OLEH: Putu Bayu Kartikayasa*
Menuntut ilmu artinya belajar, juga perdalam kemampuan diri, pertajam pengetahuan dan mengisi diri dengan aneka pelajaran. Keterbukaan pikiran seseorang yang memiliki kemampuan menuntut ilmu merupakan cerminan kecakapan personal untuk meraih impian. Dia adalah seseorang yang bervisi jelas dan paham terhadap kebutuhan keahlian (competency), ilmu (knowledge) dan sikap (attitude).
Merasa kecil di hadapan ilmu pengetahuan bukan berarti tidak memahami apa-apa, tetapi sebagai bentuk apresiasi terhadap luasnya ilmu pengetahuan, pelita jalan, nur kehidupan, cahaya pembuka pikiran dan hati guna dapat membedakan yang baik buruk, benar salah dan atau hitam putih. Dalam keselarasan pemahaman diri, kemauan belajar yang terus diasah, tanpa dibatasi jenis kelamin, pangkat, kedudukan sosial, kekayaan, bakat dan usia merupakan cermin keikhlasan penerimaan pada keterbatasan diri. Di bilik ini, ilmu yang didapat secara ihklas bisa memberikan pencerahan hati yang lagi berkarat, memupus kemalasan yang menggunung, mengalahkan keengganan yang berakar kuat di hati. Artinya, dengan modal ilmu, seseorang bisa melakukan tugas secara cermat, mampu memilah secara cerdas.
Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam menuntut ilmu, antara lain membaca buku, mendengar (audire atau audio = saya mendengar) dan melihat (videre atau video = saya melihat), belajar dari pengalaman hidup atau perusahaan yang berhasil, kisah-kisah epos, sejarah dan yang terpenting, kitab-kitab suci. Perusahaan yang memiliki karyawan yang mau belajar pasti memiliki visi terbuka, memahami kelemahan dan kekurangan sejawat, bawahan, menghargai atasan karena kemampuan manage dan kedewasaan berpikir, meluruskan kesalahan, memecahkan masalah, mencarikan solusi dari setiap tantangan dan saling mengisi demi memanusiakan manusia dalam hubungan kerja. Yang penting dianut adalah, tidak ada manusia yang sempurna dan paling pintar, karena yang ada justru manusia yang lebih dulu tahu dan tahu duluan, serta belakangan memahami sesuatu.
Meminjam istilah Guru Etos Indonesia, Jansen Sinamo (8 Ethos) perasaan benar (feeling right) yang selanjutnya menimbulkan motivasi untuk mengemban pekerjaan. Dengan begini, seseorang berada dalam modus melakukan hal, tujuan, cara dan sikap yang benar serta memakai data dan instrumen yang juga benar. Sudah tentu, tumbuh kewajiban moral, ikatan emosional yang tinggi sebagai sebuah keluarga, mapan menghadapi kendala, termotivasi untuk selalu berbuat lebih baik yang berujung pada sikap mental yang bertanggung jawab.
Biasnya, tersemai harmonisasi, kinerja efektif dan etos kerja setiap orang yang terlibat dalam perusahaan. Keuntungan bagi perusahaan, kesejahteraan bagi karyawan. Semua itu bisa terjadi karena kemampuan dan kemauan orang untuk menuntut ilmu. Tegasnya, menuntut ilmu (belajar) adalah keniscayaan. Bila rangkaian kata menuntut ilmu dibalik, justru jadi Ilmu Menuntut. Maknanya berubah total dengan konotasi sangat negatif, penuh hasutan dan intimidasi. Ilmu Menuntut artinya kemampuan meminta hak atau sesuatu kepada orang lain dengan alasan kuat ataupun tanpa alasan.
Maknanya lebih kasar saat tuntutan tanpa dasar (alasan). Ilmu Menuntut tanpa dasar mengedepankan hak, bukan soal keselarasan hak dan kewajiban. Ia tidak lagi mengedepankan harmonisasi hubungan memberi menerima, ikhlas yang tak berjiwa (Semua soal apa yang didapatkan AKU). Runyamnya Ilmu Menuntut sudah jadi trend membumi di setiap gerak, pikir dan tafsir manusia, apalagi disertai 1001 alasan pembenar bahwa ilmu menuntut sama pentingnya dengan menuntut ilmu, tapi lagi-lagi keduanya sama adalah soal keniscayaan. Alasan normatif, tuntutan hidup, kebutuhan dapur, masalah perut, kekinian, bahkan zaman bisa jadi dalih.
Contoh sederhana, simak apa yang ditanyakan, statemen pelamar kerja dan pekerja di kota-kota besar; Apa yang saya peroleh, berapa besar gaji yang saya terima dari perusahaan, tunjangan apa yang saya dapat? Sepintas, pertanyaan itu manusiawi dan itulah hakikat orang bekerja. Akan jadi over, kala pelamar menerapkan ilmu menuntut tanpa melihat kemampuan diri dan kontribusi yang diberikan ke perusahaan. Ilmu menuntut tanpa alasan dan fakta jelas, lagi-lagi soal keniscayaan nan negatif.
Lalu, ilmu menuntut yang over dari perusahaan kepada karyawan akan kian tidak berdasar kala perusahaan menuntut karyawan menciptakan keuntungan, tanpa memerhatikan investasi yang ditanam, baik berbentuk pelatihan dan peningkatan kualitas SDM, pengayoman, kesejahteraan dan sistem yang terinovasi. Faktanya, tidak ada karyawan yang bekerja tanpa mengharapkan kesejahteraan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang eksis bertahan tanpa meraub keuntungan.
