Senin

Kemunduran PT, Kemunduran Kemanusiaan

WACANA
Oleh: Nurani Soyomukti*

Dalam survei harian The Times Inggris, dari 520 universitas terkemuka, perguruan tinggi (PT) di Indonesia masih kalah jauh dengan PT dari negara-negara lain. Tiga perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam 500 besar adalah UI (ke-250), ITB (ke-258) dan UGM (ke-270). Sementara tiga besar dunia diduduki Harvard University (AS), University of Cambridge (Inggris) dan University of Oxford (Inggris).
Tidak satu pun perguruan tinggi kita masuk dalam 10 besar universitas terbaik dunia, bahkan 100 besar pun tidak. Padahal yang dinilai sangat mendasar dan bisa dicapai oleh PT yang normal mana pun. Pada tahun 2000, Asiaweek juga menurunkan laporan khusus tentang seratus perguruan tinggi di Asia-Pasifik. Kampus-kampus Indonesia secara akademik masih jauh kalah predikatnya dengan kampus-kampus negara lain. Universitas Indonesia menempati urutan 38 dari segi reputasi akademis, disusul Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga di urutan 43 dan 77. Dalam hal penerbitan ilmiah keadaannya lebih parah. UI menempati urutan 71 disusul UGM dan Unair di urutan 76 dan 77.
Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas PT di negeri ini semakin menurun. Memang banyak persoalan yang menjadi sebab terbelakangnya PT kita, terutama sebagai bagian dari pendidikan kita yangmenurut Darmaningtyas rusak-rusakan. Kemunduran ini juga mencerminkan kemunduran bangsa dalam berbagai dimensinya yang saling berkaitan. Kemunduran pendidikan adalah kemunduran kemanusiaan.
PT selama ini dikenal sebagai institusi yang dianggap paling berkomitmen dalam upaya untuk membumikan nilai-nilai objektifitas, demokrasi, dan menghapus nilai-nilai yang subjektif, tidak-ilmiah dan otoriter. Masalahnya, kampus adalah komunitas yang menjadi tempat orang-orang meneliti dan berusaha mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan masalah-masalah apa yang sedang dihadapi bangsa ini. Semakin mengetahui kebenaran, seharusnya orang juga mengerti ukuran-ukuran nilai yang baik dan pantas.
Tidak mengherankan jika lembaga ilmiah kemudian menjadi basis bagi orang-orang yang memperjuangkan (prinsip-prinsip) kebenaran. Nilai-nilai yang tidak ilmiah seperti ketidakadilan, diskriminasi, feodalisme, kapitalisme, dan lain-lain sebagainya tidak pernah terjadi. Kalau itu masih terjadi, artinya kampus telah gagal untuk memposisikan dirinya dan, dengan demikian, perannya akan tumpul. Bahkan, lembaga ilmiah akan mengalami pembusukan dari dalam, akhirnya menjadi menara gading kekuasaan di tangan segelintir orang yang anti-demokrasi dan menyangkal peran sosial kemasyarakatan.
Dosen
Banyak komponen kampus yang membutuhkan perhatian pemerintah. Dosen (sebagai pengajar) adalah mereka yang menjadi penjaga dari aktivitas ilmiah di kampus. Sebagai tenaga pengajar, dosen adalah mereka yang memiliki kekuatan transformatif (transforming power) dalam dunia pendidikan kampus.
Meskipun tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya kalangan yang memiliki banyak stock of knowledge, dalam kegiatan perkuliahan, pengajar adalah yang paling penting dalam membentuk semangat akademik bagi para mahasiswanya. Dalam getok tular ilmu pengetahuan dan logika berpikir, bagaimanapun, peran dosen tidak bisa dianggap remeh. Sehingga, mereka harus memiliki banyak wawasan, produktif dan kreatif dalam aktivitas ilmiah, serta memiliki penguasaan untuk mencetak mahasiswa yang berwawasan dan tekun dalam menjalani aktivitas ilmiah di kampus (dan berperan dalam masyarakat).
Pada kenyataannya, seorang akademisi juga mereka yang memiliki peran luas dalam masyarakat dengan menggunakan kemampuan ilmiahnya untuk menganalisis dan memberikan solusi bagi persoalan masyarakat. Dalam hal ini, posisi akademisi juga dipandang sebagai wakil dari universitas (kampus) di mana dia melakukan aktivitas keilmuannya. Kualitas kampus bisa dilihat dari kualitas para akademisinya. Misalnya, semakin banyak akademisi yang digunakan di masyarakat seperti sering diundang di seminar, diwawancarai oleh pers, menulis di media, dan lain-lain tapi intinya memberikan pencerahan bagi masyarakat baik di dalam maupun di luar kampus (masyarakat), maka semakin besar pula posisi dan peran kampus tersebut dalam masyarakat.
Dalam konteks tersebut, banyak kampus yang masih tertinggal dan tidak layak disebut kampus. Kegiatan ilmiah-akademik di kampus-kampus semakin tidak jalan, macet, tumpul. Bukan hanya di kalangan mahasiswa yang pragmatis, hedonis, dan konsumtif. Hal yang sama juga berlaku bagi para dosen, mereka tidak pernah produktif untuk melakukan riset, menulis di media massa , ataupun hadir di publik untuk mendiseminasikan gagasan-gagasan ilmiahnya. Aktivitas akademik di sebagian kampus untuk dikatakan tidak menghilang semakin berkurang. Kampus-kampus dikepung oleh budaya populer, bahkan juga di dalamnya, tiap malam selalu saja ada kegiatan dugem (dunia gemerlap) seperti pentas musik popular (didominasi hip hop music), entah acaranya di kampus atau sekitar kampus. Lama-lama kampus memang hendak dilemparkan ke arah yang jauh dari hal-hal yang bersifat ilmiah, akademik, dan berperan dalam dunia sosial.
Sebenarnya kampus kita belum bisa dikatakan sepenuhnya modern dan profesional. Ini mencirikan birokrasi pendidikan Indonesia yang masih kolot dan dipenuhi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Masih banyak kecurangan yang terjadi dalam rekrutmen pegawai kampus termasuk staf pengajar (dosen) tersebut yang bersifat feodalistik tersebut. Kampus sebagai miniatur kehidupan demokrasi (modern) membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak dari para anggotanya.
*) Ketua Departemen Diklat-Litbang Yayasan TAMAN KATAKATA (TK) Jember.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung