Senin

Kendala Penertiban PKL

OPSI
Oleh: A S M U N I *

Riak kesenjangan ekonomi, terutama di perkotaan dengan mudah kita rasakan. Salah satunya adalah kiprah sekarat Pedagang Kaki Lima (PKL) di setiap kota sebagai salah pelaku sektor ekonomi informal yang bertigma ‘kumuh’.
Todaro (2000) memaparkan bahwa keberadaan PKL adalah fenomena perkotaan di dunia ketiga. Studi tentang menjamurnya pelaku sektor ekonomi informal adalah konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh negara dunia ketiga. Sektor formal tidak mampu menampung ledakan pencari kerja.
Di Indonesia sendiri --lebih tiga dasarwasa-- PKL adalah persolaan pelik, baik penertiban dan pembinaannya. Meskipun tanpa disadari, PKL merupakan alternatif untuk bertahan di tengah kehidupan yang semakin sulit dan ketat dalam mencari pekerjaan. Alternatif di sini bukan hanya untuk PKL sendiri, tetapi bagi masyarakat kota yang menjadi konsumennya.
Ibarat buah simalakama, pengambil keputusan (baca: pemerintah) sering dibuat dilematis. Satu sisi PKL adalah penyanggah ekonomi rakyat kelas menengah ‘ke bawah’, yang tahan terhadap goncangan resesi dan depresi ekonomi sekalipun. Namun di sisi lain, PKL adalah biang ‘kekisruhan’ tata kota hampir di semua kota di negeri ini.
Dilematisnya penyesaian persoalan PKL, acapkali terjadi benturan antara PKL dengan pemerintah. Secara konseptual, dalam kacamata pemerintah, PKL harus ditertibkan dan dibina. Terminologi sebagai kelompok pelaku usaha yang terpinggirkan, memaksa PKL melakukan kucing-kuncingan dengan aparat yang akan ‘menertibkan atau membinanya’.
Konflik antara PKL dengan aparat yang hampir terjadi setiap saat memaksa PKL membentuk paguyuban sebagai sentra perlawanan. Ketika penertiban dilakukan, PKL (yang berbentuk paguyuban) sering kali berhasil untuk bertahan dari tindakan aparat. Dalam konteks seperti ini, layak dipertanyakan, mengapa ketegangan itu tidak pernah berakhir? Mengapa penertiban dan pembinaan seperti konsep yang tawarkan pemerintah tidak kunjung membuahkan hasil?
Persoalan PKL selalu menemui jalan buntu, karena alasan penertiban dan pembinaan ala pemerintah tidak lebih subtansial dari hak untuk hidup warga negaranya (baca: PKL). Bahwa PKL menganggu tata ruang kota, itu adalah benar. Keberadaan PKL di trotoar atau badan jalan mengganggu ketertiban lalu lintas juga tidak dapat dipungkiri. PKL yang menjamur di pinggir-pinggir jalan telah menimbulkan dampak negatif seperti, kemacetan, masalah kebersihan dan panorama yang sembrawut. Bahkan, banyak pelaku usaha lain, seperti pemilik toko yang tertutupi oleh PKL merasa terganggu karena usaha toko mereka tidak maksimal dalam menjajakan barang dagangannya.
Tetapi, alasan di atas tidak cukup untuk meniadakan hak dari PKL untuk hidup. Alasan-alasan pemerintah tersebut, keluar dari konteks sosiologisnya ketika pemerintah tidak mampu memberi pilihan yang lebih baik kepada PKL dibandingkan berjualan di trotoar dan badan jalan di pusat-pusat keramaian.
Selama ini, alternatif relokasi PKL kerap mendapat penolakan karena alasan tempat baru kurang strategis. Setiap ada rencana relokasi akan diikuti resistensi dari PKL, dan seringkali PKL rela berdarah-darah untuk mempertahankan tempat yang selama ini digunakan untuk berjualan. Sikap berani --mungkin juga nekat ini-- karena tempat lama sudah dirasa nyaman untuk berjualan.
Di tempat lama, PKL selain sudah pasti ada keramaian, juga sudah dikenal oleh konsumen yang menjadi pelanggannya. Sedangkan rencana tempat baru atau relokasi belum tentu ada kepastian. Ini berarti PKL harus memulai usaha mereka dari awal. Adanya ketakutan dari PKL tersebut menyebabkan mereka enggan direlokasi secara sukarela. Menurut penulis, hal itu wajar saja. Sebab berspekulasi dalam bisnis untuk mencari tantangan baru adalah kekonyolan jika tidak ada peluang dan jaminan dari pemerintah.
Mencari Sesuatu Yang Mungkin
PKL itu ada hampir di sudut kota. Jika kita menginginkan tata ruang kota bersih dari keberadaan PKL, hal tersebut kurang realistis. Yang paling mungkin dilakukan adalah memaksimalkan implementasi kebijakan bagi PKL.
Kelemahan pemerintah ketika menangani PKL terletak pada lemahnya fungsi-fungsi badan pelaksana pemerintah. Contohnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagai badan pelaksana yang ditunjuk untuk menangani ketertiban, Satpol PP hanya menyederhanakan persoalan PKL dalam bentuk ‘pengeksekusian’ yaitu tindakan pelarangan berjualan, kalau perlu dengan jalan merusak lapak-lapak. Tetapi hal tersebut tidak menyelesaikan persoalan. Malah sebaliknya, setiap tindak eksekusi oleh aparat --sekalipun dalam posisi yang benar-- akan dimaknai represif oleh PKL.
Hal tersebut disebabkan hilangnya beberapa fungsi sub-badan dari badan pelaksana sebelum proses operasi penindakan. Semisal fungsi sub-badan sosialisasi peraturan dan seksi perijinan. Kurang berfungsinya satu sub-badan akan menciptakan benang kusut dalam penanganan PKL. Sehingga ada tumpang tindah peran dan fungsi dari masing-masing sub badan pelaksana.
Dalam keseharian PKL, akan selalu dijumpai kewajiban membayar retribusi, tanpa melihat apakah PKL tersebut mempunyai ijin berjualan atau tidak. Hal tersebut berdampak pada suatu pembenaran dari PKL sebagai pelaku usaha yang legal. Apalagi mental aparat pelaksana yang bisa diberi uang ‘damai’ atau ‘tebus’ ketika melakukan operasi penertiban. Optimalisasi fungsi dan peran badan pelaksana semakin kabur. Padahal maksimalisasi sub badan pelaksana yang selama ini ada, dan ketegasan dalam melaksanakan peraturan yang berlaku (biasanya tiap kota sudah mempunyai perda tentang usaha pedagang kaki lima) merupakan kata kunci pembinaan PKL.
Pada sisi regulasi (peraturan) benang kusut persoalan PKL bisa diatasi dengan cara, pemerintah mengakomodir PKL. Ada suatu peraturan yang berisi titik kesimbangan. Sebab penataan PKL yang berhasil tercermin dari tata ruang kota yang seimbang antara pertumbuhan dengan pemerataan.
*) Alumnus Universitas Jember, tinggal di Madura.

Tidak ada komentar:

Statistik pengunjung