*) Kepala Pemasaran PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Jakarta
Menuntut ilmu artinya belajar, juga perdalam kemampuan diri, pertajam pengetahuan dan mengisi diri dengan aneka pelajaran. Keterbukaan pikiran seseorang yang memiliki kemampuan menuntut ilmu merupakan cerminan kecakapan personal untuk meraih impian. Dia adalah seseorang yang bervisi jelas dan paham terhadap kebutuhan keahlian (competency), ilmu (knowledge) dan sikap (attitude).
Merasa kecil di hadapan ilmu pengetahuan bukan berarti tidak memahami apa-apa, tetapi sebagai bentuk apresiasi terhadap luasnya ilmu pengetahuan, pelita jalan, nur kehidupan, cahaya pembuka pikiran dan hati guna dapat membedakan yang baik buruk, benar salah dan atau hitam putih. Dalam keselarasan pemahaman diri, kemauan belajar yang terus diasah, tanpa dibatasi jenis kelamin, pangkat, kedudukan sosial, kekayaan, bakat dan usia merupakan cermin keikhlasan penerimaan pada keterbatasan diri. Di bilik ini, ilmu yang didapat secara ihklas bisa memberikan pencerahan hati yang lagi berkarat, memupus kemalasan yang menggunung, mengalahkan keengganan yang berakar kuat di hati. Artinya, dengan modal ilmu, seseorang bisa melakukan tugas secara cermat, mampu memilah secara cerdas.
Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam menuntut ilmu, antara lain membaca buku, mendengar (audire atau audio = saya mendengar) dan melihat (videre atau video = saya melihat), belajar dari pengalaman hidup atau perusahaan yang berhasil, kisah-kisah epos, sejarah dan yang terpenting, kitab-kitab suci. Perusahaan yang memiliki karyawan yang mau belajar pasti memiliki visi terbuka, memahami kelemahan dan kekurangan sejawat, bawahan, menghargai atasan karena kemampuan manage dan kedewasaan berpikir, meluruskan kesalahan, memecahkan masalah, mencarikan solusi dari setiap tantangan dan saling mengisi demi memanusiakan manusia dalam hubungan kerja. Yang penting dianut adalah, tidak ada manusia yang sempurna dan paling pintar, karena yang ada justru manusia yang lebih dulu tahu dan tahu duluan, serta belakangan memahami sesuatu.
Meminjam istilah Guru Etos Indonesia, Jansen Sinamo (8 Ethos) perasaan benar (feeling right) yang selanjutnya menimbulkan motivasi untuk mengemban pekerjaan. Dengan begini, seseorang berada dalam modus melakukan hal, tujuan, cara dan sikap yang benar serta memakai data dan instrumen yang juga benar. Sudah tentu, tumbuh kewajiban moral, ikatan emosional yang tinggi sebagai sebuah keluarga, mapan menghadapi kendala, termotivasi untuk selalu berbuat lebih baik yang berujung pada sikap mental yang bertanggung jawab.
Biasnya, tersemai harmonisasi, kinerja efektif dan etos kerja setiap orang yang terlibat dalam perusahaan. Keuntungan bagi perusahaan, kesejahteraan bagi karyawan. Semua itu bisa terjadi karena kemampuan dan kemauan orang untuk menuntut ilmu. Tegasnya, menuntut ilmu (belajar) adalah keniscayaan. Bila rangkaian kata menuntut ilmu dibalik, justru jadi Ilmu Menuntut. Maknanya berubah total dengan konotasi sangat negatif, penuh hasutan dan intimidasi. Ilmu Menuntut artinya kemampuan meminta hak atau sesuatu kepada orang lain dengan alasan kuat ataupun tanpa alasan.
Maknanya lebih kasar saat tuntutan tanpa dasar (alasan). Ilmu Menuntut tanpa dasar mengedepankan hak, bukan soal keselarasan hak dan kewajiban. Ia tidak lagi mengedepankan harmonisasi hubungan memberi menerima, ikhlas yang tak berjiwa (Semua soal apa yang didapatkan AKU). Runyamnya Ilmu Menuntut sudah jadi trend membumi di setiap gerak, pikir dan tafsir manusia, apalagi disertai 1001 alasan pembenar bahwa ilmu menuntut sama pentingnya dengan menuntut ilmu, tapi lagi-lagi keduanya sama adalah soal keniscayaan. Alasan normatif, tuntutan hidup, kebutuhan dapur, masalah perut, kekinian, bahkan zaman bisa jadi dalih.
Contoh sederhana, simak apa yang ditanyakan, statemen pelamar kerja dan pekerja di kota-kota besar; Apa yang saya peroleh, berapa besar gaji yang saya terima dari perusahaan, tunjangan apa yang saya dapat? Sepintas, pertanyaan itu manusiawi dan itulah hakikat orang bekerja. Akan jadi over, kala pelamar menerapkan ilmu menuntut tanpa melihat kemampuan diri dan kontribusi yang diberikan ke perusahaan. Ilmu menuntut tanpa alasan dan fakta jelas, lagi-lagi soal keniscayaan nan negatif.
Lalu, ilmu menuntut yang over dari perusahaan kepada karyawan akan kian tidak berdasar kala perusahaan menuntut karyawan menciptakan keuntungan, tanpa memerhatikan investasi yang ditanam, baik berbentuk pelatihan dan peningkatan kualitas SDM, pengayoman, kesejahteraan dan sistem yang terinovasi. Faktanya, tidak ada karyawan yang bekerja tanpa mengharapkan kesejahteraan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang eksis bertahan tanpa meraub keuntungan.
*) Kepala Pemasaran PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar