Oleh: SUDJATMAKA*
Saat ini musim "berburu" sekolah. Sekolah unggulan tentunya menjadi "buruan" para orang tua siswa. Namun, perlu diketahui, bahwa hingga kini, bentuk layanan pendidikan sekolah unggulan itu ternyata masih menyisakan sejumlah masalah. Pasalnya, mulai dari soal terminologi, pola pengelolaan, efek sosial psikologis siswa, hingga output-nya bagi percepatan dan pemerataan pembangunan, hingga kini selalu sarat dengan "bias-bias" apresiasi.
Betapa tidak. Dari segi istilah, sekolah unggulan yang dipetik dari excellent school, secara sosiolinguistik sebetulnya kurang tepat. Sebab menurut Susan Albers Mohrman (1994:81), bahwa penyelenggaraan sekolah yang baik di negara-negara maju, tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (efektif, berkembang, mempercepat, dan berguna/penting).
Penciptaan bentuk pelayanan pendidikan seperti ini pun, justru untuk mereduksi hambatan-hambatan yang beraroma diskriminatif. Hal tersebut dapat kita jumpai melalui effective school yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan school development, program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin.
Accellerated school yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa berisiko. Lain lagi dengan model essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
Keadaan tersebut, tampaknya relatif berbeda dengan sekolah unggulan yang dipraktikkan di Indonesia. Sebab, dari segi parameter multidimensional, sekolah unggulan di negeri ini tidak memenuhi syarat, karena hanya mengukur sebagian kemampuan akademis.
Padahal, dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggulan adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuhkembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi intelektual (IQ) saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga kecerdasan emosional (EQ), maupun kecerdasan spritual (SQ) harus memperoleh porsi yang sama.
Menyesatkan
Prof Suyanto pernah menyatakan, sekolah unggulan secara pedagogis "menyesatkan", bahkan ada yang telah memasuki wilayah "malpraktik" dan akan "merugikan" pendidikan kita dalam jangka panjang. Betapa tidak. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar.
Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis jelas tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Karena senyatanya, kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen.
Memang, pasal 5 ayat (4) UU Sisdiknas, yang menyatakan: "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus", harus kita hargai. Namun penghargaan dalam bentuk sekolah unggulan, tentu sangat berlebihan dan cenderung mubazir serta kian mempertajam ketidakadilan dalam dunia pendidikan.
Sebab, bukankah hal yang sangat indah dan lebih "alami" jika di dalam kelas, terdiri dari peserta didik dengan latar belakang sosial dan kemampuan yang berbeda-beda, namun proses pembelajaran tetap terkelola secara harmonis dan seimbang?
Peserta didik yang sedikit tertinggal dari kemampuan akademik dari peserta didik lainnya dapat mengukur dan mengoreksi diri serta berkesempatan untuk belajar dari rekannya yang memiliki kemampuan lebih. Demikian pula peserta didik yang memiliki kemampuan lebih, semakin kaya dengan perbedaan tanpa perlu dengan superioritas. Di sini terjadi interaksi dan kompetisi yang sangat luhur di kalangan peserta didik yang saling menghargai diferensiasi minat dan kemampuan masing-masing.
Alangkah ironisnya jika anak didik dengan IQ biasa atau kurang, harus dikelompokkan terpisah dalam kelas yang berbeda dengan kelompok excellent. Sebaliknya sekolah unggulan di-setting untuk peserta didik secara homogen yaitu mereka yang mempunyai tingkat intelektualitas di atas rata-rata.
Jadi, selain mengindikasikan terjadinya ekslusivisme dan "pendewaan" yang luar biasa terhadap kemampuan intelektualitas secara linier dan membabi buta, layanan pendidikan jenis ini juga sangat berpotensi menimbulkan kesombongan besar-besaran.
Bukan hanya dari kalangan peserta didik yang tentu sangat bangga terpilih sebagai siswa sekolah unggulan. Para guru, bahkan kepala sekolahnya pun terinfeksi penyakit sombong lantaran memenuhi kriteria yang sangat ketat untuk ditempatkan di sekolah unggulan.
Lebih dari itu, kecemburuan sosial pun rentan terjadi akibat penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang serba wah untuk memenuhi tuntutan kualifikasi sekolah ungulan, sesuatu yang tentu tidak terjadi pada sekolah biasa.
Begitu eksklusifnya sekolah unggulan ini, maka biaya pengadaan fasilitas dan operasional dalam mencapai target kualifikasi sekolah unggulan, tak disangsikan lagi, tentu jauh lebih besar dari sekolah biasa. Tragisnya, meski disebut sebagai sekolah unggulan, namun keunggulan intelektuliatas peserta didiknya teak jarang malah sering tidak sepadan dengan predikat yang disandangnya.
Kehilangan Integritas
Dalam biografinya, Albert Einstein, manusia cerdas abad ke-20, ternyata juga bukan sosok yang cerdas sejak semula. Malah, ketika menamatkan studi Sekolah Tinggi Tehnologi jurusan Fisika di Zurich, Swiss, tahun 1900, ia berada pada ranking empat dari empat orang yang diwisuda dalam periodenya. Fakta ini kian membuktikan, bahwa sekolah unggulan dan pendewaan terhadap keunggulan intelegensia dengan pengukuran secara linier makin kehilangan integritas dan relevansinya dengan kenyataan.
Memang, tidak dapat dipungkiri jika peradaban modern --sebagaimana dicapai dunia barat-- adalah karena SDM dengan intelektual unggul. Namun, kita tentu juga paham, bahwa pembinaan intelektualitas dengan cara pragmatis, linear, dan diskriminatif sebagaimana dikemukan di atas hanya akan melahirkan jargon intelektualitas unggul dalam ranah eksebisi dan kontes semata!
Kita tentu memiliki keyakinan, bahwa bagaimanapun mapannya sebuah peradaban, yang pasti itu bukanlah prakarsa orang perorang dari kalangan elite maupun intelektual tertentu, melainkan hasil kontribusi secara kumulatif dari seluruh anak negeri tanpa kecuali.
Jadi, untuk apa "mendewakan" sekolah unggulan? Ingat, jangan pernah meremehkan kemampuan anak. Meski hanya memiliki intelegensia biasa --bahkan kurang menurut metode pengukuran standar--, namun jika diberi kesempatan pemberdayaan secara arif, adil, dan bermartabat, sangat boleh jadi akan tampil sebagai penyumbang terbesar dalam kemajuan pembangunan daripada mereka yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas akibat pendewaan intelegensia unggul yang sangat linear dan bias apresiasi.
*) Aktif bergiat di bagian Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Jogja
Saat ini musim "berburu" sekolah. Sekolah unggulan tentunya menjadi "buruan" para orang tua siswa. Namun, perlu diketahui, bahwa hingga kini, bentuk layanan pendidikan sekolah unggulan itu ternyata masih menyisakan sejumlah masalah. Pasalnya, mulai dari soal terminologi, pola pengelolaan, efek sosial psikologis siswa, hingga output-nya bagi percepatan dan pemerataan pembangunan, hingga kini selalu sarat dengan "bias-bias" apresiasi.
Betapa tidak. Dari segi istilah, sekolah unggulan yang dipetik dari excellent school, secara sosiolinguistik sebetulnya kurang tepat. Sebab menurut Susan Albers Mohrman (1994:81), bahwa penyelenggaraan sekolah yang baik di negara-negara maju, tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (efektif, berkembang, mempercepat, dan berguna/penting).
Penciptaan bentuk pelayanan pendidikan seperti ini pun, justru untuk mereduksi hambatan-hambatan yang beraroma diskriminatif. Hal tersebut dapat kita jumpai melalui effective school yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan school development, program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin.
Accellerated school yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa berisiko. Lain lagi dengan model essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
Keadaan tersebut, tampaknya relatif berbeda dengan sekolah unggulan yang dipraktikkan di Indonesia. Sebab, dari segi parameter multidimensional, sekolah unggulan di negeri ini tidak memenuhi syarat, karena hanya mengukur sebagian kemampuan akademis.
Padahal, dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggulan adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuhkembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi intelektual (IQ) saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga kecerdasan emosional (EQ), maupun kecerdasan spritual (SQ) harus memperoleh porsi yang sama.
Menyesatkan
Prof Suyanto pernah menyatakan, sekolah unggulan secara pedagogis "menyesatkan", bahkan ada yang telah memasuki wilayah "malpraktik" dan akan "merugikan" pendidikan kita dalam jangka panjang. Betapa tidak. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar.
Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis jelas tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Karena senyatanya, kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen.
Memang, pasal 5 ayat (4) UU Sisdiknas, yang menyatakan: "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus", harus kita hargai. Namun penghargaan dalam bentuk sekolah unggulan, tentu sangat berlebihan dan cenderung mubazir serta kian mempertajam ketidakadilan dalam dunia pendidikan.
Sebab, bukankah hal yang sangat indah dan lebih "alami" jika di dalam kelas, terdiri dari peserta didik dengan latar belakang sosial dan kemampuan yang berbeda-beda, namun proses pembelajaran tetap terkelola secara harmonis dan seimbang?
Peserta didik yang sedikit tertinggal dari kemampuan akademik dari peserta didik lainnya dapat mengukur dan mengoreksi diri serta berkesempatan untuk belajar dari rekannya yang memiliki kemampuan lebih. Demikian pula peserta didik yang memiliki kemampuan lebih, semakin kaya dengan perbedaan tanpa perlu dengan superioritas. Di sini terjadi interaksi dan kompetisi yang sangat luhur di kalangan peserta didik yang saling menghargai diferensiasi minat dan kemampuan masing-masing.
Alangkah ironisnya jika anak didik dengan IQ biasa atau kurang, harus dikelompokkan terpisah dalam kelas yang berbeda dengan kelompok excellent. Sebaliknya sekolah unggulan di-setting untuk peserta didik secara homogen yaitu mereka yang mempunyai tingkat intelektualitas di atas rata-rata.
Jadi, selain mengindikasikan terjadinya ekslusivisme dan "pendewaan" yang luar biasa terhadap kemampuan intelektualitas secara linier dan membabi buta, layanan pendidikan jenis ini juga sangat berpotensi menimbulkan kesombongan besar-besaran.
Bukan hanya dari kalangan peserta didik yang tentu sangat bangga terpilih sebagai siswa sekolah unggulan. Para guru, bahkan kepala sekolahnya pun terinfeksi penyakit sombong lantaran memenuhi kriteria yang sangat ketat untuk ditempatkan di sekolah unggulan.
Lebih dari itu, kecemburuan sosial pun rentan terjadi akibat penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang serba wah untuk memenuhi tuntutan kualifikasi sekolah ungulan, sesuatu yang tentu tidak terjadi pada sekolah biasa.
Begitu eksklusifnya sekolah unggulan ini, maka biaya pengadaan fasilitas dan operasional dalam mencapai target kualifikasi sekolah unggulan, tak disangsikan lagi, tentu jauh lebih besar dari sekolah biasa. Tragisnya, meski disebut sebagai sekolah unggulan, namun keunggulan intelektuliatas peserta didiknya teak jarang malah sering tidak sepadan dengan predikat yang disandangnya.
Kehilangan Integritas
Dalam biografinya, Albert Einstein, manusia cerdas abad ke-20, ternyata juga bukan sosok yang cerdas sejak semula. Malah, ketika menamatkan studi Sekolah Tinggi Tehnologi jurusan Fisika di Zurich, Swiss, tahun 1900, ia berada pada ranking empat dari empat orang yang diwisuda dalam periodenya. Fakta ini kian membuktikan, bahwa sekolah unggulan dan pendewaan terhadap keunggulan intelegensia dengan pengukuran secara linier makin kehilangan integritas dan relevansinya dengan kenyataan.
Memang, tidak dapat dipungkiri jika peradaban modern --sebagaimana dicapai dunia barat-- adalah karena SDM dengan intelektual unggul. Namun, kita tentu juga paham, bahwa pembinaan intelektualitas dengan cara pragmatis, linear, dan diskriminatif sebagaimana dikemukan di atas hanya akan melahirkan jargon intelektualitas unggul dalam ranah eksebisi dan kontes semata!
Kita tentu memiliki keyakinan, bahwa bagaimanapun mapannya sebuah peradaban, yang pasti itu bukanlah prakarsa orang perorang dari kalangan elite maupun intelektual tertentu, melainkan hasil kontribusi secara kumulatif dari seluruh anak negeri tanpa kecuali.
Jadi, untuk apa "mendewakan" sekolah unggulan? Ingat, jangan pernah meremehkan kemampuan anak. Meski hanya memiliki intelegensia biasa --bahkan kurang menurut metode pengukuran standar--, namun jika diberi kesempatan pemberdayaan secara arif, adil, dan bermartabat, sangat boleh jadi akan tampil sebagai penyumbang terbesar dalam kemajuan pembangunan daripada mereka yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas akibat pendewaan intelegensia unggul yang sangat linear dan bias apresiasi.
*) Aktif bergiat di bagian Divisi Sosial, Pusat Pengkajian Kebangsaan, Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar