Senin

Pudarnya Filosofi Pendidikan

REFLEKSI
OLEH : SULIS STYAWAN*
Saat ini, ada sejumlah tokoh pendidikan yang mencoba mengingatkan bangsa ini mengenai pentingnya memikirkan ulang makna pendidikan kita. Makna itu terwujud ke dalam suatu substansi yang lebih luas, yakni filosofi pendidikan yang menyangkut hakekat pendidikan itu sendiri. Filosofi pendidikan lebih merupakan masalah yang amat patut, bahkan urgen, untuk direnungkan ulang.
Di dunia ini ada dua mazhab pendidikan yang utama. Pertama, mahzab pendidikan yang ”mengandalkan kepada pembentukan akal budi”. Mahzab ini berlaku pada zaman di mana ilmu pengetahuan diminati, dengan amat sangat memberikan perkembangan dan peluang kepada ilmu seni, sastra dan filsafat untuk tumbuh subur. Dari dalamnya keluarlah pengetahuan manusia mengenai moralitas dan etika —termasuk etika bernegara dan bermasyarakat.
Mazhab kedua adalah mahzab pendidikan yang ”mementingkan pragmatisme”. Mazhab ini menyatakan bahwa pendidikan harus bermanfaat. Pendidikan yang tanpa manfaat, tiada artinya bagi kehidupan manusia. Karena itu pendidikan harus diabdikan kepada yang namanya ”kebutuhan dan kehidupan manusia itu sendiri”.
Hingga kini, kedua mazhab ini masih mempengaruhi dunia pendidikan —tak terkecuali dunia pendidikan kita. Mahzab yang pertama kemudian ”dilestarikan” dengan dikembangkannya ilmu-ilmu budaya dan sosial, sementara mahzab yang kedua, diteruskan dengan dikembangkannya ilmu sains dan teknologi.
Ternyata di kemudian hari, ternyata ada ketimpangan di antara kedua mahzab tersebut. Sekarang ini, dapat kita saksikan bagaimana dunia pendidikan diisi oleh mereka-mereka yang ”berilmu tinggi” tetapi ”miskin etika”. Mereka melakukan berbagai aktifitas dan atau kegiatan, yang seolah kegiatan tersebut tidak perlu dihadapkan dengan nilai-nilai moral. Mereka yang melakukan korupsi, perusakan lingkungan, penciptaan senjata dan alat pemusnah, adalah sekelumit contoh dari sekian banyak output pendidikan yang ”tanpa etika”.
Sebaliknya, ada juga anggota masyarakat yang seolah hidup di ata ”menara gading” kehidupan moralitas. Seperti warga masyarakat yang ingin ”hidup suci” dan benar. Karena itu, mereka selalu takut jika bersinggungan dengan berbagai masalah moralitas. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk bisa ”menyingkirkan diri” jauh dari ”kebisingan kehidupan”. Mereka hanya tahu bagaimana menyatakan dan melontarkan kritik, tetapi tidak mampu mengerjakannya. Istilahnya; ngomong doang, selain tak jelas juntrungnya, juga nir-realisasi.
Fakta seperti itulah yang kini terjadi dalam dunia pendidikan beserta dengan hasilnya masing-masing. Kedua mazhab itu kini menjadi suatu dilema besar dalam dunia yang semakin sulit membendung arus liberalisme, termasuk dalam dunia pendidikan sekalipun. Mereka yang dulunya amat ”setia” kepada etika dan nuraniah, tiba-tiba kehilangan kekuatannya karena kepentingan pasar yang mendominasi. Celakanya, moralitas pragmatisme sains kini malah ”ikut-ikutan” terjebak ke dalam permintaan pasar yang berubah dengan cepat. Sungguh ironis!
Pada tataran inilah, maka gugatan pada dunia pendidikan memang amat urgen untuk disampaikan. Jika di negara-negara maju mereka bisa menyeimbangkan kedua mahzab tersebut —lebih karena masyarakat di sana sudah siap dengan keadaan mazhab pendidikan yang tidak terlalu didominasi oleh kebutuhan pasar—, lalu bagaimana halnya dengan kondisi pendidikan di negara berkembang, seperti Indonesia, yang untuk sekadar membedakan mana pendidikan yang relevan dengan kebutuhannya sendiri pun tidak sanggup?
Hal inilah yang saat ini seharusnya dikedepankan oleh para tokoh, pemerhati, serta stakeholder pendidikan di negeri ini, sekaligus sebagai bahan refleksi memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang selalu diperingati setiap tanggal 2 Mei. Ya, gejala ”tercemarnya” dunia pendidikan oleh berbagai kebijakan pendidikan yang ”tanpa arah” telah menyebabkan kerusakan dan kepincangan yang amat parah dalam dunia pendidikan kita saat ini.
Lebih dari itu, mungkin memang sudah tidak ada reaksi lain dari masyarakat kita ketika menyaksikan realitas dunia pendidikan kita saat ini —selain terpana. Betapa tidak. Lihat saja, semua sistem pendidikan yang ada di negeri ini ”diobok-obok”—jika tidak ingin dikatakan ”dirusak”!—sendiri oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas masalah pendidikan.
Buktinya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)—yang notabene adalah penentu kebijakan (decision maker) dunia pendidikan di negeri ini—, hingga kini, ternyata masih terlalu suka ”menelurkan” kebijakan yang ”tanpa didikan”.
Sebagai bukti, Ujian Nasional (Unas) racikan Depdiknas ternyata telah ”sukses” menghancurkan motivasi para guru dan murid, sehingga mereka tak lagi percaya diri. Unas telah membuka lebar-lebar lubang dan peluang bagi upaya ”mentalitas instan” dan keinginan menempuh segala macam cara demi kelulusan. Padahal Unas yang secara konsisten digelar setiap tahun, selain selalu memicu pro-kontra di kalangan publik, juga menyimpan berbagai kekurangan, carut-marut, dan dilema.
Hal ini bukan tanpa fakta. Dalam pelaksanaan Unas baik untuk jenjang SMP maupun SMA yang telah usai digelar bulan April kemarin, yang (menurut pemerintah) telah berjalan ”lancar dan sukses”, ternyata banyak terdapat kekurangan serta corengan hitam yang menodainya. Mulai dari kasus kecurangan, dugaan kebocoran soal Unas dalam berbagai bentuk, pemboikotan Unas, hingga kisruh Unas berupa aksi anarkis yang dilakukan oleh siswa.
Beberapa waktu lalu, terdapat kasus dalam dunia pendidikan kita, yang cukup menggegerkan dan membuat publik seakan tak habis pikir. Yakni adanya kebijakan dari Mendiknas berupa pembagian voucher pendidikan melalui politisi dengan dalih untuk ”pembangunan sekolah”.
Mendiknas bisa saja berdalih bahwa pembagian voucher itu dalam rangka membantu pekerjaan mereka, namun kebijakan ini tetap saja tidak masuk akal. Kalau kebijakan ini dilatarbelakangi oleh peningkatan daya jangkau program pemerintah sehingga memerlukan pihak lain, itu sama saja sebuah sandiwara yang sama sekali tak lucu. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan nasional, atas nama negara, dijadikan sebagai komoditas begituan? Tak dapat dimungkiri, adanya pembagian voucher pembangunan gedung sekolah itu kian gamblang saja memperlihatkan adanya kecenderungan ”mencampuradukan” kepentingan politik dengan dunia pendidikan.
Semua yang disebutkan di atas adalah cerita baru. Cerita lama yang menghiasi kelamnya dunia pendidikan kita, sebenarnya sudah ada sejak Undang-Undang Sisdiknas diketok. Kita tidak tahu bagaimana ceritanya sehingga negara kemudian mengkooptasi lembaga pendidikan dimana pengaturan ibadah siswa pun diatur dengan ketat. Lalu dalam UU yang sama, semua lembaga pendidikan akan dikontrol oleh negara dalam sebuah badan bernama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sayangnya, lembaga yang satu ini, hingga kini tak pernah muncul kiprahnya dalam memajukan dunia pendidikan nasional.
Galibnya, kini diperlukan seruan bersama dari seluruh elemen pendidikan untuk bersuara keras kepada pemerintah soal kian memudarnya filosofi dunia pendidikan kita. Hal ini amat urgen agar pemerintah tidak terlalu ”keasyikan” dan semakin jauh menjadikan pendidikan sebagai bahan permainan, yang seolah dasar filosofinya tak ada atau bahkan tak pernah ada sama sekali! Selamat Hari Pendidikan Nasional! Semoga dunia pendidikan kita kembali bisa menatap masa depan cerah.
*) Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung