Senin

Kebahagiaan Hakiki Dan Wabah Korupsi

Oleh: Sukirno*
Cukup mengejutkan! Hasil riset mutakhir dari Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, bahwa 94% penduduk Indonesia terkena depresi dari tingkat ringan hingga berat. Dampak buruk dari depresi berat ialah ketidakpatuhan pada peraturan, apatis, pasrah tanpa usaha dan pesimistis. Begitulah penjelasan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fachmi Idris seusai memperkenalkan para pengurus baru IDI kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta (20/6-07).
Orang-orang pengidap depresi tentu dalam kondisi tidak bahagia. Mereka otomatis akan mencari kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Ketika menikmati buka puasa bersama di Jakarta (25/9-07), Wapres M Jusuf Kalla mengatakan bahwa mudik di hari Lebaran adalah suatu kebahagiaan yang pasti karena berkumpul sanak keluarga dan handai taulan. Beliau lalu mengutip hasil riset di Amerika Serikat yang dimuat majalah Newsweek, bahwa kebahagiaan paling pasti adalah berkumpul dengan keluarga dan teman-teman.
Barangkali masih banyak orang yang belum berhasil mendeteksi letak sumber kebahagiaan yang hakiki. Kedamaian pikiran (peace of mind) mereka mudah terganggu oleh desakan kebutuhan pribadi yang belum tercapai, apalagi jika sedang terpojok masalah “tuntutan” sebuah tradisi yang sulit dihindari. Tetapi aksioma hidup jelas menunjukkan bahwa setiap manusia di bawah kolong langit ini -- entah disadari ataukah tidak disadari-- selalu merindukan kebahagiaan.
Teori piramida Maslow mengatakan bahwa kebutuhan elementer dari setiap manusia yakni sandang, pangan, papan, rasa aman, pekerjaan, harga diri dan kesuksesan. Kita semua memang menghajatkan terpenuhinya kebutuhan itu. Namun bila menyangkut soal kepuasan terkait kebutuhan duniawi, ternyata banyak orang yang menjadi kecewa. Masalahnya, tingkat kepuasan setiap orang relatif berbeda karena jangkauan target kebutuhannya tidak sama. Ketidakpuasan ini sering merusak kebahagiaan seseorang, masih untung bila self-control-nya tak terganggu. Jadi mereka perlu memuaskan akalnya (satisfying intellect) agar bisa bersabar, mampu meraih kebahagiaan, dan tidak terlibat korupsi.
Paradigma Kebahagiaan
Melalui berbagai cobaan hidup, semua orang beriman sedang ditatar jiwanya oleh Tuhan untuk memiliki kesabaran yang permanen. Tentu saja bukan hanya agar bersabar dalam menahan lapar dan haus belaka, tetapi juga bersabar dalam meninggalkan segala keburukan. Bersikap sabar, menurut Nabi Muhammad SAW, merupakan separoh dari integritas keimanan, yang baru akan utuh 100% jika orang bersyukur kepada Tuhan. Meskipun memiliki fasilitas duniawi hanya kesenangan temporer, tetapi jika kita mau mensyukurinya dengan mengikuti kehendak Tuhan serta meninggalkan segala keburukan, pasti akan menimbulkan kebahagiaan.
Sebab itu firman Tuhan menegaskan, jika kita benar-benar bersyukur atas segala pemberian-Nya, yakinlah bahwa Tuhan akan menambahkan nikmat-Nya. Artinya intensitas kebahagiaan kita otomatis akan meningkat. Al Quran menyebutkan, bagi mereka yang bersabar ketika menghadapi cobaan Tuhan, akan disempurnakan pahalanya tanpa batas.
Menurut kajian filsafat The Science of the Soul, kesenangan duniawi tidak identik dengan kebahagiaan, apalagi jika dibandingkan kebahagiaan hakiki. Seperti halnya intellegence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), spiritual quotient (SQ) dan status sosial-ekonomi di antara kita bertingkat-tingkat, demikian juga intensitas dan derajat kebahagiaan setiap orang memiliki gradasinya sendiri.
Rezeki yang didapat secara tak wajar, hasil korupsi misalnya, hanya memberikan kesenangan alias kebahagiaan semu yang --cepat atau lambat-- akan menghasilkan penderitaan. Tetapi bagi yang meraihnya secara halal, dapat menikmati kebahagiaan. Ada pun adikebahagiaan bisa dicapai oleh mereka yang beramal saleh, aktif melakukan perbaikan dan mencegah kemungkaran dengan menjunjung tinggi moralitas, kebenaran dan keadilan. Ada lagi ultrakebahagiaan, ini spesial untuk para penghuni surga. Sedangkan Maha Kebahagiaan dikaruniakan kepada para hamba Tuhan yang sudah “face to face” dan beraudiensi dengan-Nya.
Kesenangan duniawi tidak identik dengan kebahagiaan, apalagi jika dibandingkan kebahagiaan hakiki. Memang serupa tetapi tidak sama. Analoginya, lihatlah segelas air mentah dan segelas air matang yang nampak sama-sama bening, bila diminum memang sama-sama menghilangkan haus, namun efek lanjutannya jelas berbeda secara signifikan. Ibadah ritual maupun spiritual merupakan katalisator yang memproses setiap kesenangan pelakunya agar meningkat kualitasnya menjadi kebahagiaan. Kimia kebahagiaan ini ibaratnya seperti kita sedang memasak air melalui proses pendidihan sehingga menjadi layak untuk diminum.
Ada sebuah anekdot Sufi. Pada suatu malam, seseorang – sebutlah Fulan, sedang merasa sedih karena kehilangan sebuah jarum yang terjatuh di dalam rumahnya. Kemudian gurunya yang Sufi bertanya kepada Fulan, di manakah gerangan jarum itu terjatuh? Fulan menjawab secara jujur bahwa jarumnya terjatuh di dalam rumah sendiri. Keruan saja Sufi tadi jadi terheran-heran karena melihat si Fulan sedang mencari jarumnya di jalanan dengan alasan di dalam rumah sedang gelap.
Dalam buku The Call of the Great Master, M Charan Singh Ji mengatakan, sosok manusia merupakan sebuah laboratorium spiritual dan bentuk ciptaan Tuhan yang terluhur, sebab hanya melalui proses penyelaman ke dalam diri sendiri yang sejatilah kita bisa menemukan kebahagiaan hakiki dan berjumpa Tuhan. Kebenaran tesis ini dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui metodologi spiritual di bawah bimbingan guru Sufi.
Menangkis Godaan Korupsi
Seorang beriman yang ikhlas dalam beribadah ritual maupun spiritual, tidak diragukan lagi mampu meneguhkan komitmennya terhadap kebaikan, kebenaran dan keadilan. Selain itu, ia mampu berpikir jernih (clear thinking) dan menghayati identitas diri sejatinya sebagai jiwa (soul) yang asketik dengan segala implikasinya. Jika setiap jiwa manusia selalu merindukan ketenangan, kepuasan dan kebahagiaan hakiki, mengapa banyak orang yang mengaku beriman namun malas untuk berbuat kebajikan bahkan sampai terlibat korupsi?
Stabilitas ketenangan, kepuasan dan kebahagiaan hakiki yang bisa kita nikmati melalui ibadah ritual maupun spiritual mengandung daya ilahi yang besar untuk menangkis godaan korupsi. Selain itu juga berpotensi tinggi untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan fitrah manusia dan kehendak Allah Tuhan Yang Maha Esa, meraih kesuksesan dan kesejahteraan hidup.
Keikhlasan dalam beribadah ritual maupun spiritual akan menumbuhkan jiwa asketik dan menenangkan pikiran jika dilakukan secara teratur. Sebaliknya, ketidaktenangan pikiran yang tak terkendali akan sedemikian banyak mereduksi kekuatan jiwa sehingga tak sedikit orang yang mudah berpikir negatif, bertindak destruktif, tidak waspada, dan terlibat korupsi.
Sebagian orang mencari ketenangan dan kebahagiaan dalam berbagai jabatan kewenangan dan kekuasaan. Bila sedang berada di puncak, para pemimpin politik mendapat sanjungan dan penghormatan. Pujian untuk mereka disiarkan lewat surat kabar maupun televisi, dan mereka merasa di awang-awang. Tetapi kita sudah tahu apa yang akan terjadi bila mereka terlibat korupsi, terbongkar, kehilangan kekuasaan dan jatuh. Mereka kemudian mendapat cercaan dan hinaan banyak orang, terutama dari lawan-lawan politiknya. Sehingga, tempat yang tadinya dianggap sebagai sumber kebahagiaan, berubah menjadi neraka dan kehancuran.
Orang yang bermoral tinggi tidak pernah mengabaikan hak orang lain, tetapi mereka yang bermoral rendah hanya memikirkan kepentingan dan kesenangannya sendiri. Lemahnya ekonomi kerakyatan dan membengkaknya angka kemiskinan di negara kita juga sebagai akibat ulah para koruptor dan politikus yang kebanyakan terbelenggu nafsu kepentingan pribadi (vested interest).
Para koruptor --jika tidak bertobat-- tidak akan pernah menemukan kebahagiaan hakiki. Perjuangan hidup untuk meraih kebahagiaan hakiki sebenarnya bukan mission impossible, bahkan tidak membutuhkan biaya sama sekali atau fasilitas apapun. Tetapi keberhasilannya hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang berjiwa asketik, yakni mereka yang telah menguasai seluruh nafsu dan pikirannya sendiri secara optimal.
*)Konsultan Manajemen SDM ESA Unggul, Ketua Forum Studi dan Diskusi Lintas Agama (Forsdila), Depok.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung