruh tidaklah berlebihan, mengingat kondisi kaum buruh di negeri ini masih termarginalisasi, tertindas, tidak memiliki daya tawar, mudah "dibohongi". Selain itu, buruh sangat mudah dijadikan objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha. Celakanya, posisi buruh selama ini hanya sekadar penjual tenaga kerja, tidak lebih.
Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Di sini, kaum buruh tidak ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dengan upah yang minim dibanding pemodal yang bisa leluasa mengeruk untung yang sebesar-besarnya.
Lebih prihatin lagi, buruh di Indonesia bisa dikatakan hanya pencari nafkah dengan mengandalkan fisiknya, mengingat dari tingkat pendidikan yang diserap oleh mereka sangatlah minim. Sebab itu, posisi daya tawar kaum buruh di negeri ini sangat lemah, sehingga membuka peluang bagi kapitalis untuk berbuat secara semena-mena. Bukan hanya menyangkut upah yang rendah, tetapi juga hak-hak normatif lainnya, seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua kaum buruh menjadi diabaikan.
Akibatnya, buruh kita tetap miskin dan tingkat kesejahteraan mereka kian menurun seiring naiknya harga BBM (bahan bakar minyak) dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat daya beli kaum buruh terhadap kebutuhan pokok, termasuk kemampuan memberikan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan kepada anak serta keluarga mereka. Hal ini jelas mengindikasikan betapa upah dan kesejahteraan kaum buruh masih "jauh panggang dari api", jauh dari kesan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam dasar negara kita.
Perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini cukup jelas yakni menunjukkan betapa upah minimum tenaga kerja kita sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Alhasil, adalah lingkaran setan dan tumbuhnya militansi kaum buruh sebagai wujud dari ketidakpercayaan dan kecurigaan kepada pengusaha dan pemerintah. Sebagai ilustrasi, di era 70-an, Irlandia adalah sebuah negara tanpa kepercayaan diri dan paling terbelakang di benua Eropa, akibat konflik sosial politik selama puluhan tahun. Namun, kini situasi tersebut telah berubah total 180 derajat. Negara itu kini menjadi negara kaya dan pendapatan per kapitanya menduduki rangking kedua di Eropa. Dan ratusan perusahaan besar rebutan untuk membuka pabrik atau cabang usaha di sana. Kini Irlandia merupakan salah satu surga investasi bagi para investor. Kalau dulu, orang eksodus dari Irlandia, namun kini berbalik menjadi salah satu negara tujuan imigrasi favorit di dunia.
Pada 1987 pemerintah Irlandia memutuskan untuk bekerja sama dengan asosiasi pengusaha dan serikat pekerja Irlandia untuk menyepakati sebuah program pengontrolan kenaikan gaji buruh selama tiga tahun yang diberi nama Social Partnership for National Recovery. Tak disangka, program itu meraih kesuksesan gemilang dan mampu mengontrol inflasi Irlandia. Sukses besar ini segera menjadi stimulus bagi para entitas sosial-politik Irlandia untuk kemudian melakukan beberapa kesepakatan lain yang bertujuan memulihkan kondisi ekonomi negeri itu. Ilustrasi di atas semoga memberikan gambaran dan fakta bahwa solusi ketenagakerjaan nasional masa depan dapat diposisikan lebih baik lagi. Semoga.
*) Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar